x

Iklan

Anton Muhajir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Charlie Hebdo dan Kemanusiaan yang Timpang

Sekali lagi, memang tak pantas menyandingkan dan memperbandingkan kematian, apalagi pembantaian. Semua kematian sama pedihnya. Semua pembunuhan sama sadisnya. Namun, pertanyaan itu terus saja datang berulang: kenapa respon dunia berbeda?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kandahar, Afghanistan, 11 Maret 2012.

Seusai minum dan nonton bersama teman-temannya, Sersan Robert Bales meninggalkan pos jaganya. Dengan seragam militer Amerika lengkap, Bales menuju desa miskin tak jauh dari posnya, Alkozai.

Dia membawa pistol dan senjata laras panjang M14.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menggunakan dua senjata tersebut Bales menembak mati 16 warga sipil di dua rumah. Warga sipil yang umumnya anak-anak dan perempuan, tewas dibantai Bales. Sebagian mayat bahkan dibakar oleh tentara Amerika dari Ohio tersebut.

Media-media terkemuka internasional menyebut pembantaian tersebut sebagai salah satu kejahatan paling mengerikan oleh Amerika Serikat selama operasi mereka di Afghanistan.

Ironisnya, pembantaian itu seolah dibenarkan atas nama perang melawan terorisme.

Berbeda tempat tiga tahun sebelumnya, November 2009.

Sekitar 100 orang bersenjata menerobos kebun pisang di Ampatuan, Filipina selatan.

Mereka mencegat konvoi pendukung politisi lokal Esmael Mangudadatu yang akan maju ke pemilihan wali kota setempat. Dengan brutal, pria-pria dengan senapan itu membantai satu per satu orang dalam rombongan tersebut.

Total korban 58 orang. Semuanya warga sipil, 34 di antaranya adalah jurnalis lokal. Mayat para korban kemudian dikubur di tempat yang sudah disiapkan dua hari sebelumnya.

Committee to Protect Journalists (CPJ), organisasi perlindungan jurnalis internasional yang berpusat di Paris, menyebut pembantaian tersebut sebagai serangan paling mematikan terhadap jurnalis sepanjang sejarah.

Toh, pembantaian itu hanya menjadi isu nasional. Tak ada solidaritas global meskipun pada hari-hari setelah pembantaian tersebut.

Meksiko, 26 September 2014.

Sekitar 100 mahasiswa dari Tixtla melakukan perjalanan ke Iguala, Guerrero, Meksiko. Mereka akan berdemo memprotes konferensi yang diadakan oleh istri wali kota.

Polisi menghentikan perjalanan mereka dan menyarankan mereka melewati jalur lain. Tapi itu hanya sebuah jebakan. Di tengah jalan, ratusan polisi lain menangkap para mahasiswa tersebut dengan tuduhan telah membajak tiga bus.

Para mahasiswa dibawa ke tahanan. Hanya sebentar. Setelah itu mereka, para mahasiswa, diserahkan kepada gang lokal yang paling ditakuti, Guerreros Unidos. Ya. Polisi menyerahkan mahasiswa itu ke gangster. Selanjutnya, 34 mahasiswa dibunuh dengan sadis. Mayat mereka dibakar bersama ban, kayu, dan plastik.

Dua bulan berselang polisi menemukan fakta bahwa pembantaian mahasiswa tersebut didalangi wali kota dan istrinya yang hendak didemo mahasiswa. Polisi terlibat di dalamnya.

Pembantaian itu menjadi salah satu kejahatan politik terbesar di Meksiko.

Paris, 7 Januari 2014.

Dua pria bersenjata menyerbu kantor majalah satiris Charlie Hebdo. Mereka menembak mati 10 staf majalah tersebut serta 2 polisi yang menjaga kantor tersebut.

Belum jelas motivasi dua penembak bercadar tersebut. Keduanya belum tertangkap hingga hari ini. Namun, spekulasi beredar bahwa motif keduanya karena tidak suka terhadap kartun Charlie Hebdo yang dianggap melecehkan Nabi Muhammad.

Pembantaian di Charlie Hebdo mengundang duka cita dan simpati berbagai media internasional. Peristiwa itu pula yang membuat saya mencari-cari lagi informasi tentang pembantaian di Kandahar (Afghanistan), Maguindanao (Filipina), dan Iguala (Meksiko).

Meskipun mungkin tidak etis dan saya sendiri tidak terlalu nyaman, saya ingin melihat dan membandingkan bagaimana pembantaian-pembantaian lain juga terjadi. Semuanya memiliki korban sama, warga sipil. Pelaku dan lokasinya saja berbeda-beda.

Karena pelaku dan lokasi berbeda itu, maka respon dunia terhadapnya juga berbeda.

Sekali lagi, memang tak pantas menyandingkan dan memperbandingkan kematian, apalagi pembantaian. Semua kematian sama pedihnya. Semua pembunuhan sama sadisnya. Namun, pertanyaan itu terus saja datang berulang: kenapa respon dunia berbeda?

Jika tentara Amerika membunuh warga sipil, maka itu demi nasionalisme. Pembunuhnya sakit jiwa atau depresi. Jika pembunuhnya polisi dan gangster, maka itu kejahatan. Jika pelakunya muslim, maka itu terorisme.

Kenapa bisa?

Ikuti tulisan menarik Anton Muhajir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler