x

Iklan

Mohamad Cholid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

#SeninCoaching: Menyalakan Daya Hidup Pemimpin

Bukankah Anda termasuk golongan manusia berjiwa merdeka?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

#Leadership Growth: You are the Unbroken Soul

 

Mohamad Cholid

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Practicing Certified Executive and Leadership Coach

 

Kawasan perbukitan dan lembah yang terisolir di sisi barat Dakota Selatan itu disebut Black Hills. Pemilik lahan asli, Bangsa Indian, dari Suku Lakota menyebutnya He Sápa; Suku Cheyenne menamai kawasan itu Mo'ohta-vo honáaeva; Suku Hidatsa bilang, awaxaawi shiibisha. Cara menyebutkan nama kawasan itu memang berbeda, tapi mereka sepakat wilayah tersebut wajib dikeramatkan sebagai sumber kekuatan spiritual mereka.

Orang-orang kulit putih dari Eropa yang kemudian menguasai wilayah tersebut sebagai bagian dari Amerika Serikat, juga menjadikan Black Hills sumber berkah, karena menghasilkan emas.

Beban ekonomi nasional dan desakan publik menyebabkan Presiden Ulysses S. Grant (memimpin 1869-1877) pada periode kedua pemerintahannya harus bersedia membuka kawasan perbukitan dan lembah Black Hills untuk penambangan emas. Itu membuat Grant galau. Dengan membuka wilayah Black Hills demi emas, dia melanggar perjanjian dengan Bangsa Indian untuk berdamai.

Karena mustahil para pemimpin Indian menjual wilayah yang mereka keramatkan itu, solusi pemerintah AS adalah memaksa Bangsa Indian bersedia direlokasi ke wilayah reservasi (kamp penampungan). Mereka yang menolak relokasi dianggap pembangkang dan boleh diburu oleh tentara pemerintah. Atau akan kelaparan, karena bison sebagai sumber nutrisi utama mereka, telah dibantai secara massal atas perintah penguasa – antara lain dijadikan sasaran dalam lomba berburu.

Crazy Horse, salah seorang petarung tangguh Suku Lakota, akhirnya menyerah dan membawa komunitasnya ke reservasi agar mereka bisa makan. Komunitas Lakota dan rombongan dari suku-suku lainnya yang masuk ke reservasi memang tidak kelaparan. Tapi mereka telah kehilangan daya hidup, tidak bisa lagi berburu bison, apalagi mengetrapkan nilai-nilai luhur mereka dalam kehidupan sehari-hari.

Orang-orang Indian di penampungan banyak yang meninggal bukan karena kelaparan, tapi akibat mereka menjalani hidup dengan jiwa yang tercabik dan lunglai. Mereka tercerabut dari padang perburuan dan ruh alam.

Rupanya hidup tanpa mengerahkan otot memburu bison, tidak lagi memacu pikiran mengatasi tantangan alam, dan menjalani hidup sehari-hari tanpa nilai-nilai luhur sebagai identitas diri dan kelompok, dapat mempercepat kematian.

Kalangan terpelajar Amerika di kemudian hari mengakui, memaksa orang-orang Indian ke kawasan revervasi merupakan tindakan tercela, “.. a despicable part of history,” kata Robert Redford (The West). Mereka hidup dengan ruhani yang luka.

Fakta-fakta tersebut memberikan pelajaran bagi kita minimal tentang dua hal.

Pertama, kalau hanya perut saja yang dicukupi, tapi jiwanya tidak diisi nilai-nilai kebajikan, manusia mudah limbung dan makin cepat menemui ajal. Kalau tidak makin lekas bertemu kematian, dalam sejumlah kasus, orang-orang golongan ini yang kekayaannya melimpah, cenderung lebih hapal nama deretan dokter ahli ketimbang inget nama cucu atau keponakannya.

Kedua, mengejar emas atau kepentingan perut semata tanpa etika dan nilai-nilai ruhani, akan menyebabkan seseorang atau suatu institusi bisa terjerumus ke dalam tindakan tercela.

Pribadi-pribadi hebat seperti Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, atau KI Hadjar Dewantara (1889 – 1959) adalah beberapa contoh leader yang konsisten membangun nilai untuk keutamaan manusia.

Organisasi-organisasi bisnis dan non-bisnis yang terbukti memiliki positive impact untuk umat manusia juga berkembang berdasarkan nilai-nilai yang mereka yakini. Prinsip dan nilai-nilai itu memandu mereka berinovasi, bertindak, dan dalam mengambil keputusan setiap hari – terkait kepentingan internal dan dalam berinteraksi dengan pelanggan, pemasok, dan masyarakat.

Kita bisa lihat misalnya Apple, Microsoft, Bank Dunia, Ritz Carlton, atau Southwest Airline (yang selama 41 tahun beroperasi profit terus). Mereka memiliki brand demikian kuat didukung oleh prinsip dan nilai-nilai yang mereka yakini dan mereka implementasikan sehari-hari – lebih dari sekedar tertulis di profil perusahaan atau tertempel di ruang rapat.

Para eksekutif dan leader di organisasi bisnis dan nonprofit sepantasnya juga memiliki prinsip dan nilai-nilai yang diyakini untuk diterapkan dalam kepemimpinan masing-masing, day in day out. Dalam tradisi pengembangan kepemimpinan Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching (MGSCC), itu disebut Authentic Leadership Model.

Dalam workshop-workshop yang kami adakan, utamanya saat menentukan leadership journey, di antara peserta biasanya ada yang bertanya, apa pentingnya Authentic Leadership Model?  

Dua hal perlu kita camkan dengan sungguh-sungguh. Pertama, leadership behavior berdampak besar (50 – 70%) pada budaya organisasi. Hasil survei Hay Group juga mengungkapkan, budaya organisasi merupakan pengaruh tunggal terbesar (35%) pada organizational performance, yang terlihat pada laporan Profit & Loss, Balance Sheet, dan tingkat engagement tim.  

Kedua, ingat ungkapan klasik “the fish stinks first at the head" atau “a fish rots from the head down.” Perilaku kepemimpinan di pucuk organisasi akan menentukan tingkah polah tim. Kalau kinerja tim kurang bagus, para pemimpin perlu introspeksi, apa saja dari perilakunya yang mesti diperbaiki.

Dengan menghidupkan Authentic Leadership Model, setiap eksekutif dapat menjelaskan kepada para pemangku kepentingan, siapa dirinya dan apa saja pilihan langkahnya dalam merespon dinamika perubahan global, kompetisi di pasar, pengembangan para anggota tim, dan berkomunikasi efektif.

Authentic Leadership Model adalah tentang mau jadi pribadi seperti apa Anda dan apa yang Anda lakukan dalam membangun versi terbaik diri sendiri, setiap hari.

Ini upaya menumbuhkan jiwa dan menyalakan daya hidup, agar menjadi pemimpin lebih efektif, memiliki leadership brand yang jelas.

Bukankah Anda termasuk golongan manusia berjiwa merdeka -- bukan seperti para Indian yang dipaksa masuk reservasi dan ruhaninya jadi pada lunglai? Tempat kerja dan organisasi yang Anda ikut kelola sekarang adalah ibarat padang perburuan terbuka, tempat Anda mengoptimalkan potensi, memacu kreativitas; bukan kawasan reservasi.

 

Mohamad Cholid  adalah Head Coach di Next Stage Coaching.

n  Certified Executive Coach at Marshall Goldsmith Stakeholder Centered Coaching

n  Certified Marshall Goldsmith Global Leadership Assessment

Alumnus The International Academy for Leadership, Jerman

(http://id.linkedin.com/in/mohamad-cholid-694b1528)

(https://sccoaching.com/coach/mcholid1)

 

Ikuti tulisan menarik Mohamad Cholid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler