Hari-hari ini, kami—wong cilik, rakyat yang nggak jelas tapi nama kami kerap dicatut dan diperdagangkan di kala pemilu untuk mendulang suara—merasa cemas, ngeri, nyaris putus asa, tak tahu apakah masih layak menyimpan harapan melihat keadaan negeri ini. Karut marut. Kusut masai.
Presiden kami terombang-ambing karena kurang percaya kepada rakyat, kebenaran, dan hati nurani--sekalipun ia berucap hati nurani adalah sumber kemuliaan. Para politisi memaksakan kehendaknya sendiri tanpa peduli nasib wong cilik, para penegak hukum cakar-cakaran, dan para hakim yang kami harapkan bersikap arif tak kunjung memenuhi rasa keadilan kami. Di masa lampau, hakim selalu berpegang kepada nurani sebagai tempat bertanya ketika hendak memutus perkara. Kini entah apa yang menjadi pegangannya.
Hari-hari ini kami bingung menyaksikan yang benar dan yang salah bertautan berkelindan. Kepada siapa kami harus percaya ketika orang-orang yang semestinya memegang amanah ternyata lebih suka bersiasat. Kepada siapa kami harus bersandar ketika orang-orang yang semestinya mengayomi wong cilik ternyata lebih asyik mengurus dirinya sendiri.
Kami bingung, cemas, dan takut apakah negeri akan tetap tegak karena mereka yang menguasai politik, ekonomi, dan hukum begitu bersemangat memenuhi hasrat sendiri. Kami, wong cilik, hanya bisa jadi penonton dari drama yang bertele-tele, membikin cemas berkepanjangan, sekaligus membuat mual perut kami.
Hari-hari ini, sudah begitu besar tenaga, pikiran, waktu, dan sumber daya lain yang dikuras untuk memenuhi hasrat kuasa segelintir orang—yang merasa negeri ini milik mereka sendiri. Kami, wong cilik, hanya bisa berangan-angan andaikan tenaga, pikiran, waktu, dan sumber daya yang banyak itu dimanfaatkan untuk memperbaiki hidup kami. Sayangnya, mereka tak peduli.
Mereka saling memaksakan kehendak, merasa benar sendiri, dan menggunakan kuasa untuk kesenangan sendiri. Dan sepertinya, hasrat mereka belum lagi terpuaskan hingga mencapai puncak. Kami takut dan cemas, dan bimbang apakah masih ada harapan bagi masa depan yang baik untuk negeri ini, untuk anak cucu kami. Di hari-hari ini, ungkapan ‘kuasa untuk rakyat’ tinggal dongeng belaka, yang diulang-ulang kembali ketika musim pemilu tiba—tanpa jiwa, tanpa ruh.
Di hari-hari yang penuh kecemasan ini, kami mencari dimana negarawan berada, alangkah sukarnya menemukan mereka di tengah kerumunan orang-orang yang sangat berhasrat akan kuasa. Lantas, kepada siapa kami mengadu jika mereka telah pergi entah kemana?
Tuhan? Ya, mungkin tinggal Tuhan tempat kami mengadu, tempat kami berharap, tempat kami bersandar. Malam nanti kami akan menemui Tuhan untuk mengadu. ***
Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.