x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ketika Pihak Musuh Jadi Pahlawan

Kisah tentara Belanda yang menghargai tekat Indonesia untuk merdeka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Pemberontakan Bukan Perang

Penulis: M. Jakob

Tahun Terbit: 1986

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit: Djambatan

Tebal: 172

ISBN: 979-428-035-6

 

Jika terjadi permusuhan dalam politik dan militer… norma-norma kesopanan dan kemanusiaan dilanggar.

 

Kita mengenal Ernest Douwes Dekker alias Danudirjo Setiabudi, Edward Douwes Dekker alias Multatuli dan Snevielt. Mereka adalah tiga dari sedikit orang Belanda yang mempunyai kepedulian terhadap nasip orang-orang jajahan. Ernest Douwes Dekker adalah seorang pejuang kemerdekaan. Ia bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantoro ikut berjuang dalam membangun organisasi modern - termasuk partai, menjelang Indonesia merdeka. Edward Douwes Dekker alias Multatuli adalah seorang pekerja perkebunan di Lebak Banten yang kemudian menulis novel Max Havelaar yang dianggap tonggak peralihan politik Belanda terhadap penjajahannya di Hindia Belanda. Sedangkan Snevielt adalah tokoh sosialis yang ikut serta membangkitkan semangat para pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Memang selalu ada orang-orang simpatik di tengah penindasan. Novel pendek berjudul “Pemberontakan Bukan Perang” karya M. Jakob ini menggambarkan bahwa tidak semua serdadu Belanda yang dikirim ke Republik Indonesia setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan adalah orang-orang yang bengis. Gerrit Vermeer adalah orang biasa yang tidak tahu untuk apa dia bergabung dalam laskar yang dikirim ke Hindia Belanda. Gerrit sama sekali tidak memiliki latar belakang militer dan tidak menyukai perang.  Hanya karena dikatakan bahwa ia akan dikirim ke Hindia Belanda untuk memupus pemberontakan, bukan berperang, maka ia ikut berangkat.

Sebagai seorang yang tidak berdisiplin militer, perilaku Gerrit sangat sembrono. Segera setelah tiba di Hindia Belanda ia sudah ngeluyur dan menikmati jasa seorang WTS. Ia juga lebih suka memperhatikan musik (seruling) dan keindahan alam Hindia Belanda. Ia asyik berburu kupu-kupu karena takjub dengan banyaknya jenis kupu-kupu di Hindia yang tropis ini.

Sampai akhirnya, dalam sebuah pertempuran, Gerrit terluka dan ditawan. Para musuhnya memperlakukannya dengan baik. Ia diangkut dalam pedate. Ia menyaksikan bagaimana musuhnya mengusir lalat-lalat yang merubung lukanya yang menganga. Ia pun dirawat oleh dokter di sebuah kamar rumah sakit yang bersih.

Pada saat sakit itulah ia berkenalan dengan para penawannya. Ada Mayor yang mengunjunginya, ada dokter yang ternyata ikut berperang di Belanda saat Belanda diduduki negara asing.  Selama satu bulan di rumah sakit, simpati Gerrit terhadap perjuangan bangsa Indonesia tumbuh. Diskusi-diskusi yang dilakukannya dengan Mayor dan dokter yang merawatnya membuatnya paham mengapa orang-orang tersebut melakukan pemberontakan.

Setelah sembuh, Gerrit dipindahkan ke sebuah hotel sebagai tawanan. Ia bekerja mencuci baju para tentara Republik. Karena suasana berubah, maka Gerrit dipindahkan ke penjara. Gerrit tidak lama menghuni penjara. Ia dipindahkan kembali ke markas para pemberontak. Di markas tersebut Gerrit mendapatkan kamar yang cukup nyaman. Ia juga diberi buku (Max Havelaar?). Melalui buku yang dibacanya tersebut Gerrit menjadi paham mengapa ada orang-orang Belanda yang menggugat kolinialisme.

Ketika akhirnya Gerrit pulang ke Belanda, ia disambut dengan penuh marah oleh Jenderal yang menerimanya. Sang Jenderal sangat marah karena Gerrit membeberkan kisah yang sangat berbeda dari pada umumnya tentara. Dan Gerrit pun memberikan alasan: “Sebabnya, Jenderal, karena serdadu mempunyai pengalaman lain dari apa yang digambarkan oleh Jenderal semula, bahkan pengalaman mereka lain sama sekali, dan oleh sebab itu mereka tidak lagi percaya apa yang mereka disuruh percaya dahulu, dan oleh sebab itu mereka menceritakan kisah yang lain!”

Memang kemanusiaan sering kali muncul dalam situasi yang paling buruk sekalipun. Di tengah-tengah perang yang absurd, di tengah-tengah penjajahan yang ganas, di tengaj-tengah pembunuhan masal yang tanpa tujuan yang jelas.

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB