x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Manajemen Pemangku Kepentingan dan Social License to Operate

Perusahaan mana yang tak membutuhkan dukungan masyarakat dalam operasinya? Kalau tak ada dukungan itu, mustahil keuntungan bisa diraih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tanggal 6 Maret 2019 saya punya segudang agenda mulai pagi.  Hari itu, saya tahu, bakal melelahkan.  Kalau saya mengakhiri agenda pada pukul 17 saja seharusnya sudah cukup.  Tetapi ada godaan yang tak bisa membuat saya memilih untuk mengarahkan diri ke rumah di sore itu, yaitu sebuah diskusi dengan tema sangat menarik, Stakeholder Engagement Strategies to Secure Social License to Operate, yang digelar oleh CECT Universitas Trisakti.

 

Tuan rumahnya tentu saja adalah Dr. Maria Nindita Radyati, alias Mbak Nita, sang pendiri CECT.  Narasumbernya Nunik Maharani Maulana dari ANJ Agri dan Sari Esayanti dari Freeport Indonesia—atau Mbak Nunik dan Mbak Santi sebagaimana panggilan saya kepada mereka sejak lebih dari satu dekade mengenal mereka.  Jadi, saya mendaftarkan diri untuk hadir di acara tersebut.  Pilihan mendapatkan pengetahuan tentu jauh lebih baik daripada berdesakan di jam pulang kantor, di bawah hujan, di malam Kamis yang kebetulan libur.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Yang saya hendak tuliskan di sini bukanlah ringkasan diskusi itu dan komentar saya atas apa yang terjadi—seperti yang kerap saya lakukan. Tulisan ini adalah kelebatan pikiran saya yang terjadi sepanjang dan setelah diskusi, yang mungkin bermanfaat bagi orang lain juga.  Urutannya tidaklah sebagaimana yang terjadi di dalam kepala saya—yang pasti mengikuti apa yang dibicarakan di dalam diskusi itu—melainkan saya susun ulang hingga menjadi lebih terstruktur.   

 

Pentingnya Social License to Operate

Kalau saya diminta bicara soal mengapa manajemen pemangku kepentingan—yang terdiri dari pemetaan (mapping) dan pembinaan hubungan (engagement)—pasti saya akan sampaikan bahwa social license to operate (SLtO) adalah salah satu motivasi dan tujuan paling pentingnya.  SLtO dibedakan dengan legal license to operate (LLtO) dalam hal siapa pemangku kepentingan yang memberikan.  SLtO diberikan oleh masyarakat luas—sehingga kerap saya terjemahkan bukan sebagai ‘izin sosial’, melainkan ‘dukungan masyarakat’—sementara LLtO didapat dari pemerintah. 

 

Kalau bicara soal perbedaan keduanya, saya kemudian biasanya mendapatkan pertanyaan, manakah di antara keduanya yang terpenting.  Saya bahkan terkadang mendapat kesan bahwa yang bertanya sebetulnya ingin memfokuskan pada salah satu saja, yang tak pernah saya setujui karena menurut saya keduanya bukanlah pilihan.  Tetapi, pertanyaan itu memang memiliki basis empirisnya.  Tahun lalu, Ernst & Young (EY) mengeluarkan dokumen Top 10 Business Risks Facing Mining and Metals in 2019-20.  Di situ, peringkat tertinggi risiko adalah license to operate (LtO)—tanpa menyebutkan itu sosial atau legal.  Tetapi, membaca deskripsinya, sangat jelas bahwa SLtO itu lebih mendominasi risiko tersebut.

 

Kalau dokumen EY itu dikhususkan untuk pertambangan, apakah keberlakuannya terbatas untuk industri itu saja?  Mbak Santi dalam presentasinya jelas sekali menyadari pentingnya SLtO.  Tetapi Mbak Nunik pun demikian.  Industri agribisnis yang kini digelutinya jelas menaruh SLtO sebagai salah satu isu terpenting, kalau bukan malah yang terpenting.  Industri ekstraktif dan pertanian yang selalu bersentuhan dengan masyarakat jelas akan manaruh isu ini dalam posisi sepenting itu. 

 

Saya lalu berpikir adakah industri yang tak akan menaruh SLtO di lima besar isu terpentingnya.  Mungkin industri jasa berpikir demikian.  Misalnya bank.  Kebanyakan bank, juga pemangku kepentingannya, tidak berpikir bahwa SLtO sepenting itu.  Mungkin sampai sekarang pendirian itu ada benarnya lantaran industri ini, di Indonesia, belum cukup terpapar pada ide keuangan berkelanjutan, walaupun regulasi soal itu ada sejak pertengahan 2017.  Keberlakuan POJK tentang Keuangan Berkelanjutan yang terbatas dan baru dimulai 1 Januari 2019 boleh jadi membuat sebagian besar, kalau bukan malah seluruh bank tak cukup memikirkan SLtO.  Tapi hal itu tak akan berlaku lagi dalam kurun waktu beberapa tahun ke depan.  Prinsip pertama keuangan berkelanjutan dalam regulasi itu adalah investasi yang bertanggung jawab (responsible investment), yang berarti bank harus memerhatikan dampak sosial dan lingkungan dari investasinya.  Begitu prinsip ini disadari oleh masyarakat luas, maka SLtO jadi isu penting bisnis perbankan di Indonesia.

 

Di tahun 2014, John Morrison menuliskan sebuah buku bernas yang berjudul The Social License: How to Keep Your Organization Legitimate.  Di dalamnya, Morrison berargumentasi bahwa seluruh organisasi itu membutuhkan legitimasi—bukan cuma perusahaan, apalagi industri tertentu saja—dan karenanya social license (SL) menjadi isu yang sangat penting.  Mengapa dia memotong ‘to operate’?  Karena dia melihat ada bias industri ekstraktif di dalam konsep tersebut; dan dengan menyingkatnya, dia mau menunjukkan keberlakuan yang lebih luas.

 

Investasi dalam Pengetahuan, Strategi dan Rencana

Kalau SL begitu pentingnya, dan pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan adalah cara untuk mencapai tujuan tersebut, mengapa kebanyakan perusahaan tidak memiliki prasyarakat pengetahuan yang memadai untuk melakukannya? Prasyarat pembinaan hubungan itu adalah pemetaan pemangku kepentingan.  Tak banyak perusahaan di Indonesia yang memiliki dokumen peta pemangku kepentingan yang disandarkan pada teori identifikasi pemangku kepentingan yang kokoh.  Padahal, bila identifikasinya saja tidak tepat, jelas pula analisisnya akan berantakan, dan strategi pembinaan hubungan menjadi tidak bermakna.

 

Seingat saya, baik kedua narasumber maupun tuan rumah/moderator tidak mengungkapkan bahwa sesungguhnya ada standar internasional yang sangat baik yang menuntun perusahaan dalam membuat peta pemangku kepentingan dan strategi pembinaan hubungan, yaitu AA1000 Stakeholder Engagement Standard.  Namun, jelas di situ disebutkan berbagai atribut pemangku kepentingan yang merujuk pada dokumen itu.  Perusahaan-perusahaan progresif biasanya memang mau mengeluarkan sumberdaya untuk membuat strategi dan rencana pembinaan hubungan dengan standar internasional dan/atau praktik terbaik yang diketahui.

 

Dokumen strategi dan rencana itu adalah dokumen yang hidup, yang terus mengalami pemutakhiran baik oleh perusahaan penggunanya, atau dengan meminta bantuan pihak ketiga yang independen.  Mengapa?  Kedua narasumber dengan tegas menyatakan bahwa pembinaan hubungan adalah sebuah proses yang kontinum, dengan pemangku kepentingan yang dinamis atribut maupun sikapnya terhadap perusahaan.  Di sini saya teringat sebuah peristiwa menggelikan ketika menjadi juri sebuah penganugrahan penghargaan CSR, sebuah perusahaan dengan bangga menyatakan bahwa mereka sudah punya peta pemangku kepentingan sejak satu dekade sebelumnya.  Tanpa pernah ada pembaruan data.   

 

Komunikasi dalam Pembinaan Hubungan

Mbak Nunik dan Mbak Santi sama-sama menekankan bahwa komunikasi adalah unsur yang sangat penting dalam pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan.  Hal ini sangatlah tepat, dan karenanya dokumen strategi dan rencana pembinaan hubungan yang baik pastilah memiliki komponen komunikasi yang detail, termasuk tujuan, sasaran, pesan kunci, serta saluran yang dipergunakan.

 

Berdasarkan pengalaman, saya melihat komunikasi dalam hubungan dengan pembinaan hubungan punya dua peran krusial.  Pertama, sebagai prasyarat; dan kedua, sebagai alat transparensi dan akuntabilitas.  Dokumen AA1000 yang saya nyatakan terdahulu secara jelas menyatakan kedua fungsi penting itu.  Demikian juga dokumen seperti ISO 26000. 

 

Peran pertama komunikasi adalah untuk memersiapkan pemangku kepentingan agar pembinaan hubungan bisa menjadi bermakna.  Pernah menghadiri proses konsutasi publik, misalnya untuk AMDAL, yang membahas dokumen ratusan halaman tetapi undangannya tiba dua hari sebelum acara?  Apakah kira-kira masukan yang diberikan bisa memuaskan? Tentu tidak. Banyak sekali pembinaan hubungan yang dilakukan tanpa persiapan komunikasi yang memadai, dan hasilnya selalu tidaklah memuaskan.

 

Pelaporan sebagai mekanisme transparensi dan akuntabilitas kini semakin penting.  Sudah lebih dari 200 perusahaan yang kini membuat laporan keberlanjutan di Indonesia.  Namun, membuat laporan saja, tanpa memberi tahu kepada publik bahwa laporan itu terbit, tidak menyediakan ringkasan isi yang mudah dipahami untuk pemangku kepentingan tertentu dan menaruhnya di tempat yang mudah diakses tidaklah memadai.  Oleh karena itu, perusahaan harus benar-benar melihat pelaporan keberlanjutan—bukan sekadar pembuatan dokumen laporan keberlanjutan—sebagai mekanisme transparensi dan akuntabilitas dalam pembinaan hubungan dengan seluruh pemangku kepentingannya.

 

Satu hal yang membuat komunikasi dalam manajemen pemangku kepentigan itu menjadi tidak optimal, terutama terkait transparensi dan akuntabilitas adalah masih jarangnya perusahaan melakukan pemantauan dan evaluasi atas kinerja—terutama outcome dan impact—dari apa yang telah dilakukannya.  Seperti halnya keengganan dalam berinvestasi dalam prasyarat pengetahuan, strategi dan perencanaan pembinaan hubungan, perusahaan juga kerap kehabisan sumberdaya untuk melakukan pemantauan dan evaluasi.  Anggaran kebanyakan hanya ditujukan untuk implementasi saja.

 

Padahal, ada banyak cara untuk mengetahui kinerja itu.  Mbak Nita menyatakan bahwa social return on investment (SRoI) adalah alat yang ampuh untuk mengetahuinya.  Saya sendiri langsung teringat pada dokumen bagus yang dibuat oleh ICMM pada tahun 2015, Stakeholder Research Toolkit, yang sangat komprehensif memberikan ide bagaimana kinerja pengelolaan sosial (dan lingkungan) perusahaan di mata pemangku kepentingannya.  Memang masih perlu kontesktualisasi Indonesia, dan sedikit perubahan untuk industri selain pertambangan—yang sudah saya lakukan beberapa waktu yang lampau—tetapi dokumen tersebut sangatlah layak untuk dimanfaatkan untuk mengetahui kinerja pembinaan hubungan yang dilakukan dengan pemangku kepentingan.  

 

Cara yang lain yang popular di banyak negara adalah memanfaatkan piramida SLtO yang dibangun oleh Robert Boutilier.  Lapisan paling bawah ada di bawah batas legitimasi, yaitu rejeksi. Di atasnya adalah lapisan penerimaan atau toleransi.  Di atasnya ada batas kredibilitas, yang apabila dilampaui akan ada lapisan persetujuan atau dukungan.  Batas yang ada di atas lapisan itu adalah kepercayaan, di mana lapisannya bernama ko-kepemilikan.  Boutilier telah membangun indikator-indikator bagus yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pengukuran sehingga bisa diketahui di mana posisi perusahaan secara presisi.  Kemudian, pengetahuan tersebut bisa dimanfaatkan untuk kepentingan komunikasi, bahkan manajemen pemangku kepentingan yang lebih komprehensif.

 

Praktik yang Progresif

Hal yang juga terpikirkan oleh saya adalah soal pemantauan isu yang terjadi di industri dan perusahaan-perusahaan lain yang bekerja di lokasi yang dekat.  Kedua narasumber menyatakan hal ini secara selintas, namun buat saya ini adalah butir yang sangat penting untuk diperhatikan.  Perusahaan kerap menjadi ‘tertuduh’ lantaran berada di industri yang sedang menjadi sorotan, padahal isu yang menjadi sorotan itu belum tentu relevan dengan perusahaan bersangkutan. 

 

Bertahun-tahun lampau, saya bercakap-cakap dengan salah seorang direktur New Britain Palm Oil yang wilayah kerjanya di Papua Nugini.  Salah satu isu yang paling kerap menjadikan perusahaan tersebut sasaran demonstrasi di Eropa adalah soal orangutan.  Mereka dituduh merusak habitat orangutan.  Padahal, 3 spesies orangutan hanya bisa ditemukan di Sumatera dan Kalimantan.  Tetapi, perusahaan tersebut tetap harus menjelaskan soal itu kepada para pemangku kepentingannya.

 

Tentu saja, banyak isu yang melingkupi industri agribisnis dan pertambangan, juga industri-industri lainnya.  Masing-masing perusahaan yang bergerak di industri tersebut boleh jadi tidak memiliki isu yang sama persis, tetapi mereka tidak bisa sama sekali mengabaikan seluruh isu yang ada di dalam industrinya.  Maka, pemantauan isu seharusnya bukan cuma yang relevan buat perusahaannya saja, melainkan atas seluruh isu yang melekat pada industri.  Dengan demikian, perusahaan tidak perlu tergagap menjelaskan apa yang membedakan dirinya dengan perusahaan lain dalam industri yang sama.

 

Hal yang sama juga perlu dilakukan terhadap perusahaan-perusahaan yang menjadi tetangga.  Dalam pengalaman saya, kini masyarakat sudah kerap membanding-bandingkan apa yang dilakukan sebuah perusahaan, dengan perusahaan lain yang mereka ketahui.  Kadang-kadang dalam industri yang sama, namun kerap perbandingan itu tidak dalam satu industri.  Sepanjang masyarakat bisa memiliki akses informasi atasnya, maka perbandingan dilakukan.  Dengan semakin kosmopolitannya masyarakat, plus kemajuan dalam teknologi informasi dan komuikasi, agaknya perusahaan perlu untuk memantau apa yang terjadi dengan perusahaan lain yang dekat dengannya.  Dan cakupan apa yang dimaksud dengan ‘dekat’, tentu saja semakin luas jangkauannya.            

 

Saya sangat menyukai ketika Mbak Santi memaparkan bahwa mereka memantau erat apa yang terjadi di media sosial, terutama perbincangan di twitter, sebagai salah satu informasi tentang isu-isu yang dianggap penting oleh publik.  Dalam presentasinya dinyatakan bukan saja soal tentang apa yang dibicarakan, melainkan juga siapa figur-figur penting yang membicarakan isu-isu spesifik.  Dengan semakin pentingnya media sosial, jelas praktik pemantauan ini menjadi keniscayaan.  Bahkan, pemanfaatan big data untuk manajemen pemangku kepentingan—bukan sekadar pemantauan percakapan di media sosial—jelas adalah dan praktik masa mendatang (next practice) yang akan sangat menentukan gagal/berhasilnya perusahaan-perusahaan dalam operasinya.

 

Kebijakan yang Perlu Diperbaiki

Karena terpikir soal praktik-praktik progresif yang sudah dipaparkan bentuk-bentuk awalnya di dalam diskusi tersebut, saya kemudian ‘agak’ dongkol dengan apa yang terjadi di ranah regulasi. Satu regulasi yang dibicarakan di dalam diskusi tersebut adalah Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) industri pertambangan yang dikeluarkan oleh Kementerian ESDM.  Bukan saja regulasi itu tidak disandarkan pada pengertian pengembangan masyarakat yang baik—dari penamaannya saja kita bisa tahu bahwa yang membuatnya tidaklah memahami konsep dan wacana pengembangan masyarakat dengan benar—melainkan juga bahkan mengabaikan berbagai perkembangan regulatori lainnya yang sudah terjadi.  

 

Dari Kementerian ESDM sendiri ada regulasi soal pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan migas.  Saya teringat betapa di dalam direktorat jenderal yang berbeda itu pemahaman pengembangan masyarakat bisa sedemikian jauhnya.  Kalau rekan-rekan migas bicara, mereka memahai bahwa tanggung jawab sosial adalah sebagaimana yang diuraikan di dalam ISO 26000, dan di mana letak pelibatan dan pengembangan masyarakat (ini PPM yang jauh lebih beres secara konseptual).  Sementara, regulasi PPM untuk perusahaan tambang sangatlah tidak memadai dalam mengatur bagaimana masyarakat dilibatkan di dalam penyusunan strategi dan rencana pengembangan masyarakat.  Regulasi itu, tentu saja, tak punya cakupan pembinaan hubungan yang komprehensif, karena dalam soal pelibatan saja tidak jelas.

 

Dalam percakapan setelah diskusi, saya juga mendapati beberapa rekan bicara soal hal-hal yang penting diperbaiki dalam PROPER KLHK.  Bukan saja soal conflict of interest dan transparensi hasil yang sudah cukup banyak, dan lama, dibicarakan oleh pegiat CSR di negeri ini, melainkan juga tentang substansi yang ‘aneh’ dalam komponen pengelolaan sosial. Lantaran PROPER adalah sebuah program nasional, dan satu-satunya yang bisa menjangkau majoritas perusahaan berskala besar di beragam industri, maka apa yang terjadi di dalamnya sangatlah mewarnai praktik CSR di Indonesia.  Dalam tulisan lainnya, saya akan membahas apa saja ruang perbaikan (yang ekstra-luas) untuk PROPER ini.

 

Yang saya hendak sampaikan kali ini adalah bahwa bagaimana program PPM dikelompokkan itu berbeda dengan apa yang diminta di dalam PROPER.  Padahal, perusahaan pertambangan melakukan pengelolaan sosial yang sama.  Namun, audit PROPER yang luar biasa rigid—ada banyak laporan bahwa penamaan yang sedikit berbeda saja dianggap tidak memenuhi persyaratan—telah membuat perusahaan bersiap untuk membuat versi laporan yang berbeda.  Padahal, perusahaan juga memiliki kewajiban pelaporan regular RKL/RPL AMDAL, yang harus menunjukkan kepatuhan pada dokumen tersebut. 

 

Kalau masih mau lebih rumit lagi, bayangkan perusahaan yang juga membuat laporan keberlanjutan dengan standar GRI, juga kepatuhan kepada, atau kesesuaian terhadap, berbagai standar internasional lain, seperti ISO 26000.  Perlu diketahui, Indonesia mengadopsi ISO 26000 sepenuhnya, tetapi tidak satupun regulasi pengembangan masyarakat yang dibuat itu mengacu kepada dokumen panduan yang dianggap terbaik itu.  Belum lagi, kalau panduan spesifik seperti Bisnis dan HAM ditimbang.  Atau, dolumen seperti panduan bagaimana perusahaan berkontribusi pada pencapaian SDGs. 

 

Buat saya, kalau regulasi PPM dan PROPER tidak mengadopsi perkembangan-perkembangan mutakhir di tingkat internasional, maka keberlakuannya akan semakin terbatas. Dan, alih-alih bisa bermanfaat untuk memandu perusahaan di dalam pengelolaan sosial, yang terjadi hanyalah perumitan yang tidak perlu, dan tambahan beban pelaporan belaka.  Kalau hal ini dibiarkan, maka perusahaan tidaklah semakin terampil dalam mengelola hubungannya dengan pemangku kepentingan, dan isu-isu sosialnya yang material—sehingga bisa mendapatkan social license—melainkan hanya sibuk membuat laporan agar sesuai dengan persyaratan regulasi.          

 

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler