x

Andrea Barzagli (kiri) coba menghalau Luiz Suarez pada laga penyisihan grup D, piala dunia Brazil, 25 Juni 2014. Uruguay menang 1-0. YASUYOSHI CHIBA/AFP/Getty Images

Iklan

Toriq Hadad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kolombia vs Uruguay:Bahaya Suarez Sentris

Menyaksikan Kolombia menghadapi Uruguay saya yakin betul tentang apa yang saya pikirkan bahwa Uruguay menderita penyakit yang sebut sajalah Sindroma Suarez Sentris.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Menyaksikan Kolombia menghadapi Uruguay saya yakin betul tentang apa yang saya pikirkan bahwa Uruguay menderita  penyakit yang sebut sajalah Sindroma Suarez Sentris.

 

Semestinya pelatih Oscar Tabarez sudah membaca gejala tak baik ini. Pelatih 67 tahun itu sudah begitu lama menangani Uruguay. Tapi agaknya Tabarez tak punya resep jitu mengatasinya. Jadilah Uruguay sangat-sangat tergantung pada penyerang tengah klub Liverpool Inggris itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Uruguay tanpa Luis Suarez bukan hanya bagaikan sayur tanpa garam, melainkan sudah seperti anak ayam kehilangan induk. Suarez --yang kini dihukum tak boleh ikut sembilan pertandingan internasional oleh FIFA akibat menggigit pundak pemain belakang Italia Giorgio Chiellini di penyisihan grup --merupakan nyawa Uruguay.  

 

Prestasi Uruguay di Babak Penyisihan Grup D menunjukkan betapa tergantungnya tim itu pada Suarez. Pada pertandingan pembuka melawan Kostarika, tanpa Suarez yang baru menjalani operasi lutut, Uruguay kalah 1-3. Tapi begitu Suarez turun bertanding melawan Inggris, dia langsung mencetak dua gol dan menyalakan semangat timnya. Begitu juga ketika Uruguay mengalahkan Italia 1-0, Suarez seperti dinamo yang menggerakkan mesin permainan Uruguay.

 

Itu sebabnya Uruguay seperti kehilangan tenaga di Babak 16 Besar ketika melawan Kolombia tanpa kehadiran Suarez. Masuknya penyerang Diego Forlan dan pasangan Suarez yakni Edinson Cavani tak memberikan banyak pengaruh. Tentu saja saya tak mengecilkan sumbangan besar James Rodriquez, gelandang Kolombia yang benar-benar cemerlang malam itu. Gelandang AS Monaco Perancis ini juga yang akhirnya mencetak dua gol ke gawang Uruguay.

Barangkali Sindroma Suarez Sentris semakin tahun semakin parah. Buktinya? Sepanjang sejarah sepak bola Uruguay, tim itu lebih banyak menang ketimbang kalah versus Kolombia.  Selama ini, keduanya sudah bermain 14 kali dan Uruguay menang 8 kali, Kolombia menang 4 kali, sisanya seri. 

 Pertandingan terakhir Uruguay melawan Kolombia terjadi pada babak kualifikasi. Keduanya bermain dua kali. Pada pertandingan pertama, September 2012, di kandang Kolombia, tuan rumah membantai Uruguay dengan 4-0. Tapi ketika bermain di kandang Uruguay, setahun kemudian, ganti Uruguay yang mengalahkan Kolombia dengan 2-0.

 Pemusatan kekuatan tim pada diri seorang bintang bukan hanya terjadi pada Suarez. Kesebelasan nasional Indonesia pernah juga mengalami keadaan ini. Ketika itu gelandang elegan Ronny Pattinasarani menjadi pujaan penonton sepak bola kita. Dia bukan hanya jenderal di lapangan tengah, tapi sekaligus pengatur serangan, juga inspirator setiap serangan. Ditambah kharismanya yang besar, sebagai kapten kesebelasan Ronny menjadi pusat kekuatan tim dan bahkan pusat ketergantungan pemain lain. PSSI tanpa Ronny akan sangat melemah. Padahal di tahun 1980-an itu usia Ronny sudah menginjak kepala tiga. Akibatnya, begitu Ronny –yang terkenal sebagai pecandu rokok berat itu – menurun staminanya maka seluruh tim ikut-ikutan menurun.

 Di Brasil 2014, saya melihat gejala yang sama menghinggapi Argentina. Tim Tango terlalu tergantung pada seorang Lionel Messi. Pasang surut serangan Argentina tergantung Messi, cepat lambat permainan ditentukan Messi. Anak muda kesayangan klub Barcelona yang sekaligus kapten itu merupakan segala-galanya. Messi....Messi...dan Messi. 

 Sepak bola merupakan permainan tim. Kerjasama merupakan kata kunci, apalagi sepak bola di zaman modern ini. Argentina sebenarnya tak perlu bergantung benar pada Messi. Masih ada Di Maria, Kun Aguero, juga Gonzalo Higuain. Bila semua terpusat pada Messi, para bintang lain itu akan meredup, kontribusinya pada tim akan tidak maksimal. Pelatih Alejandro Sabella perlu memikirkan terpusatnya kekuatan pada satu bintang ini, bila timnya ingin beranjak lebih jauh dari Babak 16 Besar.

 Sebuah tim sepak bola jelas memerlukan bintang, tapi tidak menggantungkan segalanya pada sang bintang. Tim Brasil dulu punya Pele, tapi sukses Brasil merebut gelar juara dunia tidak hanya lantaran Pele. Totalitas kerja sebuah tim lebih menentukan ketimbang kerja solo sang bintang. 

 Uruguay keliru bergantung pada Suarez, akankah Argentina mengulangi kegagalan negeri jirannya itu?   

 

TH

 

 

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Toriq Hadad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB