x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Otokritik Zionis Liberal

Peter Beinart mengritik negara Israel yang telah melenceng dari cita-cita negara demokratis dan liberal seperti yang diangankan Theodor Herzl.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul Buku: The Crisis of Zionism
Penulis: Peter Beinart
Penerbit: Times Books Henry Holt and Company, New York
Edisi: I, 2012
Tebal: 289 halaman

 

Adakah sebuah negara Zionis yang liberal, demokratis, dan egaliter—seperti diangankan oleh Theodor Herzl? Negeri bernama Israel itu diceritakan sang nenek kepada Peter Beinart kecil sepulang dari sebuah sinagog di Sea Point, Afrika Selatan. Sang nenek ingin berkumpul dengan saudaranya, Isaac, di negeri yang idealnya, menurut Beinart, kini tengah berada di tubir jurang.

Sebuah rekaman video kiriman kawan Israelnya menguatkan kekhawatiran Beinart perihal tergerusnya cita-cita negara Zionis liberal itu. Fadel Jabar, seorang Palestina, diseret polisi Israel dengan tuduhan mencuri air. Kamera lalu beralih ke seorang anak lelaki lima tahun bernama Khaled yang di tengah ketakutannya mengintip di antara kaki-kaki orang dewasa. Ketika ayahnya semakin jauh, Khaled hanya bisa berteriak parau, “Baba, baba!”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tangisan Khaled menyisakan ‘horor tak bersuara’ di layar monitor Beinert. Ia mengaku tak tahu mengapa. “Mungkin karena anak lelaki saya seusia Khaled,” tulis Beinart. “Ia juga memanggilku Baba.”

Sudah berulang kali keluarga Jabar meminta penguasa wilayah pendudukan Tepi Barat untuk menyalurkan pipa air yang membasahi rumah-rumah keluarga Yahudi di samping mereka. Tapi di sini, orang Palestina adalah subyek—bukan warga negara.

Sayangnya, Beinart tak berkisah lebih jauh perihal derita dan siksa yang dialami orang-orang Palestina di Tepi Barat dan Gaza. Ia lebih ingin mengatakan bahwa pendudukan dan pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat telah membahayakan ideal negara Zionis yang demokratis. Barangkali karena buku ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi Amerika yang, di mata editor The New Republic ini, tidak terwakili dalam organisasi-organisasi mapan yang dikuasai kartel kekuasaan.

Terdapat urgensi moral untuk memberi kesempatan kepada orang Palestina membangun negaranya sendiri, kata Beinart. Para pemimpin Israel—yang dipilih secara demokratis, organisasi Yahudi-Amerika yang mapan, serta kaum Yahudi ortodoks telah menggagalkan perdamaian dengan selalu mengusung penderitaan masa lampau (victimhood) sebagai alasan. Tindakan mereka, kata Beinart, telah membahayakan negara Yahudi yang dibangun di atas gagasan liberal.

Israel memang menghadapi ancaman, tutur Beinart, tapi menganalogikan terus-menerus ancaman ini dengan Holocaust sangatlah berbahaya. Selama Holocaust, Yahudi di Eropa adalah bangsa yang lemah. Kini, Israel adalah negara kuat yang keputusan politiknya dapat membentuk watak ancaman-ancaman ini. Menghentikan pembangunan permukiman merupakan cara untuk melemahkan kekuatan anti-Israel radikal di dunia Arab dan memperkuat mereka yang mau hidup berdamai dengan Israel. Pemerintah Israel, di mata Beinart, telah gagal membentuk lingkungan strategisnya dengan cara yang dapat mengurangi ancaman keamanan.

Negara Palestina merdeka, dalam pandangan associate professor of political science di City University of New York ini, justru akan mengurangi ancaman keamanan bagi negara Israel. Inilah cara yang tepat untuk meredam gerakan radikal di tubuh Palestina, sekaligus inilah cara untuk menyelamatkan ideal negara Zionis liberal. “Kita mengatakan pada diri sendiri bahwa Israel adalah demokrasi, tapi di Tepi Barat yang ada adalah etnokrasi—sebuah tempat di mana Yahudi menikmati kewarganegaraan dan Palestina tidak.”

Beinart mengingatkan, Yahudi telah bergerak cepat dari bangsa tersebar yang tak berdaya pada permulaan abad ke-20 menjadi Yahudi yang kuat secara ekonomi, militer, dan politik. “Pergeseran itu begitu cepat, bahkan melampaui kecepatan berpikir orang Yahudi tentang diri mereka,” kata Beinart.

Beinart juga mengatakan ‘jika Yahudi tidak menggunakan kekuatan militer, politik, dan ekonominya secara etis—dengan menghargai hak-hak orang Palestina dan Arab-Israel, berarti Yahudi telah gagal belajar dari pelajaran menyakitkan dalam sejarah Yahudi sendiri.’ Kata-katanya terkesan begitu normatif untuk tidak mengatakan, seperti yang disebutkan sebagian pengritiknya dari sisi kiri, ‘naif’ terhadap real politics. Sebab, dengan kekuatan itu sekalipun, penguasa Israel dan kelompok mapan Yahudi-Amerika masih selalu mendengung-dengungkan narasi victimhood dan anti-Semitisme sebagai ‘senjata’ untuk memperoleh dukungan dan membenarkan pendudukan Tepi Barat.

Bagi Yahudi Amerika, pendudukan dan pembangunan permukiman di Tepi Barat merupakan isu yang sukar. Namun Beinart berupaya menunjukkan bahwa kritik terhadap penguasa Israel tidak sama dengan mendeligitimasi negara Yahudi. Dan ia yakin seruan dan aksi seperti ‘Zionist BDS’ (singkatan dari boycott, divestment and sanctions untuk wilayah permukiman Tepi Barat) tetap berguna untuk mengingatkan Yahudi Amerika perihal negeri Zionis liberal, walau memantik amarah sayap kanan Israel.

Upaya Beinart menyelamatkan cita-cita Herzl tentang sebuah negeri Zionis liberal, demokratis, dan egaliter bukan hanya membentur kekuatan mapan, tapi juga gugatan terhadap gagasan negeri liberal itu sendiri. “Zionisme liberal itu ideologi yang membingungkan,” ujar Joseph Dana, seorang jurnalis muda, “ia memberi keistimewaan kepada satu kelompok etnis di atas yang lain... bersandar pada gagasan Israel sebagai negara Yahudi dan demokratis—sebuah tempat di mana liberalisme (diharapkan) hidup berdampingan dengan tribalisme.”

Mungkinkah ketegangan fundamental antara Zionisme dan demokrasi liberal diselesaikan? (Ulasan saya ini pernah dimuat di Majalah Tempo edisi 18 Februari 2013) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu