x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Paham Jawa

Analisis ajaran Jawa dalam novel-novel Indonesia modern

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Paham Jawa

Penulis: Maria A. Sarjono

Tahun Terbit: 1995 (Cetakan ketiga)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Sinar Harapan

Tebal: 94

ISBN:  979-410-146-7

Budaya Jawa adalah salah satu budaya yang sudah meneb. Sudah mapan. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dianut oleh orang yang mengaku diri sebagai orang Jawa. Namun bagaimana sesungguhnya budaya Jawa itu?

Maria A. Sarjono membeberkan beberapa inti budaya Jawa dalam bukunya yang berjudul “Paham Jawa – Menguak Falsafah Hidup Manusia Jawa Lewat Karya Fiksi Mutakhir Indonesia.” Maria menyoroti hubungan manusia jawa dengan sesamanya dan alam semesta (lahir), hubungan diri manusia jawa dengan dirinya dan tuhannya (batin), peran keluarga yang sangat penting, sikap terhadap keagamaan dan sikap terhadap kenikmatan hidup. Paparan tentang budaya Jawa ini dipakai sebagai acuan dalam menilai novel-novel karya penulis asal Jawa (kecuali Ayip Rosidi) tentang falsafah hidup manusia Jawa yang menjadi tokoh dalam novel-novel tersebut.

Keluarga memegang peranan penting dalam menumbuhkan nilai-nilai ke-Jawa-an. Peran ibu adalah sentral dalam menumbuhkan nilai-nilai ke-Jawa-an ini. Melalui keluargalah anak-anak belajar tentang tata nilai Jawa.

Manusia Jawa menggunakan prinsip menghormati sesama sesuai dengan posisi sosial. Dalam berhubungan dengan sesamanya, manusia Jawa selalu mengedepankan kerukunan dan hormat. Sedangkan sikap batin manusia Jawa adalah bertindak dalam rangka mencari kesatuan denga nasal/tuhannya – sangkan paraning dumadi. Manusia selalu berupaya untuk mencari harmoni dengan diri dan alamnya. Tiga sikap utama batin manusia Jawa adalah eling, sabar dan nrimo. Sikap eling dipakai oleh orang Jawa dalam bertindak. Manusia Jawa selalu mengingat siapa dirinya dalam bertindak. Manusia Jawa selalu sabar dalam menerima segala penderitaan dan hal-hal yang kurang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Manusia Jawa cenderung untuk menerima apa adanya dalam hidup. Manusia Jawa memaknai bahwa semua kejadian sudah digariskan oleh yang di atas. Manusia sekadar menjalaninya saja. Fatalistik!

Meski budaya Jawa dianggap sebagai budaya yang sudah meneb, namun budaya Jawa tetaplah dinamis. Budaya Jawa berjumpa dengan budaya-budaya lain, termasuk modernitas. Dalam perjumpaan ini budaya Jawa tentu ikut berubah melalui penyerapan unsur-unsur budaya yang dijumpainya. Budaya Jawa cenderung untuk mudah menerima unsur baru. Namun sesungguhnya penerimaan itu lebih banyak di tataran lahir. Hal ini terjadi karena manusia Jawa yang lebih mengedepankan harmoni dan kurang suka dengan konflik.

Maria A. Sarjono juga menyinggung tentang wayang. Wayang adalah hal yang sangat penting bagi manusia Jawa. Sebab wayang menjadi simbol kehidupan manusia Jawa. Peperangan antara yang baik dan yang jahat, sifat-sifat manusia semuanya tergambarkan dalam wayang dan cerita wayang.

Dalam buku ini Maria menelaah karya-karya dari Linus Suryadi – Pengakuan Pariyem; Arswendo Atmowiloto – Canting dan Kawinnya Martubi Juminten; Pandir Kelana alias R. M. Slamet Danudirdjo – Bu Sinder; Ahmad Tohari – Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk; Umar Kayam – Sri Sumarah dan Bawuk; Y. B. Mangunwijaya – Roro Mendut; Lastri Fardani Sukarton – Kisi Kisi Hati; Ayip Rosidi – Roro Mendut; dan Titis Basino P. I. – Di Bumi Aku Bersua di Langit Aku Bertemu. Para penulis pada umumnya adalah laki-laki, kecuali Lastri dan Titis Basino. Para penulis adalah manusia yang sudah mapan dalam hidupnya. Semua penulis adalah orang Jawa, kecuali Ayip Rosidi.

Dalam kajiannya, Maria menyoroti pandangan para penulis novel tersebut terhadap lelaki Jawa, perempuan biasa Jawa, perempuan ningrat Jawa dan pandangan tentang masyarakat. Ternyata kebanyakan penulis novel ini masih teguh memegang nilai-nilai Jawa dalam karyanya. Lekai Jawa digambarkan sebagai penguasa yang manja, suka dilayani, suka dipuja dan mengejar kenikmatan. Perempuan biasa menerima jalan hidup sebagai takdir – nrimo. Perempuan priyayi harus melayani suami dan menyembunyikan segala kekecewaannya. Pandangan tentang masyarakat yang berubah, para penulis tersebut di atas pada umumnya mau menerima perubahan tetapi tetap dalam koridor nilai-nilai Jawa.

Tentu saja ada perubahan-perubahan ke arah yang lebih positif. Misalnya dalam novel Roro Mendut karya Y.B. Mangunwijaya, tokoh Roro Mendut digambarkan sebagai perempuan yang teguh dan berani melawan nasip. Roro Mendut tidak hanya nrimo.

Menarik untuk melihat lebih dalam karya dua penulis perempuan, yaitu Titis Basino dan Lastri. Kedua penulis ini menunjukkan suasana batin pemberontakan, atau setidaknya gerutu dari perempuan Jawa yang harus selalu mengalah dan menjaga sikap terhadap ketidak-adilan yang dijalaninya. Sedangkan para penulis laki-laki pada umumnya tidak menyinggung hal ini.

Dalam kesimpulannya, Maria menggugat posisi perempuan yang masih ditempatkan sebagai makhluk kelas dua dalam novel-novel yang dikajinya. Meski dalam novel-novel ini ditampilkan kegamangan dan pencarian diri para tokoh perempuan dalam perubahan budaya, namun nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki tetap menjadi acuan.

Sudah saatnya manusia Jawa, khususnya perempuan berubah untuk menjadi lebih sederajad dengan laki-lakinya. Mungkin novel “Senja di Chao Praya” karya Endah Raharjo bisa menjadi pencerah dalam memberi arah perempuan Jawa di masa depan.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB