x

Iklan

Fadly Rahman

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Petani di Antara 'Tanah Tuhan' dan Tuan Tanah

Ketika sudah dimiliki dan dikuasai, nilai keagungan tanah sudah tercerabut dari akarnya. Petani adalah korbannya. Tulisan ini coba membangunkan kembali nilai-nilai filosofis tanah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam tamadun umat manusia, tanah setubuh dengan kehidupan. Diimani juga secara teologis, bahwa manusia berasal dari tanah dan kelak akan kembali ke tanah. Mitos-mitos kesuburan mulai dari Mother of Venus atau Dewi Ibu hingga Dewi Sri pun bertemali dengan tanah.

Tidak heran, dalam kitab-kitab suci hingga kitab-kitab klasik karya para pujangga, tanah mengandung nilai yang luhung bagi kehidupan manusia. Buktinya saja dalam Negarakretagama (pupuh 88: 3) dikatakan: ”para wedana, akuwu dan tetua desa wajib memajukan wilayah desanya masing-masing. Sawah dan ladangnya harus dipelihara agar tetap subur. Tanah milik rakyat dilindungi agar tidak sampai jatuh ke tangan petani besar, sehingga mereka terusir ke desa tetangganya karena tidak mempunyai tanah lagi... karena kota dan desa seperti halnya singa dan hutan, maka bila ladang rusak, negara akan kekurangan makanan.”

Terpaksa, lumayan panjang saya mengutip bagian dari kitab yang ditulis sekitar 1364 M oleh Prapanca, pujangga masa Majapahit itu. Pasalnya, membaca kontekstualitas Jawa dari sumber masa abad ke-14 itu makin menguatkan bahwa masalah tanah bukanlah masalah kemarin sore. Masalah tanah pun tidak bisa sekedar melihat dalam konteks kekinian. Prapanca juga telah memancarkan suatu pesan kuat bahwa tanah sejatinya memiliki relasi antara satu unsur dengan unsur kehidupan lain; dari satu unit kehidupan yang kecil berjalin dengan unit kehidupan yang lebih besar. Harmonisasi antara negara dengan warga negaranya serta desa dengan kota dalam mengelola dan menjaga tanah adalah keharusan. Sebab, dari tanahlah sumber dari segala kemakmuran akan terjaga. Jika mata rantai tanah rusak, bukan hanya kelaparan yang mengancam, tapi juga instabilitas keamanan negara.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meski begitu tanah pun tidak cukup berfungsi dalam selimut mitos dan secara teologis belaka. Sebagaimana dalam teks Negarakretagama terkatakan bahwa tanah mesti ”dipelihara” dan ”dilindungi.” Jelas kedua kata ini menunjukkan adanya itikad kepentingan dan hasrat manusia atas kepemilikan tanah. Tanah jadinya bukan semata diimani milik Tuhan. Strategi atas pengolahan tanah sebagai garansi keamanan tanah dan ketahanan pangan juga menunjukkan betapa tanah juga sebetulnya adalah ruang politis. Hal ini tersiratkan dalam Babad Tanah Jawi, bagaimana Amangkurat II dalam masa awal kepemimpinannya menjadikan keamanan tanah dan ketersediaan beras murah sebagai indikator kewibawaan seorang penguasa dan standar kemakmuran rakyat.

Politik beras Mataram ini agaknya juga diikuti oleh Soeharto pada masa kekuasaan Orde Baru-nya. Namun, swasembada beras mendua sifatnya. Satu sisi disimbolkan sebagai kemakmuran bangsa. Tapi sisi lain semacam kedok politik yang menenggelamkan berbagai realitas tanah yang sedianya dilindungi dan dipelihara untuk kesejahteraan petani itu sendiri. Maka di sini, tanah menjadi aset penting bukan hanya sebagai pencaharian dan kemakmuran hidup bagi petani. Tapi juga bagi rezim penguasa. Dus, strategi sosial, ekonomi, dan politik atas tanah menjadi suatu permainan yang terus digulirkan oleh penguasa.

Kepemilikan tanah sendiri memang telah terkonsepkan silam. Hal itu terbuktikan dari istilah tanah pusaka dan tanah yasan sejak masa sebelum abad ke-18. Bagi kaum petani, tanah pusaka menunjukkan bahwa mereka dapat menyerahkan milik mereka itu kepada ahli waris. Adapun tanah yasan adalah tanah yang baru dibuka di bawah pimpinan sikep (mereka yang menanggung beban tanah). Dalam tanah yasan petani menumpang kerja pada sikep. Dalam sistem kerajaan Mataram, kepemilikan tanah diatur raja melalui bantuan priyayi sebagai penghubung antara kerajaan dengan rakyat. Para priyayi sendiri mendapat  lungguh (gaji tanah). Lungguh akan kembali pada raja jika sang pemegang meninggal atau dipecat. Artinya, raja adalah pemilik tunggal atas tanah.

Adapun bagi kalangan priyayi sendiri sebenarnya persoalan hak milik tanah dipahami secara samar. Pasalnya mereka tidak berurusan langsung dengan tanah dan hasil produksinya. Kebutuhan hidup dan sehari-hari dipenuhi dari hasil bumi yang diupetikan petani. Maka itu mereka tidak dapat menghargai tanah sebagaimana mestinya. Pengertian akan hak-hak milik atas tanah tidak berlaku di antara mereka. Kondisi kepemilikan tanah ini akhirnya juga dimanfaatkan oleh orang-orang Eropa sejak masa VOC hingga abad ke-19 mulai dari sistem landrent (sewa tanah), Cultuurstelsel (Sistem Budidaya)hingga Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria). Orang-orang Eropa memanfaatkan kondisi kultural di Jawa dengan memasukkan segala kepentingan ekonomi dan politik mereka atas tanah-tanah luas yang memiliki nilai investasi tinggi. Pada masa VOC sudah dimulai penerapan sistem tanah partikelir melalui peningkatan tanaman-tanaman ekspor (seperti gula, kina, kopi, dan lada). Raffles pada masa kekuasaanya mengubahnya dengan sistem sewa tanah. Karena tanah partikelir dinilai merugikan negara, maka Raffles membeli kembali tanah-tanah tersebut untuk kemudian disewakan. Selepas Raffles, dari masa Sistem Tanam Paksa (1830 -1870) hingga penerapan Undang-Undang Agraria (1870), pada intinya kepemilikan tanah sebetulnya tidak memihak petani dan kian menjauhi mereka. Tanah jadinya tak lebih ranah para tuan yang memiliki modal besar untuk menyewa, membeli, atau menanam investasi di atasnya.      

Di mata Karl J. Pelzer (1991), semua realitas agraria masa silam itu adalah jejalin yang tidak putus dengan masalah agraria Indonesia pada masa kemerdekaan. Kapitalisasi tanah masa kolonial yang bercampur dengan kondisi sosial budaya telah mewariskan masalah serius yang secara substansial masalahnya tak bergeser. Maksudnya, keberpihakan pada petani dalam hal dan hak mereka untuk memiliki tanahnya sendiri tak kunjung terwujud. Memang betul ada aksi-aksi gerakan sosial yang mewabah sepanjang abad ke-19 hingga paruh pertama abad ke-20. Tapi, jika diperhatikan, gerakan-gerakan itu sebenarnya tidak bermuara pada pengembalian tanah-tanah pada petani. Pelbagai gerakan itu sebenarnya dimotori oleh kepentingan-kepentingan yang non-agraris dan tidak sepenuhnya berpihak pada petani. Gerakannya pun dilatari oleh kepentingan ideologis segelintir pihak semisal fenomena nativisme dan mesianisme. Pun, pada awal abad ke-20 ketika ideologi politik (Islam, Nasionalisme, dan Komunisme) berdenyut dalam pergerakan nasional, isu-isu tanah sebetulnya hanya sebagai kendaraan politik saja. Nafsu PKI ingin memposisikan petani seperti halnya kaum proletar di Rusia melalui aksi revolusinya nyata tidak mengembalikan tanah-tanah kepada petani. Malah mereka menjadi korban-korban dari konflik ideologi politik sejak 1926, 1948, hingga 1965.

Maka, bersepakat dengan Pelzer, perumusan program agraria Republik pada masa tahun 1950-an hingga penetapan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 juga mengandung kemenduaan. Satu sisi nasionalisasi agraria ingin mendekolonialisasi sistem tanah yang ditubuhkan masa kolonial. Sisi lain, berbagai pihak dengan latar ideologi politiknya juga terjebak dalam kepentingan dirinya sendiri dan bukan atas nama kepentingan petani. Tanah jadinya cuma menjadi obyek bisnis penguasa dan pengusaha. Kebijakan-kebijakan pun sudah sejak awal kemerdekaan ditafsirkan lebih memihak pada para pengusaha asing dan tuan-tuan tanah, bukan pada petani.

Di sini, kebijakan mesti dibaca ke luar dari dimensi penguasa dan lalu menyelami pada dimensi petaninya. Jika membaca dari keseluruhan hal atas, sejarah agraria yang sedianya memihak pada petani berkenyataan sebaliknya: tidak seluruh membunyikan  nasib petani terkait hak dan kepemilikan tanah. Sebab, kedudukan tanah di antara penguasa dan pengusaha nyatanya hanya menenggelamkan nilai-nilai teologis tanah itu sendiri, seperti dihayati begitu arif oleh orang-orang Samin: ”lemah padha duwe, banyu padha duwe, kayu padha duwe.” Ya, tanah, air, dan hutan milik semua orang.      

 

Ikuti tulisan menarik Fadly Rahman lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu