x

Made Wianta

Iklan

Ni Made Frischa Aswarini

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Asal Jangan Keseringan

esai pendek berisi pengalaman dan boleh dikata renungan penulis tentang eksistensi manusia berhadapan dengan absurditas

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Apa yang pertama Bapak pikirkan ketika jatuh sakit? Apakah ingat kepada Tuhan?"

 

Sekitar tahun 2008, bersama tiga orang kawan, saya terlibat proses pengerjaan buku biografi bertajuk Waktu Tuhan yang mengulas kehidupan kreatif Made Wianta. Dalam sebuah kesempatan wawancara di Galeri Seputih, Jalan Pandu, Denpasar, salah satu di antara kami mengajukan pertanyaan di atas kepada seniman multitalenta tersebut.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Saya kagum dengan kespontanan teman saya sekaligus penasaran, jawaban apa kira-kira yang bakal dilontarkan Wianta untuk menanggapi pertanyaan yang rada menggelitik itu. Menjadi lebih menarik mengingat kecenderungan pribadi Wianta yang (selalu ingin) bebas dan kerap mempertanyakan serta menyangsikan berbagai hal.

 

Tentu itu boleh dikata adalah sebentuk sikap kritisnya yang lahir dari pergumulan kreatif yang panjang, pergaulan lintas budaya dan bangsa, serta pergulatan batin dalam menghadapi sekian pengalaman di hidupnya. Bisa dimaklumi pula, seniman besar manapun tentu tidak akan lekas puas oleh segala sesuatu yang normatif, mereka dengan suka rela merawat kegelisahan untuk terus menyusuri pertanyaan tentang hidup tanpa menerima bulat-bulat jawaban umum yang tersedia di masyarakat.

 

Tetapi ngomong-ngomong saya tidak sedang ingin mengulas apa rincian jawaban Wianta kala itu. Saya sebetulnya tiba-tiba teringat adegan wawancara tersebut saat saya tengah terbaring sakit beberapa waktu lalu lantaran demam berdarah dengue. Mungkin karena banyaknya waktu luang, pikiran saya jadi mengembara ke mana-mana, termasuk ke masa lalu.

 

Pertama kalinya saya menginap di rumah sakit, ditemani selang infus dan jarum suntik yang setiap pagi dengan mesra mengecup pembuluh darah saya. Ya, yang namanya pengalaman pertama pastilah membekas di ingatan. Tetapi kalau dipikir-pikir, sebenarnya momen yang paling berkesan buat saya bukan jarum dan infus yang membuat tangan saya jadi bengkak sebelah itu (sekarang sudah normal lagi), melainkan aneka perasaan yang sempat berkelindan dalam diri saya ketika mendapati diri tak berdaya tak seperti biasanya.

 

Selama masa opname, pada saat pagi dan siang ketika mata tak mau terpejam, tanpa direncana, ingatan-ingatan masa lalu muncul lagi dalam benak. Kecuali saat sore dan malam ketika bapak dan ibu datang menjenguk, saya memang kerap sendirian di ruang rawat inap nomor 14 tersebut. Di tengah kesendirian itu, saya berkesempatan meresapi banyak hal yang saya alami di hari-hari yang silam dan anehnya sempat pula mengalami ketakutan dijemput maut.

 

Perasaan itu jelas berlebihan, karena saya memang tidak dalam kondisi kritis. Kegelisahan muncul lantaran saya teringat seorang teman di SMA yang meninggal karena terjangkit virus yang sama. Berbeda dengan saya, ia terlambat memperoleh penanganan medis. Mungkin karena parno, ketika nyeri menyerang perut dan dada saya (barangkali karena naiknya asam lambung), saya langsung berpikiran jangan-jangan ini giliran saya.

 

Ketika itu pula, saya terkenang pada seorang teman lain, teman yang sangat berbakat dalam sastra dan teater, yang meninggal di usianya yang sangat muda. Belum pudar dari ingatan, ketika saya berusaha bercakap dengannya di ruang perawatan rumah sakit Wangaya, beberapa hari sebelum ia berpulang karena lupus, penyakit menahun yang mengerikan.

 

Saya terperangkap dalam kesedihan. Saat itu saya dapat merasakan apa yang mungkin juga mereka rasakan: kesakitan badan, kengerian kesendirian.

 

Di tengah kondisi itu, saya berpikir, betapa berharga waktu-waktu yang telah saya lalui selama ini, betapa banyak rasa bersalah yang belum terbayarkan dan janji yang belum dipenuhi, betapa tak sedikit orang baik dan hal-hal baik dalam kehidupan saya. Saya berlinang kenangan.

 

Mungkinkah ini juga yang dialami oleh mereka (dan kita kelak) yang tengah berhadapan dengan wajah lembut maut? Akankah pada momen itu kita juga bakal merasakan keintiman dengan Tuhan, berbincang akrab dengannya sembari mengaku dosa? Inikah maksud dari pertanyaan teman saya kepada Wianta enam tahun silam?

 

Dalam catatan Pertemuan dengan Chairil Anwar, Arief Budiman mengatakan setidaknya ada tiga perasaan yang akan muncul ketika seseorang menyadari kematiannya sudah sangat dekat yaitu : perasaan terasing, kesepian dan gelisah.

 

Kita menjadi gelisah, karena tak pernah berhasil menemu penjelasan terang tentang kemana kita akan pergi setelah mati nanti, serta berbagai pertanyaan yang muskil dicari jawaban pastinya. Sepanjang hidup kita selalu berupaya tegar di hadapan absurditas. Kita terbayang-bayangi oleh Albert Camus yang meyakinkan kita bahwa hidup harus dihadapi dan bunuh diri adalah hina. Namun di ambang ajal, di momen yang sakral itu, tak pelak kita kembali ditelanjangi: menyadari diri tak pernah mampu mengungguli Sang Waktu.

 

Kita kesepian karena merasakan alienasi, keterasingan. Segala hal yang dulu begitu bermakna mungkin seketika menjadi hambar. Apa yang dulu dibanggakan tak lagi jadi pegangan eksistensi.

 

Mengingat hal itu, ke-parno-an saya lenyap, rupanya giliran saya belum tiba. Kesepian yang saya rasakan toh tidak berujung pada keterasingan, melainkan meluap jadi kerinduan pada hidup, kehendak untuk sedapat mungkin terus memburu arti, betapapun tidak mudah meraihnya.

 

Mungkin, ya mungkin saja, kadang-kadang kita memang perlu menghadapi pengalaman buruk yang menolong kita membentang jarak dalam memandang diri sendiri: mengkritisi persepsi dan kekhilafan yang telanjur diamini. Inilah momen tafakur yang layak dimaknai dengan rasa syukur.

 

Setidaknya pada saat seperti itu, kita dengan bangga bisa menyatakan bahwa “pengalaman buruklah yang menyempurnakan kemanusiaanku”, atau barangkali lewat kepahitan itu pula iman kita justru kian meneguh.

 

Ya.. asal jangan sering-sering saja.

 

 

Ikuti tulisan menarik Ni Made Frischa Aswarini lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler