x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Regenerasi Petani Sangat Mendesak

Swasembada pangan bakal sulit terwujud tanpa regenerasi petani. Hasil ST-2013 menunjukkan, jumlah petani usia tua (55+ tahun) meningkat cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah telah menetapkan target ambisius untuk mewujudkan swasembada pangan dalam waktu tiga tahun. Sejumlah langkah teknis—yang difokuskan pada peningkatan kapasitas produksi pangan nasional—pun telah disiapkan untuk merengkuh target tersebut, salah satunya, pengalihan subsidi BBM ke sektor pertanian sebesar Rp 16 triliun untuk revitalisasi dan pembangunan jaringan irigasi baru.

Secara faktual, dari sekitar 8,1 juta hektare lahan sawah di negeri ini, baru seluas 4,8 juta hektare yang berkategori sawah irigasi. Itupun, sebagian besar jaringan irigasi teknis yang ada dilaporkan dalam kondisi rusak. Jadi, tidak membikin heran bila optimalisasi lahan sawah masih jauh dari harapan. Hal itu tercermin dari indeks pertanaman padi sawah yang hanya sebesar 1,6. Artinya, masih banyak sawah di negeri ini hanya bisa ditanami padi sekali dalam setahun, karena dukungan irigasi yang kurang memadai.

Karena itu, pengalihan Rp 16 triliun dana subsisidi BBM untuk irigasi adalah langkah yang tepat. Jika terlaksana, hal itu dapat mendorong peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, khususnya beras, melalui peningkatan produktivitas dan luas panen.

Namun demikian, ihwal mewujudkan swasembada pangan, ada satu persoalan krusial yang juga harus menjadi fokus perhatian pemerintah selain peningkatan kapasitas produksi, yakni  soal regenerasi petani. Hal ini menjadi penting untuk diperhatikan. Pasalnya, keberhasilan negeri ini dalam merengkuh swasembada pangan sangat ditentukan oleh kinerja dan produktivitas para petani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktanya, hasil Sensus Pertanian 2013 (ST-2013) memperlihatkan, jumlah rumah tangga usaha tani (petani) telah berkurang sebanyak 5,1 juta rumah tangga selama dasawarsa terakhir. Memang, penurunan tersebut berdampak positif berupa peningkatan rata-rata luas lahan pertanian yang dikuasi petani dan penurunan jumlah petani gurem. Tapi, pada saat yang sama, hal tersebut sebetulnya merupakan ancaman terhadap keberlanjutan produksi pangan nasional.

Betapa tidak, mutasi tenaga kerja di sektor pertanian ternyata juga dibarengi dengan “penuaan petani”. Hasil ST-2013 menunjukkan, jumlah petani usia tua (55+ tahun) meningkat cukup signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, sementara jumlah petani usia muda (15-24 tahun) justru terus berkurang. Itu artinya, kultur bertani kian tergerus dan minat generasi muda untuk menjadi petani semakin rendah.

Hal tersebut kian diperparah dengan rendahnya tingkat pendidikan petani. Kenyataannya, sekitar 70 persen petani negeri ini hanya menamatkan pendidikan maksimal sekolah dasar. Konsekuensinya, mereka bakal sulit mengikuti perkembangan teknologi pertanian dan produktivitas lahan pertanian bakal berkurang. Jadi, target swasembada pangan boleh jadi hanya akan menjadi sekadar mimpi yang sulit diwujudkan, karena terkendala produktivitas dan kompetensi petani yang kurang memadai.

Karena itu, minat generasi muda negeri ini terhadap profesi petani harus digalakkan. Dan, hal itu hanya bisa terwujud bila sektor pertanian menjadi lapangan pekerjaan yang menarik dan menjanjikan secara ekonomi. Dengan kata lain, pendapatan petani harus digenjot, misalnya, melalui subsidi input, perlindungan petani dari produk impor, dan jaminan harga yang menguntungkan bagi hasil produksi petani.

Kadir, bekerja di BPS, Instruktur Nasional Sensus Pertanian 2013

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler