x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memetik Manfaat Bonus Demografi

Indonesia sedang mengalami “bonus demografi”. Kondisi ini memberikan keuntungan ekonomi berupa ledakan jumlah penduduk usia kerja, terutama angkatan kerja muda.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia sedang mengalami “bonus demografi”. Kondisi ini memberikan keuntungan ekonomi berupa ledakan jumlah penduduk usia kerja, terutama angkatan kerja muda. Struktur penduduk didominasi kelompok usai produktif (usia 15-64 tahun). Akibatnya, angka beban tanggungan penduduk usia produktif (dependency ratio) menurun. Jika dimanfaatkan dengan baik, keuntungan tersebut bakal mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga kesejahteraan masyarakat dapat ditingkatkan.

Bonus demografi yang sedang dialami Indonesia merupakan buah dari keberhasilan dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk selama empat dekade terakhir (transisi demografi). Tingkat kelahiran total (Total Fertility Rate/TFR) terus menurun secara konsisten dari sekitar 5,6 (setiap wanita usia 15-49 tahun/subur rata-rata akan mempunyai 5-6 anak hingga akhir masa reproduksinya) pada tahun 1970an menjadi 2,49 pada tahun 2010. Penurunan tersebut memberi konfirmasi mengenai keberhasilan program Keluarga Berencana (KB) yang mulai dijalankan pada 1970an.

Pada saat yang sama, keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan berhasil menekan angka kematian bayi dari sekitar 145 kematian untuk setiap 1000 kelahiran hidup pada awal 1970an menjadi 21 kematian per 1000 kelahiran hidup pada 2010. Keberhasilan tersebut berbuah peningkatan angka harapan hidup dari sekitar 50 tahun menjadi 69,8 tahun pada periode yang sama, sehingga memicu transisi demografi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Transisi demografi tersebut merubah struktur umur penduduk Indonesia selama empat dekade terakhir: struktur penduduk didominasi kelompok usia produktif, khususnya angkatan kerja muda. Mereka yang lahir pada periode angka kelahiran tinggi (dekade 70-80an) berhasil tetap hidup dan kini merupakan fraksi terbesar/mendominasi komposisi penduduk usia produktif. Hasil Sakernas menunjukkan bahwa 69,3 persen angkatan kerja pada Agustus 2013, yang jumlahnya mencapai 118,3 juta orang, merupakan penduduk kelompok usia 15-44 tahun.

Jendela Peluang

Hasil proyeksi penduduk 2010-2035 yang diluncurkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2014 menunjukkan bahwa bonus demografi diperkirakan bakal berlangsung hingga dua dekade mendatang. Mulai tahun 2012, rasio ketergantungan di bawah 50, yakni 49,6. Artinya, untuk setiap 100 penduduk usai produktif harus menanggung 50 penduduk usia tidak produktif.

Angka beban tanggungan akan terus menurun hingga puncak bonus demografi terjadi pada tahun 2025 hingga 2035. Saat itu, angka beban tanggungan sekitar 47. Periode ini merupakan jendela peluang (window of opportunity) yang harus dimanfaatkan dengan baik untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi.

Setelah periode tersebut, Indonesia akan memasuki periode utang demografi (demographic debt) karena penuaan penduduk (ageing). Struktur penduduk bakal didominasi kelompok usia tua (65+ tahun), seperti yang sedang dialami mayoritas negara-negara maju saat ini.

Karena itu, Indonesia harus kaya sebelum menua dengan memanfaatkan jendela peluang yang bakal tercipta pada dekade mendatang. Bila tidak, Indonesia berpotensi menjadi negara berpenduduk besar— yang didominasi kelompok usia tua—dengan perekonomian yang tidak solid. Tentu saja hal tersebut merupakan mimpi buruk yang tak boleh menjadi kenyataan.

Jika Indonesia tidak mampu memanfaatkan jendela peluang tersebut dengan maksimal, momentum untuk membuat lompatan besar menjadi negara maju bakal terlewat. Repotnya, momentum tersebut tidak datang dua kali. Pakar Demografi Universitas Indonesia, Prof. Sri Moertiningsih, menyatakan: jendela peluang tersebut hanya akan terbuka (sekali) seumur hidup bangsa Indonesia.

Boleh jadi, kegagalan dalam mengelola dan memanfaatkan bonus demografi bakal menjadikan Indonesia terperangkap dalam jebakan pendapatan menengah (middle income trap). Hal tersebut bisa terjadi jika pertumbuhan ekonomi nasional gagal dipacu dan mengalami stagnasi.

Data Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia hingga kini masih berkategori lower-middle income economy dengan Pendapatan Nasional Bruto per kapita pada tahun 2013 mencapai US$3.580, atau masih jauh dari ambang batas PNB per kapita negara maju (high income economy) yang sebesar US$12.746.

Memetik Manfaat Ekonomi

Bonus demografi berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita. Struktur penduduk yang didominasi penduduk usia produktif (penduduk usia kerja) berpotensi meningkatkan tabungan masyarakat. Hal ini dikarenakan menurunnya pendapatan yang dialokasikan untuk membiaya pengeluaran (konsumsi) penduduk usia muda (0-14 tahun). Jika diinvestasikan pada sektor produktif, tabungan tersebut akan memacu pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja.

Untuk memetik manfaat bonus demografi, peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia harus menjadi prioritas utama mulai saat ini. Faktanya, sampai sekarang, kualitas penduduk usia kerja secara umum masih rendah. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menunjukkan, pada Agustus 2014 sekitar 65 persen penduduk 15+ tahun yang bekerja hanya menamatkan pendidikan SD ke bawah dan/atau SMP.

Selain itu, meski angka partisipasi angkatan kerja cukup tinggi, yakni mencapai 66,6 persen, dan jumlah orang yang bekerja terus meningkat, sebagian besarnya (60 persen) bekerja di sektor informal. Padahal sektor ini identik dengan ketidakpastian pendapatan dan jaminan sosial. Sehingga, harapan untuk mempunyai tabungan apalagi melakukan investasi pada angkatan kerja di sektor informal sangat tipis.

Karena itu, investasi modal manusia (pendidikan) untuk meningkatkan kompetensi dan keahlian penduduk usia kerja adalah sebuah keniscayaan. Meski butuh waktu yang lama untuk menuai hasilnya, hal ini sangat penting untuk meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia dalam dua dekade mendatang. Investasi di bidang kesehatan juga sangat krusial untuk membentuk pekerja yang sehat dan produktif. Karena itu, aspek kecukupan pangan, asupan gizi dan nutrisi, serta akses penduduk terhadap pelayanan kesehatan harus menjadi fokus perhatian pemerintah.

Laporan Daya Saing Global 2014-2015 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia pada tahun lalu menyebutkan bahwa daya saing ekonomi Indonesia secara global berada pada peringkat 34 dari 144 negara. Di kawasan Asia Tenggara, peringkat Indonesia masih kalah dari Singapura (2), Malaysia (20), dan Thailand (32). Salah satu kelemahan Indonesia yang harus diperbaiki adalah kualitas sumber daya manusai (pendidikan dan kesehatan). Hal itu terlihat dari capaian Indonesia dalam soal kesehatan, pendidikan, dan keterampilan yang relatif tertinggal dari negara-negara lain.

Sementara itu, kekuatan daya saing perekonomian Indonesia berasal dari kondisi ekonomi makro yang relatif stabil dan kekuatan ekonomi Indonesia (market size) sebagai perekonomian terbesar ke-15 dunia (dari sisi Produk Domestik Bruto (PDB)). Keunggulan ini dapat dipelihari dan ditingkatkan jika Indonesia mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Sehubungan dengan hal tersebut, keberhasilan Indonesia dalam memanfaatkan dan mengelola bunus demografi yang sedang dialami menjadi sangat krusial.

Linieritas atau kebersinambungan pertumbuhan ekonomi harus dijaga dengan mendorong investasi. Pasalnya, investasi akan mendorong penciptaan lapangan kerja, sehingga ledakan jumlah penduduk usia kerja dapat diantisipasi dan ancaman lonjakan tingkat pengangguran bisa dihindari.

Karena itu, berbagai faktor yang selama ini menggerus daya saing Indonesia dan menghambat investasi, seperti infrastruktur yang buruk, inefisiensi birokrasi, korupsi, kesulitan dalam mengakses pinjaman perbankan untuk modal usaha, dan berbagai hambatan lainnya harus menjadi prioritas pemerintah untuk dibereskan.

Pada akhirnya, keberhasilan Indonesia dalam mengelola dan memanfaatkan bonus demografi membutuhkan upaya sinergis di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi serta tata kelola pemerintahan yang baik. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu