x

ilustrasi pemukulan. tbo.com

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kematian Dimas dan Candu Kekerasan

Kekerasan terhadap Dimas yang berujung maut menandakan kekerasan semakin dianggap lumrah oleh masyarakat kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Usianya baru 19 tahun, namun Dimas Dikita Handoko harus mangkat karena kekerasan oleh beberapa seniornya yang merasa punya hak atas diri dan hidupnya. Mangkatnya Dimas menambah daftar panjang kematian anak-anak muda oleh pembodohan yang berlangsung justru di lembaga pendidikan.

Kendati menambah panjang daftar kematian, tapi tidak semestinya kemangkatan Dimas menjadi sekedar angka statistik belaka. Peristiwa keji ini seharusnya mengundang tanya pada diri kita: Benarkah kita bangsa yang ramah?

Barangkali kita tersenyum mendengar pertanyaan tersebut. Entah senyum sebagai bukti keramahan kita atau senyum getir dan pahit. Mungkin pula, kata senyum itu lebih cocok diganti dengan kata seringai, sebab boleh jadi pertanyaan itu menyinggung perasaan kita. Bukankah selama ini kita suka menyebut diri dan diajari di sekolah-sekolah bahwa kita bangsa yang ramah, kok tiba-tiba dipertanyakan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menyebut diri dan diajari itu belum tentu sesuai dengan fakta. Kekerasan terhadap Dimas yang berujung kematian sungguh sukar dimengerti: apabila bangsa ini ramah, mengapa kekerasan semakin sering terjadi?

Warga antar kampung berantem, pendukung klub sepakbola bertikai, anak sekolah jotos-jotosan, mahasiswa satu kampus dan beda kampus saling lempar batu dan merusak sarana belajar, sesama aparat tembak-menembak, ayah atau ibu membunuh anak dan sebaliknya, anak usia TK pun tak luput dari kekerasan.

Kekerasan ini semakin intensif dan semakin masif. Panggung kekerasan sudah merebak di mana-mana. Kekerasan menyebar bagaikan virus. Semakin hari semakin menakutkan. Orang begitu mudah tersulut kemarahannya. Orang begitu ringan tangan mengayunkan parang, menusukkan pisau, atau melepas tembakan dan anak panah.

Benarkah kita bangsa yang ramah? Pemicu kekerasan kini semakin sepele.  Kesalahpahaman sedikit sudah sanggup memicu aksi kekerasan yang mengerikan. Kabar angin lewat pesan-pendek (SMS) dengan mudah menyulut amarah. Massa dengan mudah bergerak atau digerakkan tanpa memeriksa kebenaran beritanya. Kalah bersaing dalam pemilihan kepala daerah membikin politikus mengamuk dan mengerahkan massa. Geng motor yang bebas melakukan apapun.

Benarkah kita bangsa yang ramah seperti selalu didengung-dengungkan? Nyaris setiap hari kita menyaksikan di layar televisi bagaimana kekerasan dipertontonkan. Bahkan, terkesan, kekerasan cenderung dipilih sebagai cara pertama untuk mengekspresikan kehendak. Kita berlaku sebagai orang-orang yang tidak lagi sanggup berbicara dalam bahasa yang beradab.

Kekerasan menjadi banal, menjadi sesuatu yang biasa, menjadi sesuatu yang lumrah. Kepekaan kemanusiaan kita perlahan-lahan mulai majal. Tumpul. Masyarakat kita seperti mulai mencandu kekerasan. Bahkan mungkin sudah ada yang menikmati ekstasi kekerasan.

Saya tidak paham, apakah kekerasan ini merupakan letupan akibat tekanan ekonomi, kekecewaan kepada aparat penegak hukum dan politikus, depresi, atau apapun. Ataukah kekerasan ini memiliki akar-akar yang lebih dalam secara historis. Atau bahkan secara genetis, seperti akhir-akhir ini dipelajari oleh para ahli sosio-genetika?

Atau kita terlalu mengagungkan identitas? Beberapa tahun silam, dalam kitab Identity and Violence (2006), Amartya Sen mengatakan bahwa identitas membuat kita terpecah-pecah ke dalam kotak-kotak sempit, menjadikan masyarakat terbelah antara ‘kita’ dan ‘mereka’. Atas nama identitas tertentu, seseorang kita tempatkan sebagai kawan atau sebagai lawan. Garis batas di antara keduanya menjadi semakin tegas ketika kecurigaan mengungkung kita.

Dalam konteks Dimas, para senior mengindetifikasi diri sebagai kelompok yang merasa punya otoritas dan memiliki hak untuk menghukum adik-adik kelasnya—merasa berhak melakukan apa saja, bahkan mengakhiri hidup Dimas.

Kekerasan yang terjadi setiap hari dan disajikan di berbagai media terasa semakin membuat perut mual. Mungkin saja ada penonton yang meng-‘copy-paste’ kekerasan yang ia saksikan. Secara individual maupun masal.

Apakah kita lupa bahwa kita sama-sama manusia? Tidak bisakah kita berhenti berbicara dengan bahasa kekerasan? Mestinya bisa! Kita harus mulai menghentikan kekerasan sebelum virusnya menjadi kian ganas dan kebal dari segala antivirus. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler