x

Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas (kanan), Adnan Pandu Praja (tengah) dan Sineas Tino Saroengallo saat membuka jumpa pers peluncuran Festival Film Antikorupsi (ACFFest) 2013 di Auditorium gedung KPK, Jakarta, (24/9). TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Optimisme Berantas Korupsi Melalui Sinema

Sinema menjadi media dalam membangun kesadaran antikorupsi. Perlu dikembangkan pula melalui ruang kesenian lain.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Alih-alih memperoleh kembalian uang receh, seorang anak justru kudu rela menerima beberapa butir permen ketika belanja ke sebuah toko kelontong. Pupuslah niatannya untuk menabung. Kini di hadapannya setumpuk permen pengganti uang koin pengembalian. Setengah jengkel ia bergegas ke toko, bermaksud membeli buku tulis dengan menukar permen itu. Apa mau dikata, sang pemilik warung menolaknya mentah-mentah, dan boleh jadi tak menyadari perbuatan itu bisa disebut korupsi.

Kecurangan serupa bisa hadir melalui aneka cerita sehari-hari di sekitar kita. Alkisah sebuah sekolah menggelar lomba maraton keliling kampung. Daripada jujur berlari menempuh jarak yang ditentukan, dua peserta memilih boncengan bersama ayah dan salah seorang temannya. Tak ayal, keduanya tampil paling awal di finis, dan dinyatakan sebagai pemenang. Namun kebohongan itu, di akhir cerita, toh terbongkar juga. Gelar juara mereka pun dibatalkan diiringi sorak sorai ejekan teman-teman sekelasnya.

Kedua cerita sarat pesan di atas, Langka Receh karya sutradara Miftahun dan Eka Susilawati (durasi 5 menit) dan Boncengan arahan Senoaji Julius (durasi 16 menit) adalah sebagian film yang ditayangkan pada Anti Corruption Film Festival (ACFFest) 2013, digelar di Bentara Budaya Bali, 23-24 Januari 2014, kerjasama dengan KPK dan Udayana Science Club (Universitas Udayana).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Festival menghadirkan 12 film, baik dokumenter, animasi, maupun film cerita, bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai anti-korupsi lewat kampanye pendidikan serta gerakan anti-korupsi melalui film. Karya lainnya yang ditayangkan, Ketika UN Dipertanyakan (Isdulah R.), Sahabat Pemberani (Tino Saroengallo), Money Talks (Muhamad Arief), Debt (Khusnul Khitam), Kamijen Bergerak (Darwin Nugraha), Sekolah Kami Hidup Kami (Steve Pillar Setiabudi), Jadi Jagoan Ala Ahok (Amelia Hapsari&Chandra Tanzil), Laila (Chairun Nissa), serta dua film dari omnibus ‘Kita versus Korupsi’ yakni Selamat Siang Risa (sutradara Ine Febriyanti) dan Psstt…Jangan Bilang Siapa-siapa (besutan Chairun Nissa).

Film-film yang ditayangkan tersebut merekam kejadian sehari-hari, mencerminkan sikap toleran yang salah kaprah, semisal toleran pada praktik mencontek dalam ujian, kelalaian diri sendiri, pengabaian tanggungjawab, dan bentuk kesalahan lainnya. Korupsi, plagiat, dan kecurangan menjadi lazim. Memang alah bisa karena biasa, dan akhirnya seolah-olah itu hal yang lumrah saja. Di sisi lain, sebagian film juga menyiratkan upaya segelintir tokohnya bertahan untuk tetap bersih dan jujur di tengah berbagai kesulitan yang membelitnya.

Setidaknya ACFFest 2013 ini berhasil menunjukan kepada kita sejumlah kreator atau sutradara yang memiliki keberanian untuk mengungkapkan secara gamblang dan terus terang praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat kita. Simak saja film dokumenter Ketika UN Dipertanyakan. Dalam film berdurasi 3 menit ini kita bisa melihat persoalan menurunnya mentalitas kejujuran yang selalu mengemuka dalam ujian nasional, mulai dari praktik mencontek hingga korupsi anggaran pendidikan yang ditengarai selalu terjadi. Atau misalnya pada Laila (durasi 24 menit) yang memotret birokrasi pelayanan Jamkesmas yang rumit dan berbelit-belit.

Akan tetapi, apakah sebenarnya yang disebut korupsi itu? Semata hanya menyangkut uang triliunan dan wewenang serta kekuasaan yang disalahgunakan? Bermula darimanakah sebenarnya korupsi ini?

Mengawali diskusi yang diadakan serangkaian festival ini, Putu Wirata Dwikora, Ketua Bali Corruption Watch (BCW), mengungkapkan korupsi bisa dilakukan siapapun, tidak pandang latar belakang pendidikan, jabatan dan status sosialnya. Namun, yang memprihatinkan, pelakunya tidak hanya dari generasi usia 50-an ataupun warisan Orde Baru, melainkan mulai menggerogoti generasi muda. Sekarang ada 18 gubernur dan 310 bupati tercatat tersangkut korupsi. Partai politik yang dipercaya melakukan perubahan sosial-politik, ternyata tidak lepas dari soal pidana ini.

Korupsi memang sudah melilit sedemikian rupa, sering kali tidak jelas ujung pangkalnya, bahkan adakah ini merupakan warisan mentalitas VOC, maskapai dagang yang bangkrut karena korupsi? Layak juga dicatat, sejak awal kemerdekaan Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Ramadhan KH serta nama-nama lainnya telah menulis soal korupsi sebagai bahaya laten bangsa ini. Namun, apakah benar korupsi telah menjadi watak yang membudaya sebagaimana pernah disinyalir oleh Bung Hatta?

Kehadiran festival ini ini dapatlah dipandang sebagai upaya membangun optimisme bahwa korupsi bisa diberantas hingga tuntas. Dotty Rahmatiasih dari Direktorat Pendidikan dan Pelayanan Publik KPK memaparkan bahwa festival bertujuan memberikan penyadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan dan pemberantasan korupsi. Di sisi lain, festival ini diharapkan mampu memberikan pandangan atas apa yang dimaksud dengan korupsi, sebab berdasarkan survei integritas yang secara berkala dilakukan oleh KPK, tidak seluruh masyarakat menyadari korupsi sebenarnya terjadi di sekitar mereka. Bahkan tidak sedikit yang menganggap korupsi hanya menyangkut oknum pejabat negara, terjadi di Jakarta, kota-kota besar, maupun yang terpublikasikan di media massa saja. “Temuan menyebutkan, masyarakat kita masih permisif terhadap praktik korupsi, sebagaimana terjadi di pusat pelayanan publik seperti ketika pembuatan KTP, SIM dan lainnya,” tandas Dotty menjawab antusiasme peserta yang bertanya mengapa KPK menyelenggarakan ACFFest 2013 ini.

Sementara itu, Irawati yang juga mewakili KPK menyebutkan generasi kini hendaknya tidak hanya menjadi penerus bangsa, namun juga pelurus aneka persoalan di negeri ini. Ia menghimbau agar generasi muda jangan abai terhadap ketimpangan yang terjadi di masyarakat, di mana setiap pihak harus punya kesadaran melawan perilaku koruptif, dan terus berlatih menjadi pribadi yang berintegritas.  

Selama dua hari festival tak kurang 495 pemirsa yang hadir, sebagian besar generasi muda. Antusiasme mereka bertanya tentang korupsi dan problematik yang dihadapi KPK mencerminkan hal ironis sebaliknya, di mana para koruptor tampil dengan senyum dan seolah tanpa rasa bersalah, seakan mereka tertangkap hanya karena kesialan belaka atau persaingan politik dan pengkhianatan dari rekan kerjanya. Rupanya tangkap tangan dan penindakan tanpa pandang bulu yang dilakukan KPK belum mampu menimbulkan efek jera. Dalam konteks inilah, maka festival film ini menjadi penting, sebagai upaya preventif bagi generasi muda dalam menumbuhkan pemahaman serta sikap anti-korupsi, sekaligus memutus mata rantai korupsi dari generasi sebelumnya, yang siapa tahu memang terlanjur menjadi epidemi yang tak bisa lagi disembuhkan.

Sedemikian parah tak tersembuhkankah wabah korupsi di negeri ini? Jawabnya ada di penghujung film Debt arahan Khusnul Khitam, di mana sang tokoh utama, Sugeng si debt collector, kali ini tak berdaya menagih, hatinya luluh tersentuh menyaksikan kemiskinan yang melilit si piutang tersebut. Ia bahkan rela akhirnya menggadaikan cincin kawin guna menalangi. Bolehlah dikata, film fiksi pendek ini meyakinkan kita bahwa di dalam diri setiap manusia sesungguhnya masih tersimpan benih kebaikan. Siapa tahu melalui ACFFest 2013 ini, benih-benih kebaikan anti korupsi rekah tumbuh di kalangan generasi kini, sembari kita tetap tegas menggalang gerakan, mereka yang curang dan korupsi, silakan berakhir di kamar sempit bui.

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler