x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Galau karena Survei

Ketika ada hasil survei yang anomali, banyak pihak merasa galau dan mengritiknya. Tapi, yang anomali belum tentu salah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sudah beberapa hasil survei terkait pilpres 2019 dipublikasi oleh lembaga-lembaga survei. Hasil survei selalu mengunggulkan secara telak pasangan capres Jokowi-Ma’ruf Amin. Dari hasil survei 18-25 Februari 2019, LSI menyebutkan bahwa Jokowi-Ma’ruf memperoleh 58,7% suara sedangkan Prabowo-Sandi 30,9%. SMRC merilis hasil survei 24-31 Januari 2019 di mana Jokowi-Ma’ruf meraih 54,9%, sementara Prabowo-Sandi 32,1%. Jarak antara kedua pasangan itu lebih dari 22%. Lembaga survei lain juga menunjukkan keunggulan capres petahana, tapi angkanya tidak melewati 50% dan jarak antara keduanya tidak melewati 20%.

Hasil-hasil survei itu, terutama dari LSI dan SMRC, menempatkan pasangan capres Prabowo-Sandi sebagai penantang yang underdog—kecil peluangnya untuk memenangi kompetisi pilpres. Kubu Jokowi-Ma’ruf mungkin merasa tenang mendapati hasil-hasil survei tersebut, hingga kemudian Litbang Kompas menerbitkan hasil surveinya beberapa hari lalu yang mengundang perhatian dan komentar banyak pihak karena mengisyaratkan kecenderungan yang berpotensi mengubah arah kompetisi.

Hasil survei Litbang Kompas kali ini (22 Februari-5 Maret 2019) memang tetap menunjukkan keunggulan Jokowi-Ma’ruf (49,2%) atas Prabowo-Sandi (37,4%). Namun bukan itu yang membikin banyak orang galau, melainkan salah satu ‘hasil pembacaan’ tim Litbang Kompas bahwa elektabilitas Jokowi-Ma’ruf turun 3,4% dibandingkan survei Oktober 2018 (52,6%), sementara Prabowo-Sandi menguat 4,7% (dari semula 32,7%). Jarak antara kedua pasangan capres-cawapres menyempit dari semula 19,9% menjadi 11,8%. Menurut kesimpulan survei ini pula, Jokowi-Ma’ruf belum aman dengan perolehan di bawah 50%, sebab masih ada 13,4% pemilih yang belum menentukan pilihan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sehari setelah Litbang Kompas merilis hasil surveinya, lembaga survei Indo Barometer mempublikasikan hasil survei elektabilitas capres. Survei dilakukan pada 6-12 Februari 2019, artinya lebih dahulu dibandingkan survei Litbang Kompas. Hasil survei Indo Barometer: elektabilitas Jokowi-Ma’ruf 50,2%, sedangkan Prabowo-Sandi 28,9%. Namun rilis Indo Barometer ini tidak cukup mampu menggeser perhatian publik terhadap hasil survei Litbang Kompas, sebab hasil survei Indo Barometer mungkin dianggap ‘biasa-biasa saja’ dalam arti sama saja dengan hasil survei lembaga lainnya.

Hasil survei Litbang Kompas itu memang tampak bagai anomali di tengah keseragaman hasil survei lembaga lainnya. Denny JA dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) terlihat terganggu oleh anomali tersebut dan mengritik hasil survei Litbang Kompas. Ia menilai Litbang Kompas tidak terbuka dalam hal metodologi dan salah menarik kesimpulan. Barangkali merasa tidak cukup dengan kritik ini, disinggung pula ihwal kedekatan pribadi antara Pemred Kompas Ninuk Pambudi dengan Prabowo Subianto dan bahwa Kompas sedang melakukan repositioning dalam konteks konstelasi politik saat ini. Walaupun dua isu terakhir ini disebut sebagai bumbu saja, namun pesan dan kesan telah tersampaikan, yaitu bahwa melalui survei, Kompas telah bermain dua kaki.

Kritik Denny tersebut ibaratnya ‘sesama bis kota boleh saling mendahului’—sebagai representasi sebuah lembaga survei, ia mengritik hasil survei institusi lain dan mengesankan bahwa hasil survei lembaga lain itu tidak kredibel. Jika hanya karena menyimpulkan bahwa jarak antara pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi menyempit, Kompas dianggap sedang melakukan repositioning, bukankah hal itu menyingkapkan bahwa lembaga survei pada umumnya mengambil posisi tidak netral karena mengunggulkan Jokowi-Ma’ruf secara telak? Apakah ini refleksi diri yang berjalan tanpa sadar? Bagaimana seandainya Litbang Kompas menyimpulkan bahwa Jokowi-Ma’ruf makin jauh meninggalkan Prabowo-Sandi, akankan Denny tetap melancarkan kritik?

Selain Denny, sejumlah pihak juga terkesan galau membaca hasil survei versi Litbang Kompas, di antaranya elite partai yang diprediksi tidak akan lolos ambang batas Parlemen. Partai-partai ini diprediksi tidak akan dapat mendudukkan wakilnya di Senayan. Para elite partai menyadari kekuatan publikasi hasil survei dalam memengaruhi persepsi publik dan pendukung, karena itu mereka menaruh perhatian serius. Bahkan, menanggapi hasil survei tersebut, ada orang Golkar yang mengritik teman satu koalisinya, yakni Partai Solidaritas Indonesia, sebagai penyebab menurunnya elektabilitas Jokowi-Ma’ruf. Muasalnya, selain elektabilitas capres dan masing-masing partai, Litbang Kompas juga mensurvei resistensi masyarakat terhadap partai. Hasilnya, resistensi terbesar di kelompok partai baru dialami oleh Partai Solidaritas, yaitu 5,6%, sementara elektabilitas partai ini hanya 0,9%. Resistensi yang tinggi terhadap Partai Solidaritas itu dianggap oleh orang Golkar berimbas pada penurunan elektabilitas Jokowi-Ma’ruf.

Ada beberapa pelajaran yang dapat diambil dari fenomena ini. Pertama, bahwa hasil survei rupanya dianggap serius (dalam arti dianggap pasti benar karena itu dirujuk atau dianggap salah karena itu dikesankan tidak kredibel) oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Bukan hanya partai politik yang berkepentingan pada hasil survei untuk memengaruhi persepsi masyarakat, tapi juga lembaga survei lain yang berkepentingan untuk meyakinkan masyarakat bahwa hasil surveinya yang paling kredibel.

Kedua, perbedaan-perbedaan dalam hal metoda, hasil survei, serta kepentingan lembaga survei sendiri menjadikan masyarakat tidak mudah untuk memahami keadaan: bagaimana sesungguhnya kondisi riilnya? Namun, di sisi lain, masyarakat dapat menarik hikmah bahwa setiap hasil survei harus dibaca dengan sikap kritis, tidak ditelan mentah-mentah, siapapun yang mengeluarkan hasil survei tersebut, serta apapun hasil survei itu--mau mengunggulkan Jokowi-Ma'ruf ataupun Prabowo-Sandi. Biarlah partai, elite partai, serta lembaga survei sibuk dengan urusan ini.

Ketiga, menjadi penting untuk didiskusikan apakah lembaga-lembaga survei memberi kontribusi yang positif bagi perkembangan demokrasi, atau malah sebaliknya karena ada persoalan integritas. Sejauh mana lembaga survei politik bersikap netral dalam kompetisi politik? Ataukah mereka sukar bersikap netral lantaran berperan pula sebagai konsultan politik? Seperti apa seharusnya lembaga survei berperan dalam meningkatkan kualitas demokrasi kita? **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler