x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tak Letih Menyalakan Harapan

Di balik kemalangan demi kemalangan selalu ada kebaikan yang menghampiri: pemiliki toko yang memberikan sepotong bawang, merica, untuk diseduh bersama susu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Hope is being able to see that there is light despite all of the darkness."
--Desmond Tutu (Pemimpin Afrika Selatan, 1931-...)

 

 

Angela berangkat dari Irlandia ke New York, sebab ia tidak bisa menguasai gerak hormat dengan menekuk kaki. “Kau tidak punya bakat. Kau benar-benar tak berguna! Mengapa tidak pergi saja ke Amerika, di mana ada tempat untuk segala macam ketakbergunaan? Aku akan mengongkosimu,” kata ibunya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka berangkatlah Angela remaja, yang pada saat dilahirkan kepalanya muncul di tahun lama dan bagian tubuh selebihnya muncul di tahun baru membuat orangtuanya bingung tahun berapa kelahiran Angela mesti dicatat.

Pertemuannya dengan Malachy, pejuang yang mengorbankan satu matanya untuk kemerdekaan Irlandia, dalam sebuah pesta di Brooklyn tak lama setelah Angela turun kapal menyebabkan lutut mereka gemeretar, sebab Angela terpikat oleh si muka suram itu dan Malachy kesepian setelah tiga bulan mendekam di penjara. Maka, lewat perkawinan yang tergesa, lahirlah si sulung Frankie (McCourt, penulis kisah ini), adiknya Malachy junior, dua anak lelaki kembar, dan si bungsu perempuan—Margareta—yang dipuji rambut ikal hitam dan mata birunya mirip milik ibunya.

Kematian Margareta, yang kelahirannya membuat Malachy berhenti ‘minum’, membuat keluarga Malachy pulang ke Irlandia. Pulang ke Irlandia memang bukan berarti setiap hari makan roti, minum susu, dan mandi air hangat yang dipanaskan dengan batubara. Ini adalah awal perjalanan dari satu penderitaan ke penderitaan lain, kemiskinan yang tanpa belas kasihan dan tak kunjung sirna, penyakit yang terus mengintai.

“Aku tidak tahu apa yang akan kau kerjakan, Malachy,” tutur ibu Malachy menyambut kedatangannya. “Keadaan di sini lebih buruk daripada di Amerika. Di sini tidak ada pekerjaan dan, Tuhan Mahatahu, kami tidak punya tempat untuk enam orang lagi di rumah ini,”

Ujian datang lagi. Kali ini salah satu dari si kembar mati karena sakit: Oliver—kematian yang membuat Eugene, saudara kembarnya, mencari-cari di mana Ollie. Malachy tenggelam lagi dalam minuman keras, menghabiskan seluruh uang tunjangan untuk mabuk. “Wajahku basah oleh air matanya, ludahnya, dan ingusnya, dan aku kelaparan,” cerita Frankie setiap kali menjumpai ayahnya pulang larut malam.

Di balik kemalangan demi kemalangan toh selalu ada kebaikan yang menghampiri: pemiliki toko yang memberikan sepotong bawang, merica, untuk diseduh bersama susu; dokter yang menolong tanpa bayaran; paman yang menawarkan semangkuk sup hangat. Kebaikan-kebaikan kecil di tengah kesukaran hidup yang memberi semangat dan harapan pada Angela dan anak-anaknya.

Enam bulan sesudah Ollie mati, di suatu pagi yang sangat dingin di bulan November, Eugene menyusul. Kata dokter, anak itu meninggal akibat pneumonia. “Tuhan meminta terlalu banyak, amat sangat terlalu banyak,” kata dokter yang mengetahui kematian anak-anak Angela. Hingga akhirnya lahir Michael, seorang adik baru bagi Frankie dan Malachy. Lalu, setelah beberapa tahun, lahir lagi seorang adik baru, Alphie. “Alphie yang terakhir. Aku sudah lelah. Habis perkara! Tidak ada anak lagi,” kata Angela kepada suaminya yang sukar keluar dari kebiasaannya mabuk.

“Aku lapar, tapi aku harus mencari ayahku dari satu pub ke pub yang lain,” tutur Frankie. Di balik kegetiran toh selalu ada sedikit kegembiraan dan keberuntungan. Frankie senang bisa memberi ibunya enam penny yang ia peroleh karena tak sengaja Tuan Timoney meminta tolong membacakan koran.

Dalam Angela’s Ashes, dari sudut pandangnya, Frank McCourt (Frankie) mewarnai cerita tentang kehidupan masa kecilnya yang suram dengan rasa humor yang getir. Selama hujan masih sering turun, keluarga Malachy tinggal di lantai atas agar tetap hangat selama musim dingin. “Dad berkata, ini seperti liburan ke negara yang hangat, seperti Italia. Sejak saat ini, itulah sebutan kami untuk lantai atas: Italia.”  Barangkali itulah salah satu yang membuatnya sanggup hidup hingga usia tua dan menuliskan memoar ini.

Ini memang cerita tentang bagaimana bertahan hidup dan mengalahkan segala rintangan. Ini memang cerita perihal bagaimana senantiasa menyalakan api harapan di tengah himpitan kemiskinan yang tak kenal belas kasihan. Bahkan, ketika Angela kerap kali menghadapi suaminya menghabiskan upah mingguannya di kedai minuman, ia masih memelihara harapan. Semacam adonan penderitaan, kekesalan, kekecewaan, tapi juga kegembiraan dan rasa humor. Sebuah memoar yang hidup.

Ketika suaminya memperoleh pekerjaan di pabrik amunisi di Inggris, yang dibayangkan Angela adalah “Kami semua bisa makan masing-masing satu telur pada hari Minggu pagi.” Bahkan, Frankie menyusun rencana untuk telurnya: ketuk-ketuk bagian atasnya, pelan-pelan pecahkan kulitnya, angkat sedikit putih telor dengan sendok, masukkan sedikit mentega ke dalam kuning telur, tambahkan garam, aduk pelan-pelan, lalu ambil telur sesendok, dan masukkan ke mulut. “Oh, Tuhan di surga,” Frankie membayangkan kenikmatan itu. (sbr foto: moviepictures.org) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

14 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB