x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perjumpaan Budaya Tiongkok dengan Budaya Barat

Pergumulan budaya Tiongkok di awal perjumpaannya dengan budaya Barat dalam Novel Buck.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Runtuhnya Dinasti Wang

Judul Asli: A House Divided

Penulis: Pearl S. Buck

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penterjemah: Irina M. Susetyo dan Widya Kirana

Tahun Terbit: 2008

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tebal: 536

ISBN:  978-979-22-3798-6

Buku ini adalah seri ketiga dari Trilogi karya Buck. Buku pertama berjudul “Bumi yang Subur,” buku kedua berjudul “Wang si Macan.” Dalam ketiga buku ini Buck menguraikan dengan rinci kondisi masyarakat Tiongkok di era kerajaan, Revolusi Kebudayaan dan awal kehidupan baru setelah era Mao. Trilogi ini membuat Pearl S. Buck diganjar Hadiah Nobel Sastra di tahun 1938.

Novel ini menggambarkan perjumpaan budaya Barat dengan budaya China dan pergulatan masyarakat China dalam menghadapi perubahan budaya tradisional ke budaya modern yang dibawa oleh Barat. Buck menggunakan tokoh generasi ketiga keluarga Wang Lung, yaitu Wang Yuan, Wang Meng, Wang Sheng dan Ai Lan. Tokoh generasi ketiga ini memerankan pilihan akan nilai-nilai yang berubah.

Runtuhnya Dinasti Wang berkisah tentang Wang Yuan, putra dari Wang Si Macan. Wang Yuan dibesarkan dalam tradisi militer ayahnya. Yuan yang lemah lembut sebenarnya tidak suka perang dan militerisme. Tetapi, karena dipaksa oleh ayahnya, ia masuk ke sekolah tentara. Namun karena Yuan memang tidak punya semangat menjadi tentara, maka ia keluar dari sekolah tentara dan kembali ke rumah. Tentu saja ayahnya sangat marah dengan kepulangan Yuan ini.

Yuan mencoba untuk kembali ke rumah kakeknya – Wang Lun, di desa yang dikiranya tenang. Namun ternyata orang-orang desa mencurigainya bahwa ia sedang memata-matai penyewa lahan untuk menerapkan pajak yang lebih mahal. Meski telah berupaya menyesuaikan diri dengan kehidupan para petani, namun penduduk desa tetap saja tidak bisa menerimanya.

Karena khawatir akan dinikahkan secara paksa, Wang Yuan akhirnya melarikan diri ke kota, ke tempat ibu angkatnya, istri Wang si Macan lainnya. Ibu angkatnya memiliki seorang anak perempuan bernama Ai Lan. Yuan diangkat sebagai anak oleh ibu Ai Lan dan disekolahkan di kota pelabuhan. Yuan sangat senang dengan perlakuan ibu angkatnya yang sangat terpelajar. Selain bersekolah, Yuan juga diminta untuk menjaga Ai Lan yang pergaulannya sangat bebas. Yuan harus menemani Ai Lan pergi berdansa dengan teman-temannya. Yuan pun terpaksa belajar berdansa dan menggunakan pakaian ala barat.

Yuan sangat menikmati sekolahnya. Ia belajar buku-buku yang dianjurkan oleh guru-gurunya. Ia juga mencoba bercocok tanam dengan menggunakan panduan yang didapatnya dari pelajaran di sekolahnya. Ia belajar dari petani yang memiliki lahan yang bersebelahan dengan dirinya.

Di sekolah, ia berkawan dengan sepupunya - Wang Meng, anak dari Wang si Saudagar. Wang Meng adalah anggota dari persekutuan rahasia revolusioner. Perkumpulan rahasia ini mempunyai nilai-nilai baru yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai leluhur. Mereka rela tidak mengakui orangtuanya – bahkan membunuh ayahnya demi menunjukkan kesetiaan kepada perkumpulan. Mereka juga mempunyai cara hidup bebas antara lelaki dan perempuan tanpa perlu diikat dengan perkawinan. Perkawinan dianggap tradisi kuno yang mengekang. Melalui pertemanan dangan Meng, ia berkenalan dengan seorang perempuan yang obsesif yang juga anggota dari perkumpulan rahasia ini. Si perempuan ini merasa bahwa Wang Yuan adalah pasangan hidupnya. Padahal Yuan tidak mencintai si perempuan. Ketika terjadi penangkapan para anggota perkumpulan rahasia, si perempuan ikut ditangkap. Celakanya si perempuan melaporkan Yuan sebagai anggota perkumpulan. Yuan pun ditangkap dan dipenjara.

Dengan upaya keluarganya, Yuan berhasil keluar dari penjara dan pergi ke Amerika. Di Amerika ia belajar banyak hal di sekolahnya. Ia merasakan rasialisme orang kulit putih terhadap dirinya. Ia kesulitan menjadi kamar kontrakan karena pada umumnya orang kulit putih tidak mau menerima orang kulit berwarna tinggal di rumahnya. Akhirnya ia pun tinggal di rumah seorang perempuan kulit putih yang galak tetapi baik hati.

Yuan sangat menyukai salah satu gurunya. Suatu hari ia diundang untuk datang ke rumah gurunya. Sang gur berupaya untuk mengkristenkan Yuan. Namun anak perempuan sang guru ternyata tidak suka dengan upaya ayahnya tersebut. Si anak – Mary Wilson, sudah tidak lagi percaya kepada kekristenan. Namun ia tetap bisa menghargai ayah dan ibunya yang menganut ajaran Kristen secara taat. (Bagi saya Mary Wilson adalah gambaran dari sang penulis, yaitu Pearl S. Buck.) Pertemanan antara Yuan dan Mary cukup akrab. Mereka berdua sering membahas tentang perbedaan dua budaya, yaitu budaya China dan budaya Barat, yang sama-sama besar. Rasisme ada di kedua kebudayaan ini. Sepertinya semua kebudayaan mempunyai penyakit merasa paling adiluhung. Mereka tidak bisa mengakui bahwa dalam kebudayaan tersebut ada kelemahan-kelemahan. Buck menguraikan berbagai contoh kekurangan-kekurangan budaya Barat maupun budaya China dalam novel ini. Buck menunjukkan bahwa perilaku anti kemanusiaan bisa muncul di budaya Barat maupun di budaya China.

Pertemanan Yuan dengan Mary akhirnya mendingin saat Yuan ragu untuk mencintai Mary.

Setelah enam tahun belajar di Amerika, akhirnya Yuan pulang ke China. Ia kembali terombang-ambing menghadapi nilai-nilai baru dan nilai-nilai tradisional. Sebagai anak dari keluarga besar Wang Lung, ia harus menghargai tradisi keluarga. Namun sebagai seorang terpelajar, ia telah menganut nilai-nilai baru. Yuan menyaksikan bagaimana gerakan baru di China tetap saja penuh dengan nepotisme dan menguntungkan para pemimpinnya saja. Rakyat tetap miskin. Korupsi tetap tinggi. Penindasan kepada orang miskin tetap saja terjadi.

Meski sistem masyarakat berbasis tuan tanah telah tergantikan dengan sistem komunisme, tetapi kondisi masyarakat tidak banyak berubah. Hanya para pemimpinnya saja yang berubah. Yuan harus hidup di tata budaya masyarakat baru dengan nilai-nilai lama yang tetap saja melekat.

Dan… nilai-nilai kemanusiaan adalah nilai-nilai yang patut diikuti dalam sistem kebudayaan apapun. Nilai-nilai yang menghargai manusia sebagaimana adanya adalah nilai yang sangat penting dalam perjumpaan budaya. Baik perjumpaan antarbudaya, maupun benturan budaya lama dan budaya baru.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler