Di Gaza, kematian membayang-bayangi anak-anak, remaja, dan perempuan Palestina, tapi bukan lagi seperti Freddy Krueger yang memburu korbannya hingga ke dalam mimpi. Saban hari, maut menjemput mereka. Rudal meluncur dan menghantam sudut-sudut Gaza tanpa mengenali usia dan jenis kelamin.
Politik atas nama ‘keamanan bangsa’, gengsi dan hasrat akan kuasa, juga perkara identitas telah mengubah Gaza jadi medan yang tak henti menampung darah. Langit malam Gaza berpendar bukan oleh bintang berekor, melainkan rudal yang tengah mencari mangsa—kematian jadi pemenuh segala alasan tadi, yang membikin kita geram. Sayangnya, kita hanya sanggup berteriak.
Di Ukraina, langit juga berpendar dan bergemuruh oleh suara desing rudal. Malaysia Airlines bernomor MH17, yang mengusung 298 jiwa, menjemput kematian di langit negeri yang tengah dikoyak pengkhianatan itu. Dan Putin pun mengheningkan cipta mendengar kabar meledaknya MH17—tapi kita tak pernah tahu apa yang dipikirkan penguasa Rusia itu.
Para penembak tertawa seakan kanak-kanak yang menang taruhan adu jitu menembak sasaran. Sayangnya, kita hanya sanggup berteriak. Menyalakan lilin barangkali kebajikan yang paling mungkin kita lakukan, sementara beraneka kisah ihwal penembakan itu mulai beredar. Ikhtiar menyamarkan penembakan barangkali sejenis bentuk rasa bersalah yang masih sempat hinggap di hati orang-orang itu, juga mereka yang mendekenginya.
Dua puluh tahun yang silam, di Rwanda darah terus menetes. Bukan, bukan cuma menetes, tapi mengaliri bumi Rwanda dan membasahi tanah-tanah yang terbakar matahari. Itulah darah 800 ribu orang Tutsi yang dilenyapkan oleh orang Hutu (oknum, ekstremis?)—genosida berlangsung di depan mata kita. Dunia menjerit menyaksikan kekejian itu, tapi tak seorang pun sanggup menghentikannya.
Ratusan jiwa, ribuan jiwa, ratusan ribu jiwa melayang oleh karena hasrat akan kuasa dan kebanggaan akan identitas. Namun bukan hanya statistik itu yang menyesakkan dada, melainkan cara jiwa itu berpulang. Satu jiwa pun sungguh berhak atas kematian yang layak. Lihatlah, para penguasa di setiap negeri menyaksikan apa yang terjadi, tapi mereka berlagak seperti tak mengerti.
Kita, yang tak berkuasa, terperangkap dalam kejadian yang tak terduga, yang menghancurkan ekspektasi kita, yang membuat kita sukar memercayai realitas, yang mendadak membelenggu kita dalam ketakutan dan ketidakberdayaan. Mata kita terbeliak, mulut kita tercekat. Barangkali kita hanya sanggup menyalakan lilin.
Ketika itulah, pembantaian Gaza dan Ukraina menjelma jadi horor—horor yang nyata, yang juga memburu kita hingga ke dalam mimpi: Apa yang bisa engkau lakukan? Kita menjerit tanpa bersuara. ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.