x

Iklan

Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ridwan Kamil dan Taman Dilan: Politik, Literasi dan Keindahan Kota Bandung

Taman Dilan, melanjutkan kebijakan Ridwan Kamil sebagai walikota bandung dan sekarang sebagai gubernur jawabarat dalam politik kebijakan ruang publik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bandung, kembali disuguhi kebijakan ruang publik berupa taman tematik bernama Taman Dilan. Ridwan Kamil (RK), nampaknya kembali ingin melanjutkan tradisi kegemarannya dalam membuat dan merevitalisasi taman yang sudah dimulai sejak menjadi walikota Bandung dan sekarang coba diterapkan dalam politik kebijakan dalam posisi terbarunya sebagai gubernur Jawa Barat. Indikatornya tampak jelas terkait promosi kota, pupularitas, indeks kebahagiaan hingga nuansa politik perkotaan. Kali ini, taman Dilan coba diusung untuk pemenuhan indikator tersebut dimata publik. Beragam tanggapan muncul terkait taman Dilan ini, yang diambil dari karakter tokoh Dilan dalam film fiksi yang berjudul sama sebagai representasi  kehidupan  anak muda perkotaan semasa SMA di kota Bandung awal tahun 90an. Film pertamanya mendapatkan rating popularitas tinggi, khususnya di generasi milenial dan sekarang sedang launcing sekuel-nya yang kemudian menjadi momentum yang mendorong appropriasi dalam ide pembuatan taman Dilan ini.

Taman ini kemudian menjadi politis, karena diusung oleh seorang Gubernur RK, seorang pejabat publik politis yang baru saja memenangkan pilkada Jawabarat. Pertama, ini tahun politik pilpres 2019 dan RK merangkap  fungsi kerjanya dari seorang gubernur menjadi juru kampanye salah satu pasangan calon dalam pilpres. Kedua, melalui popularitas RK berdasarkan kedekatannya dengan generasi milenial melalui keaktifannya yang super dalam menggunakan sosial media, maka hal ini menjadi alat kerja cocok sebagai alat kampanye untuk pilpres ini maupun untuk menaikan elektalibitas dan popularitas dirinya sendiri.

Disisi lain, terkait nuansa budaya sunda khususnya atau terkait budaya populer yang berkembang di Kota bandung. Warga Jawabarat telah banyak memiliki ikon yang legendaris dalam tata pranata kulturalnya sebagai masyarakat sunda, mulai dari yang sifatnya mitologi hingga yang kontemporer dalam beragam aspek praktik budayanya. Mulai dari Sangkuriang, CiungWanara hingga Si kabayan, Kang Ibing, Darso bahkan Harry Roesli yang sudah memberikan kontribusi nyata dalam praktik kebudayaan keseharian masyarakat khususnya yang tinggal di Bandung yang tentu saja sangat jauh jika dikomparasikan dengan kontribusi Dilan di Jawabarat, tapi mengapa begitu ngototnya RK ingin membuat taman Dilan ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain itu, terkait tempat yang kemudian diasosiasikan dengan kota atau negara sekalipun dimana misalnya tokoh fiksi serupa Dilan seperti Doraemon dan Harry Potter itu ada, ditempat itu pula kebijakan, fasilitas dan pelayanan publiknya sudah berjalan baik dan hal paling penting bagi warga kota. Apakah Bandung sudah melakukannya, sehingga pantas membangun taman Dilan ini. Maka komparasikan kebijakan, fasilitas dan pelayanan publiknya dan tidak perlu berfikir seolah taman Dilan ini sebagai kerja kreatif yang smart untuk warganya.

Jika dikaitkan dengan industri pariwisata kota bagaimana? , ternyata tidak signifikat juga karena taman Dilan ini secara historis bukan ikon atau tempat yang memiliki daya tarik wisata. Jika demikian, maka jika tahun-tahun kedepan ada tokoh baru dalam film baru  yang berlatar kota Bandung dan diklaim sebagai representasi kota, lalu apakah akan dibuatkan taman juga untuk kepentingan pariwisata? Coba, tanyakan dulu kepada yang punya ide tentang pembuatan taman ini jika dikaitkan dengan pariwisata (kota), bagaimana keterkaitannya? Bagaimana daya dukung lingkungan dan masyarakatnya, bagaimana regulasi dan infrastrukturnya? tentu bukan hanya sekedar latar untuk selfie saja dan ambisi penguasa semata.

Selain itu, bisa tidak ditunjukan apa yang terjadi di kota lain atau negara lain sebagai komparasi misalnya yang menyebutkan sektor pariwisata itu untuk tujuan selfie hingga klaim menaikan indeks kebahagiaan termasuk berapa nilai pemasukan pendapatan asli daerah (PAD) dari pembuatan taman-taman seperti ini terhadap neraca keuangan-anggaran kota atau provinsi. Contoh keberadaan Patung Hachico di Jepang yang tidak disetting secara sengaja untuk pariwisata, melainkan di tujukan untuk penghormatan terhadap nilai-nilai yang terkandung didalam perjalanan hidup nya dan itu dirasa lebih penting dari sekedar pemujaan semata dengan kemasan fasilitas publik, seperti yang akan dilakukan di Bandung ini. Maka, pembuatan taman Dilan ini seperti penyediaan infrastruktur politik berupa panggung politis kekuasaan yang memanfaatkan momentum politik dan agresifitas generasi milenial dalam pemanfaatan sosial media.

Dalam sisi perencanaan kota, apakah pembangunan ini termaktub dalam rencana pembangunan, karena dalam membangun fasilitas publik itu tidak boleh sembarangan,  harus mengikuti tata tertib birokrasi, transparansi kebijakan dan anggaran hingga urgensi pembangunannya dengan skala prioritas yang sudah direncanakan dan dipikirkan dengan seksama. Cara kerja RK yang soranganisme dengan sering menggulirkan wacana pembangunan yang serba spontan tanpa melibatkan legislatif dan pihak terkait lainnya dalam pembahasan yang malah memberikan citra negatif dalam skema good governance dimata publik.

Terkait Taman Dilan, kalaupun area GOR saparua ini milik provinsi Jabar dan RK sebagai gubernurnya, tapi ada kewenangan lain yang dimiliki oleh walikota Bandung dan tidak ada rencana dari pemerintah kota Bandung terkait pembangunan taman Dilan ini. Hal ini bisa diperiksa dalam rencana tataruang RTRW provinsi, RTRW kota hingga RDTR kota bandung, dan ternyata tidak ada peruntungan untuk taman dilan ini, termasuk dalam RPJMD kota atau provinsi sekalipun. Di area GOR Saparua ini sudah terdapat Saparua Park, apakah dengan keberadaan taman Dilan ini tidak menjadi tumpang tindih secara spasial karena berada di area yang sama, belum lagi jika nantinya merujuk kepada bagaimana skema pengelolaan dan perawatannya yang akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan, anggaran karena perbedaan nama padahal berada dalam satu tempat.

Dari sisi kebijakan dan anggaran misalnya, publik bisa menanyakan kepada RK terkait bagaimana sistem pendanaannya, siapa yang mendanai kalaupun CSR seperti yang biasa RK lakukan selama ini dalam membuat taman-taman di bandung ketika menjabat walikota bandung, lalu siapa yang mendapat lelang pembangunannya dan ini semua harus transparan kepada publik. Dalam koridor penganggaran misalnya di Jawabarat sudah menggunakan ebudgeting bagi semua proyek atau hibah yang ada di propinsi, maka apakah Taman Dilan sudah masuk anggaran tahun 2019 dan tercantum dalam Pergub untuk tahun anggaran 2019 karena jika menggunakan sistem ebudgeting semua anggaran sudah ditentukan nama proyeknya, lokasinya dan jumlah anggarannya yang tentu saja informasi ini bisa diakses publik juga sebagai bagian dari kerja good governmance. Jika merujuk kepada sistem pemberian pekerjaan kepada pihak ke-3 sebagai pelaksana, di provinsi JawaBarat yang berlaku untuk enunjukan langsung pengerjaan dibawah Rp.200 juta sudah menggunakan Lelang yang tercantum di LPSE Jabar. Tetapi terkait taman Dilan ini belum pernah ada dan tercantum adanya paket pekerjaannya dan juga pihak ke-3nya, itu pun jika dibawah Rp.200 juta, jika lebih akan memerlukan prosedur yang lebih detail lagi karena terkait dana publik dan ketertiban birokrasi. Namun, akhirnya publik mengetahui bahwa terdapat anggaranRp 4,8 miliar yang disiapkan oleh RK untuk pembuatan taman Dilan ini yang tentu memerlukan prosedur dan tata tertib birokrasi yang lebih ketat dan transparan. Lalu, terdapat pertanyaan selanjutnya terkait penggunaan anggaran publik sebesar itu. Apakah layak dan pantas dana sebesar itu hanya untuk membuat sebuah taman sedangkan masih terdapat urgensi kebutuhan pelayanan publik yang lain di Bandung dan Jawabarat. Misalnya, seperti diketahui bersama bahwa Jawabarat merupakan provinsi dengan tingkat gizi buruk dan stunting tertinggi di Indonesia, selain itu terdapat sekitar 4 juta warga jawabarat belum memiliki WC atau masih buang air sembarangan. Akan terlihat lebih elok jika anggaran taman Dilan ini dialokasikan untuk kedua hal diatas yang lebih penting untuk warga Jawabarat.

Terkait budaya literasi, memangnya hanya di taman itu saja yang dianggap mampu menaikan harkat literasi di Bandung atau Jawabarat.  Budaya literasi khususnya dikota Bandung sudah ada berkembang pesat menjadi bagian dari aktivitas kotanya sejak era kolonial. Keberadaan banyaknya institusi pendidikan merupakan contoh bagaimana literasi dan ilmu pengetahuan sudah berkelindan nyata dan aktif dalam ritme kehidupan warga kota Bandung. Maka, taman Dilan ini spontanitas kekuasaan yang  bertujuannya untuk kosmetik popularitas dan gimmick politik pencitraan. Dalam kerja literasi, terdapat kejadian monumental pada tahun 2016 lalu, dimana sebuah komunitas literasi bernama perpustakaan jalanan yang muncul sejak tahun 2010 dan aktif secara rutin setiap malam minggu melakukan kerja praktik langsung literasi kepada publik secara mandiri di taman Cikapayang Dago tanpa bantuan pemerintah apalagi CSR perusahaan. Tetapi kejadian pembubaran dengan kekerasan yang dialami perpustakaan jalanan oleh militer di tahun 2016 dimana RK masih menjabat sebagai walikota Bandung. Kejadian ini bersembunyi dibalik dalih keamanan kota dan pemberlakuan jam malam yang dilegitimasi oleh pemerintah kota dan RK sebagai walikotanya. Maka sangat tidak relevan, jika sekarang Taman Dilan yang akan dibuat RK tanpa urgensi apapun lalu bersembunyi dibalik klaim atas nama literasi publik, padahal sebelumnya RK pernah membubarkan perpustakaan jalanan yang notabene sebagai literasi publik dengan menggunakan tangan militer.

Lantas jika ada yang bertanya, apa salahnya membuat Taman Dilan? Jawabannya tentu tidak salah tapi lihat urgensi, skala prioritas pembangunan Bandung dan Jawabarat. Contoh sederhana yang lebih pantas dilakukan oleh RK misalnya jika memang ingin menyediakan layanan publik sesuai dengan kewenangan provinsi. Selain permasalahn gizi buruk, stunting dan buruknya sistem sanitasi warga Jawabarat, penyediaan layanan kesehatan melalui keberadaan rumah sakit pun perlu mendapatkan perhatian serius. Membenahi layanan dan meningkatkan fasilitas kesehatan rumah sakit Hasan Sadikin yang merupakan domain dan tupoksi kewenangan provinsi Jabar yang sangat jelas dibutuhkan warga JawaBarat.

Jika ingin melakukan gimmick kekuasaan dan desain arsitektural, bisa saja sekalian membuat taman cantik atau area parkir representatif di Rumah Sakit Hasan Sadikin ini, karena ini masalah yang dihadapi nyata selama ini. Disamping itu, iika melihat sosok RK sebagai gubernur Jabar, terdapat hal yang lebih urgensi dari sekedar buat taman, seperti taman dilan ini. Jawabarat sebagai provinsi dengan tingkat pengangguran tertinggi dan provinsi dengan tingkat intoleransi tertinggi di Indonesia hingga provinsi yang cukup banyak memiliki kejadian bencana alam, seperti banjir, gempa bumi hingga longsor yang memerlukan perhatian resilience dan tanggung jawab besar berada di tangan gubernur sebagai pejabat publik dan penyelenggara kekusaaan daerah yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan warganya dan tentu tidak cukup dengan hanya menyediakan kebijakan taman, seperti taman Dilan ini.

Ikuti tulisan menarik Frans Ari Prasetyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu