x

Kedua suporter ini merias wajah mereka senada dengan warna bendera Iran, dan menjadikan bendera sebagai jubahnya. (AP/Fernando Vergara

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Haruskah Menarik Garis ‘Kita’ dan ‘Mereka’?

Identitas itu menyesatkan dan berpotensi memicu konflik. David Cannadine menyusuri kesalahan klaim-klaim identitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Identitas tunggal itu menyesatkan, tulis Amartya Sen; dan sebenarnyalah tak pernah ada identitas tunggal. Dalam Identity and Violence (2006), Sen mencontohkan dirinya: Seorang Sen adalah keturunan India, tapi sekaligus agnostik—bukan penganut Hindu atau Muslim (agama mayoritas kedua di India), ia ekonom, lebih sering berbahasa Inggris ketimbang Urdu. Identitas mana yang hendak dikenakan padanya?

Pengelompokan manusia, kata Vasily Grossman dalam Life and Fate, mempunyai satu tujuan utama: menegaskan hak setiap orang untuk berbeda, merasa spesial, untuk berpikir dan hidup dengan caranya sendiri. Orang-orang bergabung untuk memenangkan atau mempertahankan hak ini. Namun, kata Grossman, di sinilah kesalahan fatal lahir: keyakinan bahwa pengelompokan atas nama ras, Tuhan, partai atau negara menjadi tujuan utama kehidupan dan bukan sekedar sarana untuk mencapai tujuan.

David Cannadine, yang terusik keprihatinan serupa, menyusuri bentuk-bentuk solidaritas manusia yang paling bergema dalam sejarah lantaran solidaritas ini ditemukan dan diciptakan, dibangun dan dipertahankan, dipertanyakan dan ditolak, selama berabad-abad dan melingkupi seluruh belahan dunia. Lebih dari itu, karena bentuk-bentuk solidaritas ini telah mendefinisikan hidup manusia, melibatkan emosi, dan memengaruhi takdir individu-individu yang tak terhitung jumlahnya. Itulah agama, bangsa, kelas, gender, ras, dan peradaban.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam buku The Undivided Past: Humanity Beyond Our Differences (penerbit Alfred A. Knopf, 2013), Cannadine menyingkapkan kelemahan fondasi dari klaim-klaim yang berlebihan dan tidak akurat di balik keenam identitas kolektif itu lewat perspektif historis—bidang kepakarannya. Sebagaimana argumen filosof Tzvetan Todorov (The Fear of Barbarians), Cannadine berkata bahwa cara memandang dunia lewat kacamata Manichean sangatlah reduktif dan menyesatkan, menjadikan setiap orang menempatkan diri ke dalam kategori ‘kita’ dan ‘mereka’—‘us’ and ‘them’ dimashurkan kembali oleh George W. Bush setelah peristiwa 9/11.

Sejarawan Cambridge dan Princeton University ini menelisik sejarah, mencari tahu mengapa setiap bangsa menekankan karakteristik khusus untuk membedakan diri dari bangsa lain; kelas-kelas berperang untuk memutuskan siapa yang berhak menikmati keuntungan lebih besar dari sarana produksi; perempuan bertarung menentang pria untuk menghapus eksploitasi dan diskriminasi; orang kulit putih memaksakan supremasi atas kulit hitam dan kulit hitam berjuang membebaskan dirinya.

Banyak pemimpin dan penulis, kata Cannadine, yang mengklaim bahwa salah satu dari enam solidaritas kolektif lebih penting dibandingkan bentuk agregasi manusia lainnya. Identitas-identitas ini ditampilkan secara intrisik dan konfrontatif sehingga dunia harus dipahami dari perspektif Manichean. Karakteristik dan solidaritas bersama ini dipelihara melalui afirmasi memori, penguatan kisah-kisah, maupun catatan-catatan historis yang menolak sense of common humanity yang lebih besar.

Cannadine menyebut sejawatnya terlampau menekankan konflik dalam menganalisis sejarah umat manusia dan kurang memperhatikan hal-hal yang melampaui perbedaan. Padahal, pembagian umat manusia atas dasar kelas, agama, ras, gender, bangsa, ataupun peradaban bukan bagian terpenting dalam sejarah manusia. “Sejarawan telah bertindak sebagai pelayan bagi proyek-proyek politik,” ujarnya.

Seperti halnya raja-raja yang memerlukan ahli propaganda, begitu pula di masa demokrasi, banyak penguasa memerintahkan atau memaksa sejarawan menulis sejarah seperti yang mereka kehendaki. Sebagian dari mereka tak ubahnya academic cheerleaders bagi penguasa. Ia mencontohkan: di abad pertengahan 19, kebangsaan merupakan tema paling populer, dan banyak sejarawan mengabdikan diri untuk menunjukkan betapa bangsa-bangsa tertentu berbeda (dan superior terhadap) bangsa-bangsa lain.

Tesis Cannadine yang menarik dan mengundang perdebatan ialah betapa gagasan penulis dan sejarawan telah memengaruhi kelompok-kelompok masyarakat. Ia menilai Houston Stewart Chamberlain ikut bertanggungjawab atas kebangunan Nazi karena gagasannya bahwa perbedaan rasial tak akan pernah dapat diatasi. Argumen berwatak ‘totalizing’ ini, di mata Cannadine—yang mengartikannya sebagai “menggambarkan dan mendefinisikan individu-individu berdasarkan keanggotaan mereka dalam satu kelompok tunggal, dan menganggap pengelompokan tersebut lebih penting dan lebih meliputi dibandingkan solidaritas lainnya”, secara empiris salah.

Tak seperti identitas keagamaan yang bersandar pada Kitab Suci atau identitas kelas yang diturunkan dari tulisan Karl Marx dan Frederich Engels, identitas ras diperkuat (atau diperlemah) oleh tulisan-tulisan yang lebih beragam dan seringkali bertentangan satu sama lain. Kondisi ini, menurut Cannadine, membantu menjelaskan mengapa para sejarawan tidak bersepakat kapan ras menjadi bentuk penting dari persepsi, identitas, peringkat, maupun antagonisme kolektif. Sejak 1880an, pembenaran atas hierarki ras dilakukan melalui tulisan-tulisan sejarah yang ditopang oleh pseudo-scientific tracts.

Bagi Cannadine, klaim mutlak atas identitas kebangsaan juga mengherankan: “Bagaimana mungkin antagonisme antar bangsa menjadi feature sejarah Barat, padahal bangsa-bangsa merupakan produk masa kini?” Merujuk ke Eropa hingga abad ke-18, ia menunjukkan, yang disebut perang antarnegara sesungguhnya adalah perang antarmonarki. Bahkan, pada Perang Dunia I, ketika ide kebangsaan lebih menarik ketimbang ide kelas, kurang dari 5% saja dari orang yang hidup di wilayah yang kini disebut Itali berbicara sehari-hari dalam bahasa Itali. Sementara, baik ‘Jerman’ maupun ‘Austria-Hungaria’ lebih merupakan multinational empires ketimbang unified-states.

Lalu apa yang dikatakan Cannadine tentang identitas keenam, peradaban? Klaim akan identitas peradaban ini menguat setelah Samuel Huntington menerbitkan Clash of Civilisation (1993, 1996), meskipun—sebagaimana dilacak oleh Cannadine—gagasan ini dapat ditelusuri hingga karya Edward Gibbon, Decline and Fall of the Roman Empire, yang melukiskan benturan kaum pagan dan Kristen, serta kaum barbar dan Roma. Istilah ‘benturan peradaban’ digunakan lebih dulu oleh Basil Mathews (1926), diadopsi oleh Bernard Lewis (1990), dan dipopulerkan oleh Huntington. Tesis Huntington memperoleh momentum setelah peristiwa 9/11 terjadi sebagai penjelasan paling berpengaruh.

“Sejarah manusia,” kata Huntington, “adalah sejarah peradaban. Mustahil untuk memikirkan perkembangan manusia dalam pengertian lain apapun...” Bagi Cannadine, ini klaim berlebihan. Dalam isu ini, ia sepemikiran dengan Sen (Identity and Violence) bahwa tesis benturan peradaban mengabaikan dua hal penting. Pertama, luasnya keragaman internal di dalam kategori-kategori peradaban. Kedua, jangkauan dan pengaruh interaksi—intelektual maupun material—yang melintasi batas-batas regional dari apa yang disebut peradaban.

Kendati klaim-klaim identitas itu mengandung kelemahan, tapi keteguhan dalam memandang dunia dengan perspektif Manichean telah melingkupi politik kontemporer dan sejarah manusia. Padahal dunia bukanlah angka biner. Seperti halnya Sen, Cannadine beranggapan bahwa pandangan Manichean telah membutakan kita terhadap ‘rentang, kompleksitas, dan keragaman identitas kita yang beraneka’. Ia menantang mereka yang meyakini bahwa seluruh sejarah manusia adalah sejarah konflik.

Karya Cannadine yang sangat menggoda ini menyisakan pertanyaan: haruskah penulis dan sejarawan bertanggungjawab atas konflik antarmanusia karena begitu besar pengaruh teks mereka? Bukankah mereka hanya menafsirkan apa yang berlangsung dalam masyarakatnya? “Sejarawan seharusnya tidak membantu mengonstruksi realitas dari versi yang salah,” kata Cannadine. Dalam menulis masa lampau, para sejarawan perlu merayakan kemanusiaan bersama yang selalu mengikat kita, yang masih mengikat kita hingga hari ini, dan akan terus mengikat kita bersama di masa depan—kemanusiaan bersama yang melampaui segenap perbedaan. Mereka seharusnya fokus bukan pada apa yang memecah kemanusiaan, tapi apa yang menyatukannya.

The Undivided Past, pada akhirnya, adalah seruan bagi keberagaman. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

2 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB