x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Da Vinci, Galileo, dan Dua Dunia yang Cair

The Faber Book of Science menghimpun tulisan para pendekar sains dan pendekar sastra. John Carey menunjukkan bahwa dua budaya itu cair adanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Science and literature are not two things, but two sides of one thing.”
--Thomas Huxley (Ilmuwan, 1825-1895)

 

 

“Saya ingin membaca teori evolusi dari tangan pertama,” kata kawan saya. “Oke, baca saja The Origin of Species karya Charles Darwin,” jawab saya. “Wah, terlalu tebal,” ujar kawan ini berkelit. Saya coba mencarikan alternatif lain di perpustakaan pribadi, dan ketemulah satu buku antologi naskah-naskah sains: The Faber Book of Science.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Antologi ini menghimpun tulisan para pendekar sains, termasuk Charles maupun kakeknya, Erasmus Darwin. Naskahnya ringkas, masing-masing berbicara mengenai isu yang terbatas. “Bagaimana kalau buku ini?” “Oke,” jawab kawan saya, “Wah, menarik, ditulis sendiri oleh Darwin? Saya juga bisa baca tulisan Galileo?” “Ya, selamat membaca,” ujar saya lagi. “Awas, jangan hilang.”

Karya antologi yang disunting oleh Profesor John Carey ini dibuka dengan tulisan Leonardo da Vinci, si jenius dari Florence. Sangat mashur melalui lukisannya, Monalisa, da Vinci sesungguhnya memiliki minat yang luas terhadap sains dan teknik. Ia membuat catatan hasil observasinya mengenai geologi, akustik, anatomi, hidraulik, dan juga membuat desain parasit dan senapan mesin.

“Burung adalah instrumen yang bekerja menurut hukum matematis,” tulis da Vinci (hlm. 3), “dan manusia punya kapasitas untum mereproduksi instrumen ini, dengan semua pergerakannya...” Da Vinci adalah manusia yang hidup dalam ‘dua budaya’ (bila meminjam istilah C.P. Snow), yang satu dunia eksakta/natural/kealaman dan yang kedua dunia literer/sastra.

Carey memberi pengantar untuk setiap tulisan yang dihimpun dalam buku ini. Naskah yang ditulis oleh sosok-sosok besar ini memang daya tariknya, tetapi Carey membantu pembaca untuk sedikit memahami sosok tersebut. Lewat pengantar singkatnya, Carey mengenalkan Robert Hook, T.H. Huxley, Rachel Carson, hingga Italo Calvino dan George Orwell. Ini bermanfaat bagi mereka yang belum akrab.

Galileo, selain dikenal sebagai astronom, adalah juga pembuat instrumen. Ia bahkan membuka toko untuk memperoleh penghasilan tambahan sebagai penjual alat-alat percobaan sains. “Sekitar sepuluh bulan yang lalu, saya mendengar adanya sebuah laporan bahwa ada orang Belanda yang membuat teleskop, yang dengan alat ini obyek kasat mata, walaupun jaraknya jauh dari mata pengamat, dapat dilihat seolah-olah dekat...,” begitu kutipan tulisan Galileo. Kita dapat membayangkan bagaimana para ilmuwan bekerja pada era itu ketika informasi menyebar tidak begitu cepat, ketika peralatan eksperimen dibuat dengan tangan dalam jumlah sangat terbatas.

Menarik bahwa Carey juga menyertakan tulisan para sastrawan, tapi mereka menulis tentang isu-isu sains. John Steinbeck, misalnya, menuliskan pengalamannya mencari spesies laut. Nobelis Sastra yang menulis novel The Grapes of Wrath ini pernah menyusuri Teluk Mexico bersama kawannya, seorang biolog Ed Ricketts. Mereka mendapatkan antara lain Euapta godeffroyi.

Vladimir Nabokov, sastrawan berdarah Rusia yang menulis novel Lolita, berkisah tentang masa kecilnya berburu kupu-kupu. Nabokov seorang lepidopterist yang agak gila. Musim panas, menurut Nabokov, merupakan saat yang baik untuk berburu. Koleksi kupu-kupunya kelak disimpan di Museum Sejarah Alam di Washington, D.C. dan Museum Entomologi di Universitas Cornell, AS.

Antologi ini menarik lantaran Carey menghimpun tulisan dari sosok-sosok yang tumbuh besar di dua budaya tadi. Termasuk pula George Orwell, penulis 1984 dan Animal Farm, yang berkisah tentang kodok. Juga tulisan Isaac Asimov dan Carl Sagan, dua ilmuwan yang melahirkan sejumlah karya fiksi yang menawan. Antologi ini sekaligus memperlihatkan bagaimana ilmuwan papan atas ini mampu berkomunikasi secara luwes dengan publik awam. Carey menyertakan tulisan Sagan yang menarik: Can we know the universe? Reflection on a grain of salt.

Sebagai pembaca, saya dapat merasakan suasana hati ketika mereka menuangkan pikiran dan perasaan saat mengarungi alam semesta: lewat kacamata rasional sekaligus kepekaan hati. Melalui tulisan-tulisan pendek mereka, yang terbit pertama kali pada 1995 tapi masih dicetak ulang, Carey menunjukkan bahwa dua budaya itu cair adanya. Bahkan sejak berabad yang lampau. (Ilustrasi: studi da Vinci mengenai burung) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB