x

Warga berkumpul untuk memprotes Islamofobia, di Brussels, Belgia, 26 Oktober 2014. Islamofobia dalah rasa takut akan kelompok muslim dan khawatir menjadi terorisme. Dursun Aydemir/Getty Images

Iklan

Ni Made Purnama Sari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merasionalkan Radikalisme?

Percepatan perubahan mengakibatkan perubahan pola-pola sosial, termasuk perluasan gagasan radikalisme.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bagi Fukuyama, liberal demokrasi mensyaratkan satu kondisi yang tak tertolak, bahwa di tengah arus percepatan kemajuan, manusia membutuhkan penguatan kerangka pikir rasional dalam merawat tatanan sosial yang inklusif. Lebih dari itu, liberal demokrasi dapat dipandang sebagai dua situasi futuristik dari kelindan pergolakan zaman, antara lain sebagai cara sekaligus tujuan dalam membangun kehidupan sosial yang diharapkan.

Namun persoalannya, bagaimana cara untuk sungguh-sungguh menumbuhkan kerangka pikir rasional ini? Zaman yang gegas berubah telah mengakibatkan pergeseran—atau bahkan pemutarbalikan—atas keadaan-keadaan di masa silam. Dari era agraris ke tatanan industrialis, atau malahan kini, akibat perkembangan teknologi, beralih ke masa informatika di mana pola hubungan sosial pun sedikit banyak bertranformasi ke arah hubungan sosial yang bersifat semata informatif, teknologis, bahkan juga ekonomis. Gagasan transformasi peradaban ini sebenarnya memang telah dibahas semenjak revolusi industri merebak di Inggris—dan ini tidak dimungkiri Fukuyama—hal mana tecerminkan dari peralihan konsep gemeinshaft dan geiselshaft. Alih-alih menggantikan hubungan yang bersifat status di mana di dalamnya melekat sebentuk pola relasi timbal-balik, ownership yang emosional, hingga rasa bertanggungjawab kebersamaan, kini hubungan sosial lebih terdepankan sebagai ‘kontrak’ yang berdasar pada konsep take-and-give yang nyaris ‘transaksional’. Hal inilah yang menurut Fukuyama dianggap sebagai momok dari tatanan manusia modern, yang harus segera diselesaikan dengan membentuk institusi yang kuat guna merawat nilai dan norma sosial kita—atau dalam kata lainnya, liberal demokrasi. Inilah, nalar rasional yang dikedepankan Fukuyama.

Tapi tetaplah, pertanyaan pertama tadi belum tuntas terjawab. Bagaimana nalar ini harus bersikap di tengah antitesa rasionalitas yang mengemuka dalam arus percepatan perubahan? Seakan membebaskan jarak geografis, teknologi malahan mempertegas jarak-jarak sosial. Dibandingkan menyebarkan ilmu pengetahuan dan keharmonian, pencapaian kemajuan semacam ini bagaikan tak berdaya dalam menangkal ide-ide radikal dan aksi anarkis di berbagai belahan dunia. Bahkan, sekarang berkembang satu tren yang memprihatinkan: daripada empati para peristiwa sehari-hari, masyarakat kita seolah latah untuk bergabung dalam komunitas dunia maya, menunjukan kepeduliannya lewat thumbs-revolution atau hashtag-community—sebentuk istilah akibat maraknya aksi simpati yang dilakukan hanya dengan men-tweet atau memberi tanda pagar pada linimasa jejaring sosial. Aksi-aksi ini memang bergaung, namun jelaslah minim dampak nyatanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Terorisme merupakan satu muara dari kegamangan dan ketidakmampuan nalar rasional kita dalam menyikapi arus kemajuan ini. Contohnya sederhana, terlihat dari polarisasi tujuan atas kasus-kasus terorisme yang merebak. Terorisme di Indonesia bukan lagi ‘peperangan’ antara segelintir muslim dengan musuh-musuh asing semisal Amerika dan sekutunya, melainkan mengarah ke sisi lain seperti representasi institusi pemerintahan (kepolisian) atau bahkan pihak-pihak tertentu di luar konteks ‘musuh’ pada mulanya. Begitu juga dengan motif dan latar belakang pelakunya, tidak semata dikaitkan dengan perjuangan kelompok muslim tertentu seperti di era-era lalu.

Ya, adalah tidak tepat bila kita mengidentikan terorisme dengan muslim. Terorisme kiranya memiliki dimensi-dimensi yang beraneka, dan tidak selalu berkaitan dengan agama maupun ideologis tertentu. Kita tentu masih ingat bagaimana seorang pemuda tanpa terduga melakukan aksi anarkis penembakan puluhan orang di Norwegia beberapa tahun silam. Atau penembakan oleh seorang mahasiswa kampus ternama di Amerika, yang menewaskan teman-teman kuliahnya. Bahkan baru-baru ini pemerintah Kanada pun kelimpungan dengan tingkah seseorang yang menerobos gedung pemerintahan serta melakukan tindakan kekerasan yang tak terduga. Jangankan laku terorisme yang berujung pada korban jiwa, penyebaran isu mencemaskan lewat jejaring sosial ataupun pesan-pesan singkat pun barangkali dapat dikategorikan sebagai wujud terorisme dalam bentuk lain. Artinya, kita bisa bercuriga, bahwa benih kekerasan serta konflik memang tertanam dalam pikiran manusia dan menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya, begitu kata Georg Simmel.

Ketidakmampuan kita dalam menyikapi arus perubahan memang mendorong pada alienasi. Bayangkan saja bagaimana isu-isu global dapat disajikan secara gamblang hingga ke ruang-ruang privat, entah lewat televisi, internet maupun akses teknologi lainnya. Semua itu mengepung kesadaran kita secara serentak, membuat sebagian besar orang gamang sekaligus terasing, hingga tidak dapat mengidentifikasi kenyataan demi kenyataan yang terjadi. Lain dari itu, memori seseorang begitu mudah dibentuk oleh sajian audiovisual yang menawarkan akses berita dan gambar kekerasan sedemikian luasnya. Pemisalan untuk mendukung argumentasi ini, dapatlah ditelisik ada berapa anak muda yang nalar emosional dan kekerasannya meningkat setelah menyaksikan film porno atau berbau violent?

Omer Taspinar (2009)[1] lebih cenderung menyebut perjuangan untuk melawan radikalisme dibandingkan terorisme. Gagasannya sederhana, tidak semua aksi terror berujung pada tindakan radikal, dan semua aksi radikal pastilah menimbulkan teror atau ketakutan. Lain dari itu, baginya radikalisme lebih akurat untuk mencerminkan dimensi politik dan ideologis dari tindakan kekerasan. Pengertian terorisme sendiri makin bergeser pada konsep tantangan keamanan (security challenge) baik dalam level lokal ataupun global.

Meskipun masih menitikberatkan faktor sosial-ekonomi sebagai sebab aksi kekerasan, gagasan Omer dalam memandang penajaman persepsi atas deprivasi relatif di berbagai belahan dunia kiranya perlu ditinjau. Menurutnya, globalisasi dan keterbukaan informasi justru menciptakan kepedulian tinggi untuk melakukan aksi solidaritas di manapun, kendati kasus-kasus bersifat sangat relatif bilamana dibahas di luar lokasinya. Tak jarang ini menimbulkan frustrasi dan aksi kekerasan pada pemuda muslim yang urban, tak terdidik dan pengangguran. Rasa frustrasi ini dapat diperkuat dan direpresi lagi oleh kondisi demografi yang membludak, pengharapan yang berlebih atas segala sesuatu, lemahnya peran negara, hingga kenyataan minimnya mobilitas sosial yang diraihnya. Ketegangan inilah yang sering menjadi sebab dari tindakan radikal belakangan, dan tecerminkan dari polarisasi tujuan, latar belakang pelaku berikut modus operandinya.

Hingga kini memang tidak ada rumus baku untuk menyelesaikan kasus radikalisme maupun terorisme. Ia tidak semata muncul dari kawasan-kawasan konflik ataupun negara-negara berkembang. Penembakan membabibuta di Norwegia atau kekerasan di kampus ternama Amerika tadi adalah sedikit pemisalan betapa kondisi ini pun bisa muncul di negara-negara yang terbilang maju dan terjamin kehidupan demokrasinya. Mengenai hal ini, gagasan Fukuyama bisa menjadi salah satu uraian sebabnya. Bahwa keterbukaan akses informasi, komunikasi dan teknologi malahan bersisian dengan keterasingan individualnya. Bahwa berita dan sekian persoalan dapat masuk ke ruang pribadi, sehingga konsep solidaritas serta masalah bersama pun seolah-olah menemu bentuknya (meskipun kadangkala itu hanya sekadar persepsi dan belum tentu mencerminkan kenyataan). Bahwa semua hal inilah yang berpotensi menumpulkan daya nalar rasional dan menajamkan naluri emosional seseorang. Inilah, yang menurut Fukuyama, merupakan akar dari kekacauan besar yang mengancam kehidupan masyarakat di masa kini, pun juga mungkin di masa mendatang.***

[1] Fighting Radicalism, not ‘Terrorism’: Root Causes of an International Actor Redefined, tahun 2009 oleh Omer Taspiner, oleh The Johns Hopkins University Press

Sumber foto: Tempo.co

Ikuti tulisan menarik Ni Made Purnama Sari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler