x

Sejumlah siswa membawa tumpeng untuk diberikan kepada guru dalam memperingati Hari Guru Nasional di SDN 02 Pagi Lebak Bulus, Jakarta, 25 November 2014. Tempo/Dian Triyuli Handoko

Iklan

Mahendra Ibn Muhammad Adam

Sejarah mengadili hukum dan ekonomi, sebab sejarah adalah takdir, di satu sisi. *blog: https://mahendros.wordpress.com/ *Twitter: @mahenunja - FB: Mahendra Ibn Muhammad Adam
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Momentum 69 Tahun PGRI: Teladani Enam Prinsip Ini!

Dalam momentum memperingati hari guru (PGRI) yang ke-69, seyogiyanya harus menganut enam prinsip, selalu belajar, lapang dada, jujur, berbaur, bijak dan sabar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berdasarkan sekilas pandang profil sekolah-sekolah di Kab. Merangin, Povinsi Jambi, jumlah guru perempuan lebih bayak ketimbang laki-laki. Saya merasakan hal demikian bahkan semenjak TK, SD, SMP, dan SMA bahwa guru laki-laki tidak lebih banyak ketimbang guru perempuan. Mungkin se-Indonesia juga demikian.

 

Sehingga memetakan karakter guru tidaklah salah jika disamakan dengan memetakan jiwa perempuan (jiwa asuh). Seperti apakah guru yang baik itu ditentukan oleh karakter mengasuh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Tampaknya orang besar seperti Benito Mussolini, Adolf Hitler, Josef Stalin terlahir dan berkembang bersama asuhan ibunya. Ayah Mussolini adalah pandai besi berkarakter keras. Ayah Adolf Hitler adalah kejam terhadap istri. Ayah Stalin suka menganiaya anak.

 

Memang tidak semua laki-laki kejam dan tidak semua perempuan berjiwa mengasuh. Laki-laki dan perempuan berbagi tugas. Laki-laki kepala pemerintahan, sementara perempuan kepala pengasuhan. Hubungan laki-laki dan wanita bukan dengan landasan kemitraan. Hubungannya lebih dari sekedar itu, yakni hubungan saling menutupi kekurangan masing-masing. Seperti baut dan mur keduanya saling menguatkan meskipun secara prinsip ada pertaksamaan (tak sama bentuk) dan ada pula persamaan (sama-sama besi).

 

Dalam momentum memperingati hari guru (PGRI) yang ke-69, seyogiyanya harus menganut enam prinsip berikut.

 

1. Budaya Belajar

Belajar sebagai aktivitas di manapun dan kapanpun. Beljar tidak mesti di sekolah. Seseorang dapat mengasah pikiran dan keterampilan dengan baca, tulis, berbicara, dan praktik. Setiap orang adalah pintar (bisa) di bidangnya tapi tidak (bisa)  di bidang yang orang lain pintar (bisa). Setiap orang hadir dengan kebisaannya sekaligus ketidakbisaannya. Setiap orang eksis dengan kepintarannya sekaligus kebodohannya. Sehingga, (1) setiap orang saling membutuhkan, dan (2) orang yang paling baik adalah yang paling banyak gurunya sekaligus paling banyak muridnya. Hal tersebut menandakan kepada siapa saja ia bisa ‘berguru.’

 

2. Sabar

Sabar yang ditafsir sebagai aktivitas pasif adalah sebuah kekeliruan. Sabar justru kesedian bekerja keras meski diri ditimpa kesulitan-kesulitan. Kesediaan menyisihkan pikiran tentang kesulitan-kesulitan yang disubstitusi dengan pikiran tentang keoptimisan. Berarti sabar bukan menunggu, justru sebalikmya, sabar adalah komitmen terus bekerja.

 

3. Bijak

Istilah bijak inilah yang menjadi kata yang membantah opini bahwa tidak ada gunanya sekolah tinggi kalau si masa depan hidup pas-pas-an. Bijak lahir dari pengalaman dan perenungan sejarah. Misal, uang bukan segala-galanya, uang yang dalam arti harta riil seperti emas, perak kebun, ternak dan seterusnya merupakan perangkat yang membantu kita mengejar keabadian akhirat dan memahami ketidakabadian dunia (apalagi kalau kita memahami hukum termodinamika).

 

4. jujur

Kejujuran seperti akar yang menopang batang yang bercabang-cabang. Bermacam sifat yang baik muncul dari akar yakni kejujuran. Perilaku mencontek menjangkiti siswa bahka gurunya. Tidaklah cukup sekadar memiliki pengetahuan bahwa kita selalu terdorong berbuat baik (jujur). Dibutuhkan teladan (praktik). Praktik inilah yang akan mengangkat bangsa kita.

 

5. Berbaur

Tampaknya Mao Tse-tung sulit jadi orang besar jika tidak terorganisasi dalam Partai Komunis, Mussolini tidak jadi orang besar jika tidak terorganisasi dalam perusahan pers. Hitler tidak jadi orang besar jika tidak bergabung dengan Akedemi Militer, Stalin pun demikian sulit jadi orang besar jika tidak bersekolah seminari. Selayaknya Soekarno tidak mungkin jadi orang besar jika ia tidak berbaur dengan Jong Java dan National Indische Partij.

 

6. Lapang Dada

Lapang dada tidak dimiliki Hitler, Mussolini, Mao Tse-tung, ataupun Stalin. Mereka tidak siap dengan fakta bahwa cinta dasarnya persamaan dan pertaksamaan, sehingga mereka membunuh lawan politiknya. Berbeda dengan Soekarno, ia berusaha toleran meskipun dalam kacamata yang lain ia bisa dipandang keliru pemahaman. Setidaknya, Soekarno berusaha toleran. Ditandai dengan usahanya menggiring partisi-partisi ke dalam ideologisasi NASAKOM (Nasional , Agama, dan Komunis) pada era 1959-1967 ketika Soekarno menerapkan demokrasi terpimpin.

 

Read more:

http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/siaranpers/3519

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/267992/Adolf-Hitler

http://www.historyplace.com/worldwar2/riseofhitler/born.htm

http://www.encyclopedia.com/topic/Benito_Mussolini.aspx

http://www.encyclopedia.com/topic/Joseph_Stalin.aspx

http://www.encyclopedia.com/topic/Mao_Zedong.aspx

http://marxists.org/reference/archive/smith-adam/works/moral/part02/part2b.htm#2.3

http://profil.merdeka.com/indonesia/s/soekarno/

Alejandro, Emdievi Y.G. 2007. 41 Diktator Zaman Modern: Mengejar Ambisi Menuai Tragedi. Visimedia. Jakarta.

Ikuti tulisan menarik Mahendra Ibn Muhammad Adam lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu