x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengukur Kesejahteraan

PDB dan pertumbuhannya, misalnya, selama ini, secara politis telah “disalahgunakan” sebagai proksi kesajahteraan dan kemajuan suatu negara.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Selama ini, pemerintah kerap dituduh “berbohong” terkait sejumlah indikator perekonomian yang tersaji di ruang publik. Pemicunya, tidak lain, adalah kesenjangan antara informasi yang terwartakan melalui indikator-indikator tersebut dengan realitas yang dirasakan oleh masyarakat.

Tak bisa ditampik, gambaran yang diperoleh dari sejumlah indikator perekonomian kerap tidak sejalan dengan fakta keseharian yang dirasakan oleh masyarakat. Optimisme yang tergambar lewat besaran angka-angka statistik kerap kontradiksi dengan fakta keseharian yang dialami oleh sebagian besar penduduk. Ambil contoh, angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, misalnya.

Sejak tahun 2006, pemerintah selalu melaporkan bahwa kemiskinan terus menurun secara konsisten. Sementara pada saat yang sama, publik mendapati kenyataan sebaliknya: kondisi kemiskinan kian mengenaskan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fakta keseharian, yakni apa yang dilihat sehari-hari, adalah alasan kuat yang menjadikan mereka sangsi, bahkan tak percaya dengan besaran angka-angka kemiskinan yang dirilis oleh pemerintah. Bagaimana bisa kemiskinan dikatakan menurun jumlahnya, sementara pada saat yang sama jumlah pengemis terus meningkat? Banyak penduduk miskin mati gantung diri karena tak kuat lagi menahan himpitan beban ekonomi? Sungguh tidak masuk akal!

Karenanya, jangan heran kalau kepercayaan publik terhadap statistik kemiskinan pemerintah terus menipis. Bahkan lebih dari itu, ada sangkaan bahwa telah terjadi manipulasi dalam penghitungannya, dan telah diramu sedemikian rupa untuk menyokong pencitraan pemerintah. Meskipun sejatinya, statistik kemiskinan tersebut diperoleh dari hasil pendataan dan telah melewati proses validasi ilmiah yang ketat, publik tak mau peduli. Kebohongan dan rekayasa, hanya kata-kata itu yang terlintas dalam benak mereka.

Begitupula dengan pertumbuhan ekonomi yang dihitung dari perkembangan relatif Produk Domestik Bruto (PDB). Tentu terasa janggal kala pemerintah melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi rata-rata 5-6 persen dalam beberapa tahun terakhir, dan pendataan per kapita saat ini telah mencapai Rp41 juta per tahun, sementara pada saat yang sama sebagian besar masyarakat justru merasa kian terpuruk secara ekonomi karena kondisi kesejahteraan yang justru kian memburuk.

Alhasil, seperti halnya angka kemiskinan, publik pun menjadi sangsi dan tak percaya angka pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan pemerintah. Dan, ini bukan hanya fenomena khas Indonesia. Di negara-negara maju pun, seperti Prancis dan Inggris, kepercayaan publik terhadap statistik resmi (official statistics) telah mencapai titik nadir. Bayangkan, di kedua negara tersebut, hanya sepertiga warga yang percaya terhadap statistik resmi.

Bias

Sebetulnya, pemerintah tidak berbohong terkait besaran indikator-indikator perekonomian yang disangsikan oleh publik. Pokok persoalannya adalah pada tepat atau tidaknya indikator-indikator tersebut ketika digunakan untuk menilai kinerja pemerintah.

PDB dan pertumbuhannya, misalnya, selama ini, secara politis telah “disalahgunakan” sebagai proksi kesajahteraan dan kemajuan suatu negara. Ini terjadi secara masif, termasuk di Indonesia. Padahal, tak satu pun ahli statistik pemerintah yang memosisikan PDB atau pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kesejahteraan.

Bagi mereka, PDB adalah PDB, sebuah deskripsi tentang produksi total nasional yang mungkin bermanfaat bagi pemerintah terkait formulasi dan evaluasi kebijakan. Tidak lebih dari itu. Simon Kuznets sendiri, sang kreator apa yang disebut sebagai neraca pendapatan nasional (mencakup PDB), tak pernah menganggap PDB hasil ciptaannya sebagai indikator kesejahteraan. Sebaliknya, Kuznets justru khawatir, indikator yang sejatinya digunakan untuk merangkum aktivitas perekonomian secara agregat itu disalahartikan sebagai indikator kesejahteraan.

Penggunaan PDB secara tunggal dapat mengarah pada kesimpulan yang bias tentang arah pembangunan. Jika hanya fokus pada peningkatan PDB atau pertumbuhan ekonomi, pemerintah bisa saja terjebak pada kesimpulan keliru: kinerja perekonomian nasional memuaskan, sementara pada saat yang sama realitas kehidupan masyarakat justru kian memburuk.

Sebagai indikator kinerja pembangunan, kelemahan PDB telah lama disoal oleh para ahli ekonomi dan ahli statistik. Kritik dan ketidakpuasan terhadap PDB telah menelorkan sejumlah indikator lain untuk mengukur kemajuan ekonomi, seperti Indeks Pembangunan Manusia, Indek Kesejahteraan, dan Indek Kebahagiaan.

Di tahun 2008, bahkan telah dibentuk sebuah komisi yang bertugas meneliti akurasi dan validitas penggunaan PDB sebagai satu-satunya indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Komisi ini diberi nama Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial, yang dibentuk oleh tiga ekonom kondang dunia, yakni Joseph Stiglitz (penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2001), Amartya Sen (penerima Hadiah Nobel Ekonomi 1998), dan Jean-Paul Fitoussi.

Kelemahan mendasar dari PDB adalah ketika indikator ini merangkum aktivitas perekonomian yang begitu luas dan kompleks hanya dalam satu angka. Amartya Sen, sang kreator Indeks Pembangunan Manusia, menganggap hal ini terlalu vulgar.

Terang saja, ada banyak informasi yang hilang dan tidak tergambar melalui satu angka tersebut. Misalnya, seberapa besar kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat aktivitas ekonomi (produksi) yang sejatinya dapat mengancam keberlanjutan pembangunan –valuasi nilai kerusakan lingkungan selama ini luput dalam penghitungan PBD, atau siapa saja sebetulnya yang diuntungkan dengan besaran angka PDB dan pertambahannya, apakah seluruh masyarakat (kelompok pendapatan) atau segelintir orang saja.

Indonesia adalah contoh yang pas terkait hal ini. Pertumbuhan ekonomi yang mengesankan kenyataannya memiliki korelasi yang lemah dengan peningkatan kesejahteraan penduduk. PDB terus tumbuh mengesankan, namun pada saat yang sama penurunan jumlah penduduk miskin berjalan begitu lambat. Itupun dengan catatan, garis kemiskinan yang digunakan terlampau rendah menurut sejumlah kalangan.

Jika ditelisik, lemahnya dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan disebabkan oleh komposisi sektoral pertumbuhan ekonomi yang lebih digerakkan oleh sektor non-tradable (jasa) ketimbang sektor tradable (riil). Padahal, sebagian besar angkatan kerja (sekitar 60 persen) “mengais nasi” di sektor riil.

Fakta ini menjadikan distribusi pendapatan kian timpang karena kenaikan pendapatan sebagai buah dari pertumbuhan ekonomi hanya terjadi secara signifikan pada mereka yang bekerja di sektor jasa. Dan ini tentu tidak tergambar pada angka –tunggal –PDB atau pertumbuhan ekonomi. Fakta ini justru tergambar melalui indikator lain, yakni rasio gini, yang merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan. Yang dalam beberapa tahun terakhir nilainya terus meningkat. Saat ini, rasio gini telah menembus rekor tertinggi, yakni sebesar 0,41. Artinya, ketimpangan distribusi pendapatan telah memasuki skala medium.

Informasi yang diberikan oleh perkembangan rasio gini dan kemiskinan tentu akan membuat kita mempertimbangkan kembali jawaban dari pertanyaan: apakah pemerintah telah berhasil mewujudkan tujuan asasi dari pembangunan, yakni terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dengan angka-angka PDB atau pertumbuhan ekonomi yang mengesankan? Itulah sebab, dengan segala kelemahannya, PDB per kapita tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya indikator untuk menilai kinerja pemerintah dan mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat. Tetapi dibutuhkan indikator-indikator lain, seperti rasio gini yang telah dicontohkan sebelumnya. Jika tidak, kesimpulan akan bias. (*)

 

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB