x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kegagalan Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah jantung perubahan masyarakat. Tak ada masa depan bagi kepemimpinan yang lemah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“A leader is one who knows the way, goes the way, and shows the way.”
--John C. Maxwell (1947-...)

 

 

Kepemimpinan adalah salah satu unsur penting dalam kita belajar berdemokrasi. Yang terpenting malah, tapi barangkali kita yang paling abai terhadapnya. Kepemimpinan bukanlah sekedar mendudukkan seseorang pada jabatan tertinggi dalam sebuah organisasi. Sebagai ketua partai, sebagai ketua parlemen, ketua lembaga yudikatif, dan sebagai presiden. Kepemimpinan adalah perkara mewujudkan amanah yang dibebankan orang banyak ke pundak seseorang atau beberapa orang. Kepemimpinan adalah ihwal keberanian memutus dengan penglihatan yang tajam ke masa depan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila demikian, sesudah 16 tahun sejak turunnya Soeharto, apakah kita telah memilih pemimpin-pemimpin yang tepat bagi negeri ini? Apakah kita telah menetapkan pemimpin yang waskita dan sanggup menunjukkan arah semestinya yang harus kita tuju? Dan sekaligus membawa bangsa ini menuju ke sana? Jika “belum” adalah jawaban yang paling layak diberikan atas pertanyaan itu, bukanlah penistaan, melainkan karena zaman menuntut jenis kepemimpinan dengan standar yang lebih tinggi dari masa lampau.

Sebagaimana dimanifestasikan oleh beragam persoalan yang muncul dalam masyarakat, kita sebagai bangsa sesungguhnya tengah menghadapi “kegagalan kepemimpinan”. Sebagai bangsa, kita bergerak mirip orkestra tanpa dirijen yang piawai, yang lebih kerap keliru memberi aba-aba. Buahnya: seorang penabuh memukul perkusi tidak pada saat yang tepat, seorang peniup melengkingkan flute di saat seluruh instrumen mesti jeda.

Kegagalan kepemimpinan berpangkal pada tidak diperlakukannya mandat yang diamanahkan oleh rakyat sebagai fondasi terpenting dalam memimpin. Keraguan dalam mengambil keputusan dan tindakan adalah contoh paling gamblang bahwa dukungan rakyat diletakkan di bawah dukungan politik partai-partai dan, terutama, para elitenya. Pemimpin seperti ini lupa bahwa jika ia bertindak dengan berani karena benar, rakyat akan mendukung. Sayangnya, kalkulasi politik jadi pertimbangan utama dalam memutus suatu perkara.

Kegagalan kepemimpinan lahir dari ketiadaan imajinasi. Pernahkah kita membayangkan Indonesia yang bebas dari korupsi? Pernahkah kita membayangkan Indonesia yang bebas dari kemiskinan? Pernahkah kita membayangkan Indonesia yang bebas dari kekerasan? Kepemimpinan yang gagal tidak mampu meletakkan seluruh imajinasi itu di dalam konteks masa kini: ihwal apa yang mesti dikerjakan demi sebuah masa depan yang cemerlang. Jangkauan pikiran yang pendek (kepentingan politik sesaat, rasa aman dari gangguan, dan sejenisnya) akan menyumbat kreativitas.

Alangkah malangnya. Oleh sebab kegagalan kepemimpinan, mestikah kita tak sanggup membayangkan kemungkinan-kemungkinan positif dan optimistis di tengah kekacauan ini? Mengapa kita tak berani berimajinasi tentang pilihan-pilihan lain dalam cara kita memandang persoalan, menyelesaikannya, dan menyerah pada cara-cara yang telah terbukti tumpul dan berlarut-larut? Kegagalan kepemimpinan lahir dari kepercayaan bahwa cara-cara yang telah terbukti tumpul adalah jalan yang benar. Alangkah malangnya bila kita tersandera oleh kejumudan. Betapa banyak energi yang seharusnya bermanfaat untuk mengurus rakyat yang telah memberi amanah dikuras untuk memuaskan hasrat segelintir orang.

Kegagalan kepemimpinan sungguh tidak terhindarkan tatkala pisau yang majal tetap digunakan, sistem yang bobrok sekedar diganti suku cadangnya, dan para pemimpin bersembunyi di balik semua itu. Sungguh keliru kita, atau barangkali naïf belaka, bila kita tetap percaya kepemimpinan serupa itu sanggup mengentaskan kita dari segala karut-marut ini.

Reformasi adalah kosakata yang kita pilih sebagai cerminan respons kita terhadap kekisruhan yang mesti dibenahi. Tapi reformasi adalah kata yang perlahan, bukan yang bergegas. Di dalamnya terkandung semangat yang kurang radikal dalam memandang soal korupsi, kemiskinan, dan kekerasan. Reformasi adalah gerak maju yang terseok-seok lantaran kita kerap mengerem langkah oleh karena keraguan, kegamangan, dan keengganan kita untuk berubah; juga lantaran belitan kepentingan sendiri.

Kegagalan kepemimpinan lahir dari semangat yang perlahan, bukan bergegas. Sayangnya, kita telanjur ngeri mendengar, apa lagi memakai, kata revolusi. Sebab, revolusi dibayangkan sebagai darah yang tumpah. Kita lupa, barangkali, bahwa mencabut pohon hingga ke akar adalah revolusi. Bila fundamen yang menjadi alas masyarakat dan bangsa telah keropos, mengapa dipertahankan dengan menambal-sulam, dan bukan menggantinya dengan fundamen yang baru?

Lee Kuan Yew adalah seorang revolusioner yang merobohkan sendi-sendi masyarakatnya dan membangun di atas fondasi yang baru. Hingga, akhirnya, lahirlah Singapura modern seperti yang kita kenal sekarang. Revolusi adalah upaya mengikis habis akar-akar busuk yang membikin pohon bangsa tumbuh kerdil, yang merampas hak daun untuk tumbuh lebat, yang meringkus aliran gizi dari tanah dan menghalangi pohon untuk berbuah lezat. Revolusi tidak diniatkan untuk menebarkan kebencian, kemarahan, dendam, dan pertumpahan darah. Revolusi, seperti dilakukan oleh Ibrahim dan Muhammad, adalah ikhtiar menggulingkan pikiran lama dan menggantinya dengan pikiran baru, mental lama dengan mental baru.

Reformasi yang kita jalankan tidak akan sanggup mengikis korupsi, menggusur kemiskinan, dan meniadakan kekerasan, sebab pikiran lama tak akan sukarela menyerahkan mahkotanya. Pikiran lama ialah pikiran yang mengabaikan imajinasi, yang menidakkan impian-impian besar, yang menafikan angan jauh ke depan. Pikiran lama hanya menjangkau jarak yang pendek. Tapi, revolusi harus dimulai dari dalam diri orang-orang yang mendengungkannya. Ketika ia gagal merevolusi dirinya sendiri terlebih dulu, kata itu akan terbang lepas ke udara. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB