x

Iklan

Putu Suasta

Politisi Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Nyepi dan Iktiar Meretas Sekat-sekat Politis

Renungan Politik

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Besok, 7 Maret, merupakan tanggal merah dalam kalender nasional. Hari libur yang tentu dinantikan oleh puluhan juta masyarakat super sibuk terutama di kota-kota besar. Tapi bagi masyarakat Bali, besok merupakan hari yang jauh lebih besar, lebih penting dan lebih bermakna dari sekedar hari libur. 7 Maret Masehi merupakan pergantian Tahun Saka 1940 dalam penanggalan Hindu yang akan direnungi melalui lakon Nyepi, yakni berhenti sejenak dari kesibukan duniawi untuk memfokuskan diri ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, agar menyucikan Bhuana Alit (alam manusia  / microcosmos) dan Bhuana Agung (alam semesta / macrocosmos). Kosa kata Nyepi berarti sepi, hening, diam, berhenti, dan sunyi.

Nyepi tahun ini akan dirayakan masyarakat Bali, sebagai penganut agama Hindu terbesar di Indonesia, dalam suasana tahun politik yang riuh rendah. Karena itu inilah momen paling tepat bagi masyarakat Bali untuk berhenti sejenak dari kebisingan persaingan politik dan mengevaluasi diri secara spiritual dan ritual untuk melahirkan iktiar-iktiar perbaikan ke depan menyangkut hubungan antar manusia (dengan sesama) dan hubungan dengan alam semesta.

Kiranya permenungan Nyepi dapat membawa pencerahan bagi masyarakat Bali bahwa sekat-sekat yang tercipta karena eskalasi persaingan politik tahun ini mesti diretas dan keakraban sosial yang tulus mesti dibangun kembali. Sungguh layak untuk berharap bahwa momen hari Nyepi dapat mengembalikan kesadaran masyarakat bahwa sesungguhnya perjuangan hidup sehari-hari telah demikian rumit dan kompleks. Karena itu tidak ada gunanya sama sekali untuk memperumit situasi karena persaingan politik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kemajuan teknologi yang sedemikian cepat membuat banyak orang terperangah dan tak siap menghadapinya. Konsekuensinya, persaingan mengais rejeki sehari-hari semakin rumit dan kompleks karena masyarakat dari belahan dunia manapun pada akhirnya dapat merebut bidang yang selama ini kita geluti hanya mengandalkan perangkat digital berkoneksi internet. Di samping itu, biaya hidup sehari-hari terus meningkat; biaya listrik per kwh meningkat 30%, sandang pangan tanpa disadari meningkat 20%. Pasar global sudah masuk sampai di pelosok dengan internet, jadi persaingan di dunia nyata dan dunia maya semakin terbuka, yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan persyaratan ekonomi terbuka sudah pasti tersisih dan tersingkir.

Itulah siatuasi riil yang dihadapi masyarakat sehari-hari. Kemudian, tahun politik 2019 memperumit situasi karena cenderung menciptakan pengkotak-kotakan di tengah masyarakat. Para pelaku politik terutama mereka yang bersaing memperebutkan kursi legislatif melakukan segala upaya untuk merebut suara rakyat tanpa benar-benar mempertimbangkan dengan baik apakah pendekatan yang mereka gunakan akan berdampak buruk atau berdampak baik bagi kerekatan sosial masyarakat. Para politisi ini juga tentu menghadapi situasi sulit di tengah ketatnya persaingan yang menguras enegeri dan finansial.

Karena itu masyarakat Hindu di dalam proses Nyepi Tapa Berata Penyucian ini diminta untuk Mawas diri, menghindari gesekan yang tidak perlu hanya dengan tujuan membela salah satu kubu atau calon. Sekali gesekan sosial terjadi, ongkos untuk menyembuhkannya akan sangat mahal dan memakan waktu lama. Pada akhirnya masyarakat sendirilah yang akan dirugikan. Maka semoga momentum Nyepi ini semakin menyadarkan masyarakat bahwa agenda politik hanya bersifat sementara sementara perjuangan hidup bersama di tengah masyarakat akan berlangsung selamanya. Sungguh akan sebuah kerugian besar jika kita mempertaruhkan kebersamaan yang akan berlangsung lama demi kepentingan sesaat.

Dengan merenungi arti Nyepi dan mengkilas balik sejenak sejarahnya, umat Hindu akan diteguhkan dengan pesan perdamaian dan toleransi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari sistem astronomi Hindu. Pada tahun 79 Masehi, Raja Kariska mengangkat Sistem kata Saka menjadi kalender resmi kerajaan. Semenjak itu bangkitlah toleransi suku bangsa di India bersatu membangun masyarakat sejahtera. Pada abad 4 Masehi, ajaran Hindu dan system penanggalan dibawa ke Indonesia oleh pendeta bangsa Saka dari Gujarat dan mendarat di Rembang Jawa Tengah pada Tahun 456 Masehi. Pada jaman Majapahit tahun Saka benar-benar eksis menjadi kalender kerajaan, di alun-alun Majapahit berkumpul seluruh Kepala Desa, prajurit, para sarjana, pendeta dan Baginda Raja. Topik yang dibahas adalah tentang peningkatan kualitas moral masyarakat. Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam kekawin Negara Kerthagama. Di Bali, Tahun Baru Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar Sundarigama.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu