x

Massa teriakkan slogan penolakan UU Pilkada di depan Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 14 Oktober 2014. TEMPO/Dhemas Reviyanto

Iklan

Putu Suasta

Ketua Komisi Pemenangan Pemilu Partai Demokrat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

4 Alasan Mendukung Perppu Pilkada Langsung

Melihat beberapa kelemahan yang ada saat sistem Pilkada Langsung dilaksanakan, SBY mengeluarkan Perppu untuk mengoreksi beberapa poin dalam rangka penguatan sistem demokrasi dan efektivitas pelaksanaan Pilkada Langsung.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kontroversi tentang UU Pilkada yang menghangat beberapa bulan yang lalu belum sepenuhnya mereda karena secara de facto solusi atas kemelut tersebut juga belum final. Proses pengesahan Perppu yang diterbitkan di masa pemerintahan SBY sebagai solusi atas kemelut tersebut masih berlangsung di senayan (DPR). Dalam proses pengesahan tersebut, besar kemungkinan beberapa poin atau pasal akan direvisi atau dihilangkan, bahkan masih ada kemungkinan Perppu tersebut tidak mendapat persetujuan dari para anggota Dewan.

Tanpa ikut mencampuri perdebatan yang mungkin terjadi di antara para anggota Dewan dalam proses pengesahan tersebut, tulisan ini hendak menegaskan kembali semangat awal dan tujuan yang hendak dicapai penerbitan Perppu Pilkada Langsung di masa pemerintahan Presiden SBY. Posisi pemerintah, dalam hal ini pemerintahan SBY, kiranya sudah jelas bagi masyarakat yakni mendukung sepenuhnya pelaksanaan Pilkada Langsung sebagai bagian integral dari sistem demokrasi yang sudah terbukti didukung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Namun, SBY juga melihat beberapa kelemahan yang terkandung dalam sistem Pilkada Langsung yang selama ini kita laksanakan. Atas dasar itulah, SBY mengeluarkan Perppu Pilkada Langsung untuk mengukuhkan dukungan sekaligus mengoreksi beberapa poin dalam rangka penguatan sistem demokrasi dan efektivitas pelaksanaan Pilkada, di antaranya:

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mencegah Money-Politik

Demokrasi yang sedang tumbuh dengan pesat di negeri ini tidak serta merta mereduksi praktik-praktik jual beli dalam proses politik. Dalam kaitan ini, partai politik yang seharusnya menjadi tulang punggung demokrasi, justru kerap terlibat dalam praktik-praktik tak sehat tersebut. Partai politik cenderung memberikan dukungan kepada calon berkantong tebal. Jual beli kendaraan (partai politik) sudah lumrah dalam setiap pelaksanaan pesta demokrasi. Karena itu, pencegahan praktek money-politik harus dimulai dari partai.

Perppu Pilkada Langsung menegaskan larangan bagi Partai Politik atau gabungan Partai Politik untuk menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota. Demikian juga calon yang hendak maju dalam Pilkada, dilarang memberikan imbalan dalam bentuk apapun kepada Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Sanksi atas pelanggaran pasal ini adalah pembatalan pencalonan jika pelanggaran tersebut sudah terbukti melalui pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dengan adanya larangan secara tegas dan jelas untuk menerima imbalan dari calon Kepala Daerah, partai politik didorong untuk menerapkan prinsip meritokrasi dalam proses seleksi kepemimpinan. Tolok ukur pemilihan calon pemimpin sepenuhnya bertumpu pada kapabilitas dan integritas calon. Bukan kepemilikan modal dan kekuatan politik. Partai didorong untuk benar-benar menelusuri track record calon yang hendak didukungnya dan menguji kemampuannya dalam memimpin, komitmen moral, kepedulian terhadap rakyat dan berbagai kompentensi lain.

 

Persyaratan Uji Publik

Untuk menguatkan sistem meritokrasi politik di atas Perppu Pilkada Langsung juga mengisyaratkan adanya proses uji publik sebelum penetapan calon untuk menguji kapabilitas dan integritas calon yang hendak diusung. Proses ini akan memberi kesempatan lebih luas dan intens kepada publik untuk  melihat, mengenal dan mempertimbangkan siapa calon yang paling layak diberi mandat sebagai pemimpin mereka. Dengan demikian, rakyat memiliki pertimbangan logis dan bijak saat menentukan pilihan pada hari pencoblosan, tidak membeli kucing dalam karung.

Uji Publik, sebagaimana diatur dalam Perppu Pilkada Langsung, dilaksanakan secara terbuka oleh sebuah panitia beranggotakan 5 orang (2 orang akademisi, 2 orang tokoh masyarakat dan 1 orang dari KPU). Pelaksanaannya paling lambat 3 bulan sebelum pendaftaran calon Bupati, Wali Kota atau Gubernur.

 

Pilkada Serentak

Tidak bisa dipukiri, pelaksanaan Pilkada telah menghabiskan anggaran negara teramat besar. Jika jumlah propinsi, kabupaten dan kota di seluruh Indonesia (34 propinsi,  510 Kabupaten dan Kota) diperbandingkan dengan frekuensi pelaksanaan Pilkada, akan kita dapat angka rata-rata yakni setiap  4 hari ada pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Pelaksanaan pemilihan Bupati atau Walikota rata-rata menelan biaya 15-30 Milyar Rupiah, sementara Pemilihan Gubernur diperkirakan menelan biaya antara 100-600 Milyar Rupiah. Jika seluruh pengeluaran itu ditotal, maka Pilkada di seluruh Indonesia menghabiskan anggaran APBD sebesar Rp. 40 Triliun selama 5 tahun.

Angka-angka di atas sungguh mencegangkan dan dalam arti tertentu dapat dilihat sebagai bentuk pemborosan anggaran negara yang sejatinya dapat digunakan untuk kepentingan lain demi kesejahteraan rakyat. Dengan kesadaran inilah SBY, dalam Perppu, mengatur pelaksanaan Pilkada secara serentak. Pelaksanaan Pilkada serentak akan menghemat anggaran negara hingga 50 % dari pengeluaran yang selama ini terjadi.

Dalam Perppu diatur pelaksanaan Pilkada serentak, yakni pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2015 di daerah-daerah yang masa jabatan kepada daerahnya berakhir tahun 2015; Di daerah-daerah yang masa jabatan kepada daerahnya berakhir tahun 2016, 2017 atau 2018, dilaksanakan Pilkada serentak pada hari dan bulan yang sama pada tahun 2018. Masa jabatan Bupati, Walikota dan Gubernur yang terpilih pada tahun 2015 dan 2018 berlaku hingga tahun 2020, sehingga Pilkada Serentak di seluruh Indonesia dapat terlaksana pada tahun 2020.

 

Memutus Rantai Politik Dinasti

Politik Dinasti dapat diartikan sebagai distribusi kekuasaan dan jabatan pemerintahan berdasarkan hubungan kekeluargaan dan kedekatan sosiologis dengan penguasa atau pemegang tampuk pemerintahan. Pemerintahan SBY telah mencatat bahwa ada sebanyak 58 Kepala Daerah yang telah berhasil membangun jaringan kekuasan atas dasar hubungan kekeluargaan. Politik Dinasti para Kepada Daerah tersebut dibangun dengan menempatkan keluarga dekat (anak, istri, keponakan, paman, menantu, bapak) dalam berbagai jabatan baik di lembaga eksekutif maupun legislatif. Beberapa Kepala Daerah sudah menjabat selama dua periode sehingga mengajukan anak, istri, adik atau anggota keluarganya yang lain sebagai penerus.

Praktek-praktek politik dinasti di atas telah mengerdilkan nilai-nilai demokrasi yang dengan susah payah dibangun negeri ini. Dengan adanya politik dinasti, prinsip-prinsip good governance, tranparansi dan akuntabilitas pemerintahan menjadi sulit dilaksanakan. Praktik KKNpun akhirnya menjamur dan mempersulit pembangunan daerah. Untuk menghilangkan tendensi ini, SBY mengeluarkan Perppu yang mengatur persyaratan pencalonan Kepada Daerah: tidak memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah dan kesamping, dengan petahana, kecuali ada tenggang waktu minimal satu tahun. Aturan ini juga melarang suami dan istri maju sebagai calon di wilayah sama.

 

Di samping ke empat poin di atas, masih ada beberapa poin penting lainnya yang dimuat SBY dalam Perppu No.1 Tahun 2014, untuk memperbaiki pelaksanaan Pilkada di negeri ini agar demokrasi yang kita jalankan benar-benar berpihak pada pembangunan, kesejahteraan dan kedaulatan rakyat, stabilitas nasional dan tata tertib dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, kita semua dapat melihat urgensi dan arti penting Perppu tersebut dalam memajukan demokrasi di negeri ini.

Ikuti tulisan menarik Putu Suasta lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler