x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mau Swasembada, Ayo Kurangi Makan Nasi!

Pencapaian swasembada beras bukan melulu tanggung jawab pemerintah dan petani padi. Tapi juga merupakan tanggung jawab kita semua sebagai konsumen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anda tentu pernah mendengar cerita lama tentang keberhasilan Indonesia dalam merengkuh swasembada beras di zaman Orde Baru. Prestasi gilang-gemilang—yang seolah begitu sulit untuk kembali diulang—itu menjadikan Presiden Suharto (Pak Harto) diganjar penghargaan oleh organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO). Penghargaan tersebut di terima Pak Harto di Roma, Italia, pada tahun 1984.

Capaian Indonesia dalam merengkuh swasembada beras kala itu memang bukan isapan jempol. Tapi kasat mata dan diakui dunia internasional. Tanpa justifikasi data statistik pun, produksi beras nasional kenyataannya begitu melimpah. Saking melimpahnya, Indonesia memutuskan untuk masuk ke pasar beras internasional sebagai eksportir. Meskipun merugi, keputusan Indonesia saat itu berhasil mengguncang pasar beras dunia. Betapa tidak, akibat dari keputusan tersebut harga beras di pasar internasional jatuh dari US$250 per ton menjadi US$150 per ton akibat ekspor beras dalam jumlah besar yang dilakukan Indonesia.

Jika ditarik ke belakang, sejarah kejayaan perberasan Indonesia (dulu Nusantara) sebetulnya sudah terjadi sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lampau. Dalam berbagai literatur sejarah kuno, Pulau Jawa—pulau di mana sekitar 52 persen produksi beras nasional dihasilkan—sering disebut sebagai Jawadwipa atau pulau padi, karena produksi padi/berasnya yang melimpah. Bahkan konon, Ptolomeus, ahli geografi zaman Yunani kuno, pernah menuliskan Pulau Jawa dengan sebutan Iabadiu atau pulau padi. Sungguh potongan mozaik kejayaan masa lalu yang begitu indah lagi membuat bangga.

Sayangnya, kini kondisinya telah berbalik. Semua catatan kejayaan tersebut hanya tinggal kenangan. Dewasa ini, Indonesia mengguncang harga beras di pasar internasional dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sebagai eksportir, tapi importir. Bukan pula sembarang importir, tapi salah satu importir beras terbesar sejagat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Alih-alih membikin harga beras di pasar internasional menjadi lebih murah, belakangan ini, Indonesia malah kerap dituduh sebagai biang kerok kenaikan harga beras di pasar internasional. Bayangkan, dari sekitar 8 juta ton beras di pasar internasional, sekitar 1,5 juta ton hingga 2 juta tonnya habis diborong oleh Indonesia. Data Statistik menunjukkan, pada tahun 2011 lalu saja, realisasi impor beras nasional mencapai 2,75 juta ton atau senilai US$1,51 miliar. Tentu saja akan lebih bermanfaat juga uang sebanyak itu digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani negeri ini, yang hingga kini sebagian besar masih bergumul dengan kemiskinan.

Ketergantungan pada impor beras merupakan konsekuensi menjadi bangsa pemakan—nasi yang ditanak dari—beras terbanyak di dunia. Sebetulnya, kita mengimpor beras bukan karena produksi kita tak semelimpah dulu. Tapi, karena produksi yang melimpah itu tidak cukup untuk mengisi perut 250 juta penduduk negeri ini. Bayangkan, konsumsi beras penduduk Indonesia mencapai 139,15 kilogram per orang per tahun. Angka ini jauh lebih tingi bila dibandingkan dengan negara-negara Asia yang lain, yang menjadikan beras sebagai sumber karbohidrat utama.

Apabila angka konsumsi beras nasional tak bisa ditekan, tantangan kedepan bakal semakin berat. Kebutuhan beras nasional akan terus meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk. Dan parahnya, peningkatan tersebut jauh lebih cepat dibanding peningkatan produksi beras dalam negeri. Bayangkan, dalam sepuluh tahun kedepan saja, jumlah penduduk Indonesia diproyeksikan akan bertambah sebanyak 30 juta jiwa. Itu artinya, jika konsumsi beras per kapita tak bisa ditekan dan tetap bertahan pada angka 139,15 kilogram per tahun, negeri ini harus menyiapkan tambahan produksi beras sebanyak 4,2 juta ton selama dasawarsa mendatang. Tentu saja tak mudah.

Dewasa ini, upaya menggenjot produksi beras nasional dihadapkan pada kendala daya dukung sektor pertanian kita yang terus menurun. Faktanya sawah-sawah kita semakin lelah dan tak lagi sesubur dulu. Hal ini tercermin dari laju peningkatan produktivitas (produksi per hektar) tanaman padi yang semakin melandai dalam beberapa tahun terakhir.

Belum lagi minat para pemuda negeri ini untuk menjadi petani semakin rendah. Statistik menunjukkan sebagian besar petani kita berumur di atas 50 tahun. Penyebabnya, kegiatan usaha tani tak lagi menjanjikan kesejahteraan. Bayangkan saja, hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh petani dari mengusahakan satu hektare tanaman padi sawah hanya sebesar Rp4,5 juta per musim tanam (sekitar tiga bulan). Itu artinya, petani bakal hidup miskin bila hanya mengandalkan pendapatan yang diperoleh dari menanam padi.

Persoalan yang juga tak kalah genting adalah luas lahan sawah negeri ini yang terus berkurang akibat alih fungsi (konversi) lahan sawah ke penggunaan non-pertanian yang seolah tak tarbendung. Data statistik memperlihatkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, rata-rata 100 ribu hektar lahan sawah lenyap di negeri ini, dan beralih fungsi menjadi perumahan, pabrik, kawasan industri, bahkan lapangan golf. Celakanya, pemerintah hanya mampu mengimbanginya dengan pencetakan 60 ribu hektare sawah baru setiap tahun. Itu artinya, defisit lahan sawah di negeri ini mencapai 40 ribu hektare setiap tahun. Jika kondisi ini terus berlanjut, lahan sawah di negeri ini tentu bakal lenyap dalam beberapa dekade mendatang.

Karena itu, pencapaian swasembada beras bukan melulu tanggung jawab pemerintah dan petani padi. Tapi juga merupakan tanggung jawab kita semua sebagai konsumen. Dalam pencapaian swasembada beras, mengurangi makan nasi melalui diversifikasi pangan begitu penting dan besar kontribusinya. Sama pentingnya dengan upaya menggenjot produksi beras nasional, baik melalui peningkatan produktivitas maupun perluasan luas tanam dengan mencetak sawah baru. Bedanya, menggenjot produksi sangat mahal karena menghabiskan dana hingga puluhan triliun rupiah, sementara mengurangi makan nasi hanya membutuhkan sedikit kesadaran dan pengorbanan dari kita semua.

Ayo kurangi makan nasi untuk mengembalikan kejayaan negeri ini dalam hal perberasan! Toh manfaatnya juga baik buat diri sendiri. Selain berhemat, juga baik bagi kesehatan. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler