x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kenduri Laot: Keluhuran Tradisi, Nilai Islami, Sampai Menjaga Lestari

Salah satu cara orang Aceh bersyukur adalah dengan bersedekah makanan. Tradisi mereka banyak menampilkan bagi-bagi rizqi dan kebahagian seperti ini, termasuk ketika Kenduri Laot digelar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lepas Isya, lelaki-lelaki dan beberapa perempuan Gampoeng (baca:Kampung, istilah Aceh, setara dengan lingkup Desa atau Kelurahan) meninggalkan rumah-rumah menuju Bale Pasi. Kali itu, kaum Ibu lebih sedikit karena peran mereka pada acara nanti memang porsi kecil. Lain waktu dan lain hajatan, bisa saja laki perempuan datang dalam jumlah imbang. Tradisi Aceh mengajarkan kesetaraan peran.

Panglima Laot terlihat datang awal karena lelaki pemimpin nelayan dalam adat itu sedang berperan pemrakarsa. Majelis dibuka tidak lama ketika tetua lengkap, dan Panglima angkat bicara. Pertemuan seperti tadi, biasanya adalah terakhir menjelang hari pelaksanaan Kenduri Laot setelah, sebelumnya, rangkaian duek pakat (musyawarah, Bahasa Aceh red) beberapa kali diadakan khusus bapak-bapak nelayan. Ketika duek pakat menjelang Kenduri Laot menghadirkan tetua dan perempuan, berarti syukuran kampung telah tersiar, undangan-undagan telah tersebar. Itu persiapan akhir saja memastikan segalanya akan lancar ketika kampung menyelenggarakan jamuan.

Kenduri Laot intinya ibadah nelayan Aceh pada Tuhan. Setahun sekali, pada pergantian musim angin. Kenduri Laot diadakan sebagai ungkapan syukur hasil musim lalu dan dipanjatankannya harapan untuk musim mendatang.  Seperti kebanyakan tradisi Aceh dalam menampilkan rasa syukur, kenduri adalah kumpulan sedekah, baik harta atau tenaga, diwujudkan dengan menyiapkan hidangan bersama, berdoa bersama, dan makan besar mengundang tidak saja semua orang kampung tetapi masyarakat luas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Cara orang Aceh bersyukur adalah dengan bersedekah makanan salah satunya, jika saya tidak salah menyimpulkan. Banyak tradisi mereka menampilkan bagi-bagi rizqi dan kebahagiaan seperti ini, mulai dalam kenduri-kenduri besar makan bersama sampai oleh orang-perorangan dengan membagikan sekedar ketan dan olahan gula kelapa kepada tetangga. Indahnya, orang Aceh mengerjakan seluruhnya bersama-sama dalam kumpulan.

Jarang, bahkan tidak ada, setahu saya, perayaan disiapkan sendirian. Seorang Ibu yang tengah bersyukur menandai putra-putrinya mulai belajar mengaji saja, misalnya, segera akan mendapat sokongan para tetangga dan kerabat dekat. Orang berhamburan memberi bantuan sesuai kemampuan, dari membawakan kelapa-kelapa, gula merah, atau menyumbangkan tenaga. Maka ketika kenduri kampung digelar, Kenduri Laot misalnya, ini selalu besar.

Kenduri Laot dimulai gotong royong kampung membersihkan rumah-rumah dilanjutkan area-area bersama seperti masjid kampung, jalan kampung, Bale Pasi atau balai pertemuan nelayan, dan sebagainya. Hari berikutnya, barulah jamuan besar diselenggarakan. Dini hari, sebelum Subuh, kesibukan pertama adalah menyembelih sapi atau kambing sebagai bahan kari, menu utama.

Lazimnya memasak memang ranah perempuan, tapi masak untuk kenduri di Aceh melibatkan juga bapak-bapak. Dalam banyak hal, adat Aceh, yang kental tata nilai Islam sesuai sejarahnya, meneladankan pembagian porsi kerja laki-laki dan perempuan bersandar pada kesetaraan. Jika sempat terlibat dalam sebuah persiapan kenduri Aceh, kita bisa saksikan orang-orang berdatangan seperti telah memahami perannya tanpa perintah.

Bapak-bapak segera membangun teratak, menyiapkan air-air untuk memasak dalam tong-tong besar, menyiapkan kompor-kompor, mengolah kuah kari, sekaligus mencuci piring-piring dan alat-alat memasak nanti. Ibu-Ibu berdesakan lesehan mengupas bawang, kentang, atau telur rebus, menghaluskan bumbu, menjerang air untuk membuat kopi atau teh hangat, dan menyiapkan sajian-sajian.

Menurut saya, kenduri atau hajatan di Aceh, termasuk Kenduri Laot, mengajarkan tata masyarakat. Tingginya nilai kebersamaan, individu-individu berbagi peran, laki-laki perempuan setara dalam arti bukan selalu berperan sama melainkan sesuai porsi kesanggupan, dan banyak hal lainnya diteladankan adat. Menjalankan ini berarti mewarisi nilai-nilai luhur tadi, melestarikan cara pandang dan bersikap ala Aceh, yang Islami.

Hal luhur lainnya tercermin dalam pengelolaan sumber biaya. Kenduri Laot, yang acara kampung itu, bukan berarti didanai semua penduduk kampung dengan nominal iuran sama. Dulu, perhitungan total belanja hanya dibagi jumlah pemilik kapal nelayan, atau disebut Aceh para Toke Boat. Asumsinya, Toke-Toke Boat adalah orang berharta lebih dibanding kebanyakan nelayan, sehingga mereka wajib mengumpulkan uang untuk keperluan kenduri adat. Meskipun sekarang mulai terjadi pergeseran, tapi intinya dana dibebankan pada orang-perorangan bukan sama besar.

Lagi-lagi, ini teladan pembagian peran, bukan tentang masing-masing orang memikul yang sama melainkan takaran tanggung jawab disesuaikan kesanggupan tanpa perlu merasa lebih atau kurang. Mungkin, hulu kebiasaan ini adalah keyakinan bahwa segala pada diri manusia adalah kehendak Tuhan, termasuk kelebihan dan kekurangan, sehingga manusia-manusia sekedar perlu menjalankan dengan menjunjung ketetapan sebagai umat, yang harus saling menopang menguatkan.

Pergeseran porsi peran dalam kumpulan dana timbul juga karena alih profesi penduduk di beberapa tempat. Daerah wisata misalnya. Ketika kebanyakan orang tidak lagi menjadi nelayan maka segala pembiayaan Kenduri Laot tidak mungkin disangga saja oleh toke-toke boat, yang memang mulai hilang. Pada tatanan masyarakat baru semacam itu, rata-rata orang mencari penghasilan masing-masing sehingga sulit memetakan pengelompokan finansial.  

Keluhuran khas Kenduri Laot lainnya adalah pantang melaut. Selama kenduri, adat menerapkan larangan melakukan segala kegiatan di laut, mulai mengambil ikan hingga sekedar berenang sekalipun. Diluar hari kenduri, ada Jumat, Idul Fitri, peringatan tsunami, dan beberapa hari besar Islam lainnya. Sepintas mirip ajakan saja untuk terlibat kegiatan di darat, agar orang jangan meninggalkan ibadah, agar orang jangan meninggalkan acara adat, dan seterusnya.

Namun, menelaah lebih dalam, ini cara tetua menghindarkan laut dari pemanfaatan tanpa istirahat. Pantang melaut adalah desain adat membebaskan laut dari pemanfaatan terus-menerus. Tanpa kehadiran manusia berarti waktu istirahat untuk laut, berarti keleluasaan laut kembali berproduksi, kembali menghasilkan. Ini ajaran adat menghormati alam, cara tua menjaga kelestarian. Betapa bijaksana. Sampai kapan kearifan ini milik Indonesia? 

Sumber foto :paradisehovel.weebly.com

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu