Pemerintah secara resmi telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk jenis premium dan solar sebesar Rp 2.000 per liter pada bulan lalu. Seperti biasa, selalu ada penolakan dan protes di kalanagan masyarakat ihwal penaikan tersebut. Salah satu hal yang mendasari protes dan penolakan tersebut adalah kekhawatiran bahwa kenaikan harga BBM bakal menyengsarakan masyarakat miskin akibat meningkatnya tekanan biaya hidup (inflasi) dan penurunan daya beli.
Sebetulnya, kekhawatiran bahwa kenaikan harga BBM bakal menyengsarakan penduduk miskin sedikit berlebihan. Malah sebaliknya, kenaikan BBM sejatinya justru berdampak positif bahkan menguntungkan penduduk miskin. Memang angka kemiskinan kemungkinan besar bakal naik, tapi kenaikan tersebut boleh dibilang tidak terlalu signifikan. Apalagi pemerintah telah menyiapkan dana kompensasi jangka pendek berupa bantuan tunai sebesar Rp 200 ribu per bulan kepada 15,5 juta rumah tangga kurang mampu.
Mengapa bisa demikian? Ihwal kenaikan BBM, rumah tangga miskin faktanya relatif terproteksi karena tiga hal. Pertama, konsumsi langsung BBM relatif kecil. Kedua, konsumsi komoditas yang sensitif terhadap kenaikan BBM seperti jasa transportasi juga relatif kecil. Ketiga, harga beras, komoditas yang dominan dalam pola konsumsi penduduk miskin, relatif stabil karena dikontrol oleh pemerintah (Muhammad Ikhsan, 2005).
Secara kuantitatif, dampak kenaikan harga BBM terhadap kondisi ekonomi masyarakat kurang mampu termanivestasi melalui peningkatan persentase jumlah penduduk miskin (incidence of poverty) serta kenaikan indeks kedalaman kemiskinan (poverty gap index) dan indeks keparahan kemiskinan (poverty sevarity index), yang menunjukkan kian memburuknya kondisi ekonomi masyarakat miskin.
Pengalaman pada 2013 menunjukan, kenaikan harga BBM memang memperburuk kondisi kemiskinan. Hal itu tercermin dari pertambahan jumlah penduduk miskin sebanyak 0,48 juta orang sepanjang Maret—September 2013. Tapi, kenaikan tersebut sebetulnya bisa diredam bila inflasi dapat dikendalikan dengan baik dan penyaluran kompensasi kenaikan BBM, yang menyasar 15,5 juta rumah tangga, benar-benar tepat sasaran dan tanpa kebocoran.
Diketahui, paket kompensasi kenaikan harga BBM pada 2013 mencapai 29,05 triliun atau mencakup 74 persen dari total jumlah anggaran subsidi yang berhasil dihemat. Sekadar merinci, paket kompensasi tersebut mencakup Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar 9,3 triliun, Program Keluarga Harapan (0,7 triliun), Beras Untuk Rakyat Miskin (4,3 triliun), Bantuan Siswa Miskin (7,5 triliun), dan program infrastruktur dasar (7,25 triliun).
Sebetulnya, kalau hanya sekadar mempertahankan daya beli penduduk kurang mampu—seperti kondisi sebelum BBM dinaikkan—mdari hantaman inflasi dan mencegah bertambahnya kelompok miskin baru, pemberian BLSM sudah lebih dari cukup (overcompensated). Hasil simulasi Bank Dunia memperlihatkan, BLSM seharusnya mampu meredam dampak kenaikan harga BBM, bahkan berkontribusi secara signifikan terhadap penurunan kemiskinan sepanjang September 2013—Maret 2014 (Indonesia Economic Quarterly, Juli 2013).
Ditengarai, salah satu penyebab utama kurang optimalnya efektivitas BLSM tersebut adalah adanya kebocoran dalam penyaluran bantuan (mistargeting). Hal itu terjadi karena penentuan rumah tangga sasaran didasarkan pada data lama, yakni hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2011 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Basis data warga miskin ini dikelola oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K).
Dengan demikian, belajar dari pengalaman sebelumnya, selain pengendalian inflasi, proses penyaluran dana kompensasi sangat menentukan keberhasilan pemerintah dalam meredam dampak kenaikan BBM terhadap kondisi ekonomi masyarakat miskin. Karena itu, pemerintah harus memastikan akurasi data yang dijadikan dasar penentuan rumah tangga penerima kompensasi dan menjamin proses penyalurannya bebas dari penyelewengan. (*)
Kadir, bekerja di Badan Pusat Statistik
Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.