x

Indonesiana - Bagi sebagian orang, banjir dan sampah seperti dua hal yang sama sekali tidak memiliki hubungan sebab-akibat.

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Banjir dan Maksiat

Bagi sebagian orang, banjir dan sampah seperti dua hal yang sama sekali tidak memiliki hubungan sebab-akibat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Hari itu, banjir setinggi pinggang orang dewasa merendam Keluruhan Serdang, Kemayoran, Jakarta Pusat. Di sebuah rumah, seorang anak remaja sedang menikmati sebungkus makanan ringan di lantai dua rumahnya. Sambil mengunyah, ia asyik memperhatikan orang yang sedang lalu-lalang, menerjang banjir, untuk mengungsi. Tak berapa lama kemudian, bungkus plastik--makanan ringan yang baru saja selesai ia santap--melayang dari tangannya, jatuh, lalu megapung di atas genangan air. Begitulah, saat banjir menerjang, sebagian orang masih sempat buang sampah sembarangan. Bagi mereka, banjir dan sampah seperti dua hal yang sama sekali tidak memiliki hubungan sebab-akibat.

Di lain waktu, di sebuah tempat ibadah di daerah Jakarta Timur, seorang penceramah benar-benar tampil all out kala membawakan khutbahnya. Khutbah yang disampaikan dengan semangat berapi-api itu menyoroti musibah banjir yang membenamkan sebagian wilayah Jakarta beberapa hari sebelumnya.

Maksiat! Itulah kata yang kerap terdengar di sepanjang khutbah yang disampaikan penceramah dengan nada tinggi hingga usai. Bahwa banjir yang saban tahun melanda Jakarta merupakan bentuk hukuman Tuhan atas perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukan oleh warga Jakarta. Pendek kata, karena perbuatan maksiat dan dosa yang masif tersebut, Tuhan menjadi murka, sehingga menurunkan hukumanNya berupa banjir.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Soal maksiat dan dosa sebagai penyebab banjir Jakarta mungkin ada betulnya. Sebagai umat beragama, setiap orang tentu harus percaya dengan hukuman Tuhan tatkala kehidupan ini tidak dijalankan sesuai perintah dan tuntunanNya. Namun sayangnya, siang itu sang penceramah terlalu sempit dalam memaknai dan menempatkan makna kata maksiat alias dosa dalam khutbahnya. Ihwal banjir yang melanda Jakarta, seharusnya ia juga menyoroti kebiasaan buruk (maksiat) sebagain besar warga Jakarta yang relasinya benar-benar kasat mata dengan musibah banjir.

Misalnya, kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan. Kalau direnungi, kebiasaan buruk tersebutlah sesungguhnya yang menjadi salah satu penyebab utama mengapa banjir nyaris saban tahun menyambangi Ibu Kota. Tapi entah kenapa, sebagian warga Jakarta seolah tak menyadari relasi sampah dan banjir Jakarta, bahwa kebiasaan membuang sampah sembarangan sejatinya memiliki andil yang sangat besar sebagai penyebab banjir, bahwa karena kebiasaan buruk tersebut, saluran-saluran air menjadi mampet dan kali-kali menjadi dangkal, sehingga tak kuat lagi menahan luapan air kala musim hujan datang. Padahal, musim hujan tersebut sejatinya adalah berkah, bukan bencana.

Konon, volume sampah yang dihasilkan warga Jakarta rata-rata mencapai 6.400 ton per hari. Sayangnya, hal tersebut tidak dibarengi dengan sistem pengelolaan sampah yang baik. Dan itu kian diperparah dengan rendahnya kesadaran warga mengenai pentingnya membuang sampah pada tempatnya, bukan di sembarang tempat, apalagi di kali.

Akibatnya bisa dilihat secara kasat mata.Tengoklah kali-kali di Jakarta, bukankah sebagain besar berair keruh, bau, dan kotor serta dipenuhi sampah. Nampaknya, tak ada satupun kali di Jakarta yang betul-betul bersih dan menyejukkan kala dipandang mata. Saat pertama kali datang ke Jakarta, seorang kawan rada terkejut kala kendaraan yang ditumpanginya lewat di depan gedung Bina Graha yang terletak di kompleks istana kepresidenan. Betapa tidak, ternyata Kali Ciliwung sekotor itu, padahal lokasinya tidak jauh dari Istana Negara.

Hasil penelitan yang dilakukan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta pada tahun 2011 memperlihatkan bahwa 70 persen dari 13 sungai di Jakarta telah tercemar limbah Bahan Berbahaya Beracun (B3), bakteri E.Coli, serta dipenuhi tumpukan sampah. Sebagian besar limbah dan sampah tersebut berasal dari rumah tangga. Patut diperhatikan, kondisi tersebut merupakan hasil penelitian pada tahun 2011. Pertanyaannya, bagaimana dengan kondisi saat ini? Mudah ditebak, kondisinya bakal lebih buruk karena kesadaran warga tentang sampah yang tak kunjung berubah.

Kita sering menyalahkan  pemerintah karena tidak becus dalam mengatasi banjir. Padahal, upaya yang telah diakukan pemerintah untuk itu sebetulnya sudah luar biasa. Kita tidak pernah merenung bahwa selokan menjadi mampet dan kali-kali mengalami pendangkalan karena ulah kita yang membuang sampah seenak hati. Kita terlalu egois dan hanya bisa menyalahkan orang lain.

Kita semestinya sadar bahwa upaya pemerintah dalam mengatasi banjir  bakal menjadi sia-sia bila tidak didukung dengan kesadaran warga Jakarta untuk tidak membuang sampah sembarangan. Apa gunanya pemerintah mengeruk kali dan membersihkan gorong-gorong menjelang musim penghujan jika kali-kali tetap dijadikan tempat membuang sampah. Akibatnya, saat hujan datang segala macam sampah memenuhi kali, mulai dari sekedar botol plastik air mineral hingga kasur buat tidur. Pendek kata, kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan harus ditinggalkan oleh warga Jakarta. Jika tidak, persoalan banjir Jakarta selamanya tak bakal bisa teratasi.

Sayangnya, merubah kebiasaan buruk memang bukan perkara remeh, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi kebiasaan tersebut merupakan hasil bentukan selama puluhan tahun. Mereka yang terbiasa membuang sampak ke kali, tanpa rasa bersalah, boleh jadi telah melakoni perbuatan tersebut selama puluhan tahun. Bahkan, bisa jadi sejak dia masih kanak-kanak.

Jika demikian, hal ini tentu terkait dengan proses pendidikan yang dapat menumbuhkan kesadaran warga sejak usia dini (kanak-kanak) bahwa membuang sampah harus pada tempat yang seharusnya. Dan dalam soal ini, peran keluarga dan institusi pendidikan (sekolah/pendidik) amatlah sentral dalam menumbuhkan rasa bersalah, bahkan berdosa kala membuang sampah sembarangan.

Untuk masyarakat bercorak patriliniar seperti Indonesia, peran dari  seorang pemimpin dalam mengubah kebiasaan buruk yang telah mengakar di masyarakat juga sangat dibutuhkan. Harus ada tauladan, contoh, dan ketegasan dari para pemimpin terkait hal ini. Tak cukup hanya imbauan, tapi harus dengan tindakan nyata. Di Jakarta, para pemimpin itu adalah mulai dari gubernur hingga ketua RT/RW. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB