x

Iklan

matatita suluhpratita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Made in Indonesia

Saat sedang belanja suvenir di Eropa, adakalanya kita nggak rela begitu mendapati tulisan Madi in China, Made in Indonesia, atau Made in negara-negara lain di Asia. Penginnya sih bisa dapat suvenir Made in Italy atau Made in France.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Aduuuhh, ternyata buatan Indonesia..!” seru seorang kawan sambil membentangkan blazer yang kemarin dibelinya dari butik Zara di Paris. Seruannya mengandung rasa kecewa yang dalam. “Lihat nih, Made in Indonesia…!” serunya lagi sambil menunjukkan jahitan label di balik baju barunya. Kami segera mendekat, lalu sama-sama terkejut begitu menyadari bahwa benar ada tulisan Made in Indonesia terjahit di sana. “Masak sudah jauh-jauh ke Paris dapetnya baju Made in Indonesia pula..,” gerutunya.

Merasa kecewa ketika menyadari bahwa barang yang jauh-jauh dibeli di luar negeri ternyata buatan Indonesia atau buatan China adalah hal yang wajar. Sayapun pernah merasakannya, barangkali Anda juga. Tentu saja bukan karena tidak bangga dengan kualitas produk Indonesia. Tapi semata karena sudah membelinya di negeri jauh, dengan mata uang asing yang kurs-nya selangit pula. Rasanya nggak rela membayarkan uang Euro untuk sebuah produk dengan label Made in Indonesia atau Made in China dan negara-negara Asia lainnya. Maunya sih, kalau liburan ke Eropa, pulangnya membawa suvenir dan produk dengan tulisan Made in France, Made in Italy, Made in the U.K. 

Namun faktanya, di Eropa begitu bertebaran produk yang dibuat di negara-negara Asia, termasuk di Indonesia. Tak hanya produk suvenir seperti kaos, gantungan kunci, dan magnet kulkas, namun juga produk fashion dari merek ternama yang sudah mendunia sebagian besar dibikin di Asia. Wajarlah, karena biaya produksi pabrik di Asia jauh lebih murah daripada di Eropa. Jadilah kita dikepung produk-produk bikinan Asia, meski tengah berada di benua Eropa dan bertransaksi dengan mata uang Euro atau Poundsterling.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seorang kawan bahkan dengan sangat sadis lantas mengguntingi label dari puluhan t-shirt suvenir yang dibelinya sebagai oleh-oleh. “Ntar dikira beli di Mangga Dua,” katanya. Ia sudah membayangkan reaksi kecewa dari kerabat dan para sahabat yang diberi buah tangan buatan Indonesia dan China. Padahal ia sudah bersusah payah memilih t-shirt suvenir, membayar ratusan Euro, dan bahkan terpaksa membeli satu koper lagi khusus berisi suvenir oleh-oleh. Nggak rela rasanya dituduh membeli barang-barang tersebut dari pusat grosir Mangga Dua Jakarta.

Para penjual suvenir di Eropa sepertinya juga lebih suka menjual barang asli produk negerinya sendiri. Produk Made in China sebisa mungkin disembunyikan. Apalagi kalau ketemu calon pembeli turis Asia yang penginnya membawa pulang produk Eropa. 

Saya pernah menemukan tulisan “Not Made in China” di sebuah toko kerajinan seni kaca Murano di Venezia, Italia. Seni kaca Murano berupa aksesoris, kalung, gelang, dan berbagai hiasan lain yang indah banyak digemari wisatawan sebagai cinderamata. Toko-toko kerajinan seni kaca Murano banyak dijumpai di Venezia. Bahkan bisa disebut suvenir khas Venezia karena agak sulit menemukannya di tempat lain di Italia. Sekilas, memang mirip dengan aksesoris berbahan kaca buatan China yang banyak dijumpai di Indonesia.

Kali lain, saya menemukan ada penjual suvenir di depan Koloseum Roma memasang tulisan “Made in Italy” di dekat barang dagangan yang dijual seharga Eur 1,00 per buah. Saya tak tahu pasti apakah suvenir berupa miniatur Koloseum, Gladiator, Basilica St Petrus dan lainnya itu benar-benar buatan Italia ataukah Made in China. Yang pasti, para penjual suvenir juga mulai sadar diri bahwa produk Made in Italy lebih digemari turis daripada produk Made in China.

Lantas, jika hampir semua produk yang beredar di daratan Eropa dibikin di Asia, ke manakah kita mencari suvenir atau produk yang bisa jadi kenang-kenangan dengan tulisan Made in France atau Made in Italy?

Saya pernah menjelajah kawasan pinggiran Paris yang non touristic. Nyaris tak ada turis yang kelayapan ke sana. Saya masuk ke toko-toko kecil yang menjual barang-barang aneka kebutuhan harian termasuk pakaian sekedar untuk melihat-lihat. Sembari mencari-cari barangkali nemu sesuatu yang lucu buat oleh-oleh Si Kecil di rumah. Namanya juga emak-emak, kalau lagi traveling semua oleh-oleh yang dibeli hanya buat anak.

Maka saya pun membeli beberapa potong baju lucu yang harganya murah-meriah. Saya juga tak terlalu mempedulikan mereknya, karena juga bukan tipe branded minded. Yang penting ada buah tangan sebagai obat rindu karena sudah dua minggu meninggalkan Si Kecil.

Sesampai di hotel saat mulai packing dan menjejalkan belanjaan ke dalam ransel, tanpa sengaja saya menemukan tulisan Made in France di hangtag baju tersebut. “Hah, beneran ini bikinan Perancis? Baju semurah meriah ini?” tanya saya dalam hati penuh rasa heran. Saya bolak-balik baju tersebut untuk mencari label jahit. Eh, beneran loh. Ada tulisan Made in France-nya!

Saya kegirangan luar biasa. Tak mengira menemukan baju murah meriah berlabel Made in France, negeri yang menjadi salah kiblat fashion dunia. “Anakku, Ibu akan pulang membawa oleh-oleh baju buatan Perancis yang harganya sama dengan sebuah gantungan kunci!” Padahal, sebelumnya saya pernah membeli merchandise di Disney Store yang terkenal itu. Dan lagi-lagi menemukan tulisan kecil Made in China di bawah tulisan Disney Store.

Sejak saat itu, saya lebih suka menyambangi toko lokal daripada toko-toko yang berjejer di kawasan turis. Karena di sanalah kita akan menemukan oleh-oleh khas yang sesungguhnya. Sudah begitu harganya pun lebih terjangkau, bahkan cenderung murah jika dibanding suvenir di kawasan wisata. 

(Foto: Matatita)

 

 

Ikuti tulisan menarik matatita suluhpratita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler