x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menemukan Kebenaran Tanpa Menyiksa

Cara-cara kekerasan digunakan untuk mencari kebenaran, tapi yang ditemukan hanya kebenaran semu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"You can chain me, you can torture me, you can even destroy this body, but you will never imprison my mind."
--Mahatma Gandhi (Pemimpin India, 1869-1948)
 
 

Dengan menyiksa, apa yang ingin diperoleh ‘yang berkuasa’ dari ‘yang dikuasai’? Pengakuan, informasi, atau penyerahan diri yang total? Dapatkah penyiksa menemukan kebenaran dengan cara menyulutkan ujung rokok yang menyala, menginjak jempol kaki dengan kaki meja, menyemprotkan air bertekanan tinggi, menyimpannya dalam sel isolasi dengan pakaian minim?

Dalam situasi penyiksaan, berkuasa dan dikuasai memiliki relasi kontekstual. Di saat itu, ‘yang berkuasa’ merasa di atas angin, dan karena itu punya keberanian untuk melakukan apa saja yang ia mau untuk memperlemah ‘yang dikuasai’—lemah fisik, dan kemudian lemah psikologis. Berbagai ragam tekanan dilakukan agar ‘yang dikuasai’ mengeluarkan rahasia yang (dalam sangkaan penyiksa) ia ketahui. Mungkin pula, penyiksa menghendaki adanya sejenis pengakuan dosa atas apa yang tidak ia lakukan—“Ya, saya yang melakukan perampokan.”

Untuk apa sebenarnya penyiksaan dilakukan? Sekedar untuk memuaskan hasrat ‘yang berkuasa’ bahwa mereka telah menemukan siapa pelaku perampokan, pencurian, intimidasi, teror, atau pemboman? Bahwa mereka telah mampu menaklukkan si tertuduh? Boleh jadi. Tapi ini pengakuan semu, kebenaran semu.

Dengan menyiksa ‘yang dikuasai’, sesungguhnya ‘yang berkuasa’ telah putus asa dalam upayanya untuk mendapatkan apa yang ia cari dengan cara-cara yang manusiawi dan beradab. Ia tidak lagi mampu menggunakan persuasi, bujukan, negosiasi, tawaran, ataupun janji-janji kepada ‘yang dikuasai’. Ia putus asa dihadapkan pada dinding tebal pertahanan ‘yang dikuasai’.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ketika jurus-jurus itu tidak lagi mempan untuk mengorek rahasia, ‘yang berkuasa’ memilih cara-cara kekerasan. Orang-orang yang menggunakan kekerasan ketika berkuasa adalah orang-orang yang putus asa dalam membujuk dan memengaruhi orang lain. Ia putus asa lantaran hanya mampu mengurung fisik ‘yang dikuasai’, tapi tak mampu menguasai mentalnya. Lewat kekerasan, 'yang berkuasa' mencoba menyebarkan ancaman dan ketakutan.

Ruang sempit dan pengap sering kali menjadi saksi kegagalan upaya mengorek apa yang dianggap diketahui oleh 'yang dikuasai'. Namun ruang sempit, pengap, dan tak sepenuhnya benderang juga menjadi sejenis pendorong bagi 'yang berkuasa' untuk melancarkan siksaan. Menyiksa cenderung berlaku bagaikan candu--adiktif, menjadikan pelakunya ketagihan. Ia menikmati erang kesakitan mereka 'yang dikuasai'. Ia menikmati rasa cemas, takut, dan kegelisahan 'yang dikuasai'.

Memberi tekanan kekerasan adalah cara primitif untuk menaklukkan mental; namun di saat itu, ‘yang berkuasa’ boleh jadi tidak akan menemukan kebenaran sejati. Pada titik tertentu, ‘yang dikuasai’ mungkin menyerah pada penyiksaan—meski sesungguhnya ia lebih pemberani ketimbang ‘yang berkuasa’, ‘yang menyiksa’, sebab dalam konteks situasional ini, relasi mereka tidak setara. Mereka tidak sedang bertarung dalam kesetaraan: 'yang dikuasai' ditempatkan dalam ruang sempit, pengap, dan gelap sebagai cara mengintimidasi agar ia menjadi lemah. 'Yang berkuasa' hanya berani menyiksa di tengah ketidaksetaraan relasi.

Para penyiksa adalah orang-orang yang kehilangan keberanian untuk bertarung pikiran dan pengendalian emosi--bahkan ketika 'yang dikuasai' sudah tak mampu memberi perlawanan fisik. Menaklukkan dengan pikiran dan pengendalian emosi adalah cara yang jauh lebih sukar ketimbang penyiksaan. Penaklukan seperti ini memerlukan waktu, mungkin berjam-jam, berhari-hari, bahkan berbulan-bulan.

Demikianlah, ‘yang berkuasa’ menginginkan cara cepat dan pintas untuk mendapatkan apa yang ia cari dari ‘yang dikuasai’. Tapi, sering kali, mereka menemukan kebenaran yang semu. Saat itulah, mereka kalah untuk kedua kalinya. (foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler