x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun Demokrasi dengan Korupsi

Apa ada jaminan bahwa jika subsidi negara untuk partai ditingkatkan, korupsi bakal menurun?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Kekuasaan itu cenderung korup,” kata Lord Acton, dan ucapan ini tidak pernah usang hingga kini. Relevansinya kembali memperoleh penguatan bukti dengan penangkapan Romahurmuziy, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Rommy menambah panjang daftar elite politik yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menjadi ketua-umum-partai kelima yang ditangkap.

Kekuasaan memang jadi godaan luar biasa bagi siapapun, sebab akses kepada sumber-sumber ekonomi dan akses kepada pusat-pusat pengambilan keputusan menjadi lebih besar. Maknanya, peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang juga bertambah besar, khususnya untuk tujuan memperkaya diri. Sebagian lainnya mungkin juga menikmati rasanya menjadi orang berkuasa yang mampu mempersulit kehidupan sesama, melakukan apapun tanpa ada yang berani menolak, atau mengangkat kerabat jadi pejabat tanpa ada yang bisa merintangi. Begitulah, ada motif kepuasan material, ada pula motif kepuasan berkuasa yang bersifat self-centric.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi kekuasaan tidak serta merta sepenuhnya buruk—Lord Acton tidak mengatakan ‘selalu’, melainkan ‘cenderung’; artinya kekuasaan juga memiliki potensi untuk baik bagi masyarakat. Kekuasaan dapat bermanfaat apabila digunakan secara benar, amanah, jujur, dan adil—semua ini prinsip yang tidak mudah ditegakkan di zaman kapanpun, termasuk sekarang. Masyarakat yang adil, dalam sejarah manusia pernah dijumpai di banyak tempat, juga memerlukan kekuasaan untuk menegakkannya. Tanpa kekuasaan, masyarakat yang adil juga sukar terwujud.

Di era demokrasi-oligarkis (istilah yang terkesan dikotomis, tapi menggambarkan keadaan yang sebenarnya) seperti sekarang, banyak politikus yang mengeluhkan besarnya biaya politik. Kata mereka, banyak uang harus dikeluarkan agar proses-proses demokrasi dapat berjalan: menemui rakyat di masa reses, melakukan studi banding, menggelar kampanye, dan menjalankan roda organisasi partai. Biaya politik yang mahal itu dituding sebagai penyebab yang mungkin sehingga banyak kepala daerah dan anggota legislatif terjerat kasus korupsi, termasuk untuk mengembalikan modal pencalonan mereka.

Rommy sendiri pernah menyatakan (April tahun lalu), sebagaimana dikutip media, “Jika ada satu atau dua politisi yang tertangkap, kita bisa mengatakan ada yang salah dari politisi tersebut. Namun sekarang ada ratusan kepala daerah, baik yang masih aktif atau tidak, yang terjerat korupsi. Berarti ada yang salah dengan sistemnya.” Menurut Rommy, jika menginginkan lembaga politik sehat dan partai politik bersih, yang perlu dibereskan adalah pembiayaan demokrasi. Jika pembiayaan demokrasi tidak tuntas, akan sulit keluar dari jerat korupsi. Dalam konteks penangkapan Rommy sekarang, manakah dari dua kemungkinan itu yang berlaku?

Sejauh ini, partai sudah memperoleh suntikan dana dari negara—yang notabene berasal dari uang rakyat, dan KPK pun tengah menjajaki usulan agar dana untuk partai itu ditingkatkan jumlahnya. Apa yang dapat dijadikan jaminan bahwa langkah tersebut, jika diwujudkan, pasti akan menurunkan tingkat korupsi? Komitmen? Kata ini menjadi terlalu abstrak untuk dibayangkan, sebab sudah berulang kali elite politik negeri ini menyatakan berkomitmen antikorupsi. Slogan antikorupsi juga selalu dikumandangkan dalam rangka pilpres, pileg, maupun pilkada. Kata 'komitmen' tidak lagi mampu meyakinkan rakyat bahwa korupsi akan berkurang atau apa lagi hilang sama sekali. Terlebih lagi, korupsi tidak selalu terkait dengan kepentingan partai, melainkan untuk memperkaya diri sendiri.

Menjelang pilpres, yang tinggal satu bulan lagi, kita disuguhi oleh peristiwa seperti ini, yang membuat kita terhenyak kembali dan bertanya-tanya: “Mungkinkah membangun demokrasi dengan korupsi? Akan seperti apa wajah demokrasi yang dibangun dengan korupsi?” ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler