x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Rokok Bu Menteri Susi Perlu Disoal?

Merokok membunuhmu!

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Wajar bila sejumlah kalangan mempersoalkan langgam menteri Susi yang suka merokok. Apalagi aktivitas merokok tersebut beliau lakukan di tempat publik, di halaman Istana Negara. Masalah rokok bukan sekedar soal attitude, tapi juga soal kesehatan. Tak bisa ditampik, semua dokter di muka bumi—terlepas ia sekuler atau religius—telah sepakat bahwa rokok lebih besar mudaratnya dan nihil manfaatnya.

Faktanya, meski kegiatan merokok lebih diasosiasikan dengan kaum pria—yang dianggap oleh sejumlah kalangan sebagai simbol kejantanan dan kematangan—korban paparan asap rokok dari kalangan perempuan ternyata cukup tinggi. Sebagai perokok pasif (second-hand smoke) perempuan sangat rentan terserang sejumlah penyakit kronis yang disebabkan paparan asap rokok, misalnya, kanker paru-paru.

Pada tahun 2012, seorang kawan saya didiagnosis mengidap kanker paru. Awalnya hanya batuk biasa. Karena sakit batuknya tak kunjung reda, ia kemudian memeriksakan diri ke dokter. Malang nasibnya, kanker yang bersarang di dalam tubuhnya ternyata sudah kronik. Stadium empat! Dokter pun memvonis ia hanya bakal bertahan hidup selama enam bulan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seberapa panjang usia seseorang memang urusan Tuhan. Tapi, hasil diagnosis dan vonis dari dokter telah membuatnya terpukul, meski ia belum hilang harapan. Pengalaman menunjukkan, mereka yang mengidap kanker paru—apalagi sudah memasuki stadium lanjut—memang tak berumur panjang. Hari-hari yang dilalui ibarat penantian menunggu ajal menjemput. Memang tak pasti kapan datangnya. Tapi dari hari ke hari kian dekat. Enam bulan, kurang lebih.

Hebatnya, ia tak patah arang. Ia berusaha melawan kanker yang dari hari ke hari kian progressif dan menggerogoti tubuhnya yang kian ringkih. Berbagai macam pengobatan untuk merengkuh kesembuhan dicobanya, medis maupun alternatif. Senyum dan tawa juga sesekali tetap menghiasi wajahnya.

Apa daya, sel kanker ternyata terlalu kuat. Kawan saya itu akhirnya kalah setelah berjuang cukup lama. Vonis dokter hanya meleset dua bulan. Pada awal tahun 2013, ia mengembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit pemerintah di Jakarta.

Kuat dugaan, penyebab kanker paru yang diidap kawan saya adalah paparan asap rokok. Suaminya adalah seorang perokok berat. Dan, ia setia menjadi perokok pasif selama lebih dari dua puluh tahun.

Apa yang dialami kawan saya ini merupakan gambaran betapa besarnya bahaya yang mengintai para perokok pasif di negeri ini. Negeri yang dihuni oleh 60 juta perokok aktif, 4 persen dari seluruh perokok di dunia (World Tobacco Atlas, 2012). Saban hari mereka membakar 720 juta batang rokok yang asapnya mengepul ke mana-mana, menyebarkan berbagai macam racun dan penyakit.

Soal bahaya paparan asap rokok bagi kesehatan saya kira tak usah dibahas lagi. Faktanya, dalam sebatang rokok saja terkandung 4.000 jenis senyawa kimia beracun. Celakanya, bahaya asap rokok juga mengintai mereka yang tidak merokok, namun terkena paparan asap rokok alias perokok pasif. Naasnya, sebagian besar perokok pasif yang menjadi korban paparan asap rokok selama ini adalah kaum wanita.

Pada tahun 2004, misalnya, sekitar 600 ribu perokok pasif di dunia meninggal akibat penyakit yang disebabkan oleh paparan asap rokok. Dan, 47 persen di antaranya adalah kaum wanita. Karena itu, para perokok aktif di negeri ini seharusnya sadar bahwa aktivitas merokok yang mereka lakukan juga berbahaya bagi kesehatan orang-orang di sekelilingnya. Orang-orang yang mereka cintai: anak, istri/suami, sahabat, dan keluarganya.

Sayangnya, meski bahaya yang ditimbulkan oleh paparan asap rokok sudah mengintai di depan mata, regulasi dalam soal pembatasan konsumsi rokok dan tembakau di negeri ini termasuk salah satu yang terlemah di dunia. Pendek kata, negeri ini adalah surga bagi para perokok dan produsen rokok. Kampanye anti rokok seolah begitu-begitu saja. Memang ada sedikit peningkatan. Tapi itu hanya sebatas tambahan kalimat “Rokok Membuhmu” dan gambar menyeramkan pada bungkus rokok.

Pemerintah seolah takluk dengan kepentingan para pelaku industri rokok dan tembakau. Hal ini tercermin dari posisi Indonesia sebagai satu-satunya negera di Asia yang belum meratifikasi dan memberlakukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Sebuah kerangka kerja yang mengontrol konsumsi tembakau.

Terlepas dari pertimbangan ekonomi, pemerintah seharusnya sadar akan bahaya yang ditimbulkan oleh konsumsi rokok. Sudah sepatutnya, pemerintah melakukan upaya-upaya serius untuk mengendalikan konsumsi rokok dan tembakau, baik itu melalui regulasi yang ketat maupun kampanye anti rokok  yang lebih “keras”.

Terkait kampanye anti rokok, aktivitas merokok yang dilakukan menteri Susi boleh dibilang sebuah pukulan telak. Tentu saja tidak make sense bila kita menghubungkan kinerja dan kapabilitas beliau sebagi menteri dan kegandrungannya pada pada rokok, karena memang kedua hal ini tak ada korelasinya. Tapi beliau adalah seorang menteri dan pejabat negara, tempat orang mengambil contoh dan panutan—termasuk dalam soal merokok. (*) 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler