x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Design Thinking: Setiap Orang Butuh Orang Lain

Cara kerja yang mengikuti design thinking melibatkan orang dari berbagai latar belakang. Mereka saling memperkaya perspektif.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“We can’t solve problems by using the same kind of thinking we used when we created them.”
--Albert Einstein (Ilmuwan)

 

 

Cara berpikir yang mengikut alur linier maupun esktrapolasi tak lagi memadai. Untuk memahami gejala rumit yang terjadi dibutuhkan cara berpikir sistemik bahwa berbagai hal saling terkait dan saling memengaruhi: x dan y saling memengaruhi. Dalam design thinking, kerangka berpikir sistemik disarankan untuk diperkuat sebagai fundamen dalam upaya mencari jalan keluar dari suatu persoalan ataupun dalam mengembangkan sebuah gagasan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Proses desain, dari mendesain produk, kemasan, strategi bisnis, alat pemasaran, maupun yang lain menurut Tim Brown, CEO IDEO, sebuah perusahaan desain kelas dunia, dapat digambarkan secara metaforis sebagai “system of spaces” ketimbang sebagai serangkaian langkah yang berurutan. “Ruang-ruang” itu membatasi jenis-jenis kegiatan yang berbeda tapi saling terkait, yang secara bersama-sama membentuk kontinum inovasi. Tidak ada ‘ruang’ yang berdiri sendiri tanpa terpengaruh maupun memengaruhi ‘ruang’ yang lain.

Sejumlah eksponen design thinking menyebutkan ada beberapa “ruang” yang mesti dilakukan dalam menjalani proses design thinking. Ada yang menyebut enam, ada yang empat. Tapi, intinya barangkali dapat diringkas seperti yang disarankan oleh Tim, yakni mencakup ruang Inspiration, Ideation, dan Implementation.

Ruang Inspirasi(ada yang menyebutnya Pendefinisian) terkait dengan lingkungan dan situasi (bisa berupa persoalan, tantangan, peluang, ataupun ketiganya sekaligus) yang memotivasi pencarian solusi. Di sini, persoalan dikenali dan dirumuskan.

Ruang Ideasi berhubungan dengan proses menghasilkan, mengembangkan, dan menguji gagasan-gagasan yang bisa mengarah pada solusi. Di ruang ini, berbagai gagasan dilontarkan dan dicoba keampuhannya. Tak perlu ada ketakutan untuk salah ketika melontarkan ide yang terdengar aneh sekalipun.

Ruang Implementasi berupa pemetaan jalur menuju pasar. Proses ini tidak berjalan linier, melainkan ada jalur balik (loop back) ke ruang-ruang tadi (khususnya Inspiration dan Ideation), bahkan bisa lebih dari sekali, guna mematangkan gagasan dan mengujinya sebelum diimplementasikan—dalam kasus produk, sebelum produk ini diproduksi masal dan diedarkan ke konsumen.

Bagaimana design thinking dapat mengubah strategi bisnis, bisa dicontohkan apa yang dilakukan oleh Shimano, perusahaan Jepang yang memproduksi komponen sepeda. Pada tahun 2004, menghadapi pertumbuhan pasar di AS yang datar-datar saja, Shimano melirik segmen di luar road-racing dan mountain-bike yang selama ini digarap.

Untuk mempelajari pasar potensial ini, Shimano mengajak IDEO berlokaborasi. Tim yang dibentuk melibatkan orang dari berbagai disiplin, seperti desainer, ilmuwan yang mempelajari perilaku (behavioral scientist), pemasar, dan insinyur yang bertanggung jawab pada aspek teknologi. Dengan menyatukan keahlian yang beragam, perspektif yang didapat menjadi lebih kaya. Menghindari pengkotak-kotakan merupakan cara yang selalu disarankan dalam memandang suatu persoalan atau gagasan.

Yang tak kalah penting, para desainer dan pemasar dilibatkan sejak awal. Desainer tidak bertindak sekedar sebagai orang yang mewujudkan apa yang dipikirkan insinyur. Dan pemasar bukan orang yang memasarkan dan menjual apa yang dibuat insinyur. Mereka bekerjasama sedari awal.

Di fase Inspirasi, tim interdisiplin ini menemui konsumen. Di lapangan, mereka mendapati orang-orang dewasa di Amerika jarang memakai sepeda meski punya kenangan manis sewaktu bersepeda di masa kanak-kanak. Setelah dewasa, mereka merasa tidak nyaman karena banyaknya asesoris yang mesti dikenakan saat bersepeda, seperti helm, sepatu, kadang-kadang juga pelindung lainnya, belum lagi bahaya yang mungkin dijumpai di jalan-jalan yang tidak dirancang untuk pesepeda.

Dari eksplorasi mengenai pengalaman dan apa yang diinginkan konsumen ini, tim kemudian mulai fokus pada masalahnya dan mereka-reka jalan keluarnya. Yang mereka pikirkan ialah bagaimana menghubungkan pengalaman bersepeda saat ini dengan kenangan masa kanak-kanak. Konsumen juga harus merasa aman bersepeda. Hasilnya? Lahirlah konsep “Coasting”. Yang dibayangkan dengan konsep ini ialah bersepeda merupakan aktivitas yang simpel, tidak ribet, aman, dan menyenangkan. Coasting bike dirancang lebih untuk kesenangan ketimbang olahraga. Uji coba dilakukan beberapa kali sampai dirasa menemukan desain yang tepat.

Konsep ini mendapat sambutan. Trek, Raleigh, dan Giant lalu mengembangkan ragam sepeda baru yang menggabungkan komponen inovatif buatan Shimano. Tapi tim Shimano-IDEO tak berhenti pada desain sepedanya saja. Mereka sudah pula merancang strategi penjualan di toko ecerannya, menciptakan brand yang mengidentikkan Coasting dengan “cara menikmati hidup”. Mereka juga menyiapkan kampanye kehumasan, bekerjasama dengan pemerintah dan organisasi sepeda setempat, agar siapapun bisa bersepeda dengan aman.

Dari contoh ini, terbayang bagaimana design thinking menawarkan cara memecahkan persoalan yang mendorong perusahaan, maupun organisasi lain—termasuk pemerintahan, pendidikan, sosial—untuk mengembangkan cara kerja yang imajinatif. Bagi siapapun, cara kerja yang mengikuti kaidah design thinking memberikan pengalaman yang memperkaya: memadukan kemampuan analitis dan daya kreatif yang menyenangkan. (sbr ilustrasi: blog.luz.vc) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler