x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kerumitan Sejarah di Balik Tembok Besar

Di balik persepsi tentang Tembok Besar yang megah, Lovell menyingkapkan kerumitan yang menyelimuti masa lampau China. Tembok ini merupakan sebuah metafora monumental untuk membaca China dan sejarahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Richard Nixon membuat dunia Barat terperangah ketika presiden Amerika Serikat, negara yang sangat anti-komunis dan baru saja kalah dalam Perang Vietnam, ini mau mengunjungi Republik Rakyat China (RRC). Saat bertamasya di sela-sela misi diplomasi ke RRC, yang dianggap sebagai terobosan yang amat berpengaruh itu, Nixon menyempatkan diri mengunjunngi Tembok Besar dan menyampaikan pujiannya: “Ini adalah tembok hebat dan pasti dibangun oleh orang-orang hebat.”

Kelak, setelah era Mao Zedong berlalu, jutaan orang mengikuti jejak langkah Nixon dan menemukan kehebatan daya tarik tembok warisan dunia itu. Mereka pada umumnya memandang tembok itu sebagai simbol yang mendefinisikan China, kehebatan budayanya, kejeniusan teknisnya, dan keuletan yang dibutuhkan dalam membangunnya. Tapi benarkah tembok yang panjang mengular ini telah tegak sejak ribuan tahun yang silam?

Lewat karyanya, The Great Wall: China Against the World, 1000 BC-AD 2000, Julia Lovell, dosen sejarah dan literatur China di Universitas Cambridge, Inggris, mengajak kita untuk melihat Tembok Besar bukan seperti yang biasa dilihat sekarang ini. Bukan pekerjaan mudah untuk membongkar pandangan tentang dunia yang terisolasi—pandangan yang telah terbangun lama dan masih sangat hidup hingga kini. Lovell melakukan studi yang sangat detail dan kaya pengetahuan, dan dengan piawai menggambarkan masa-masa ketertarikan dan keengganan China terhadap dunia luar yang berlangsung berulang-ulang dari dinasti ke dinasti yang memerintah wilayah ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Barat, dan mungkin dunia pada umumnya, memandang Tembok Besar sebagai penyebab stagnasi dan isolasi China. Namun Lovell berupaya menunjukkan bahwa Tembok Panjang—istilah yang secara linguistik menurut Lovell lebih tepat—memiliki masa lalu yang tidak terlalu megah seperti yang diketengahkan oleh para romantis sejarah di kemudian hari. Lovel memandang tembok ini sebagai konsekuensi dari watak manusia yang tak pernah lelah berperang untuk memperebutkan tanah. Di manapun ada perebutan wilayah, tembok-tembok pun akan segera berdiri mengikutinya—apa yang dilakukan Israel di tanah Palestina adalah contoh mutakhir. “Dan ini menegaskan tujuan pembangunan tembok yang sering kali dilupakan,” tulis Lovell, “yakni penghinaan (terhadap dunia sekelilingnya), bukan pertahanan.”

Kolumnis majalah The Economist ini mengajukan premis penting. Menurut Lovel, gagasan bahwa China adalah pusat peradaban dunia, tempat semua orang menyatakan tunduk dan setia, adalah salah satu hal mendasar yang melekat dalam sejarah China. Sedangkan pembangunan tembok di masa Sebelum Masehi merupakan wujud pandangan orang China terhadap orang luar yang mereka sebut barbar.

Di masa yang lebih modern, sikap itu ditunjukkan antara lain oleh paksaan terhadap Lord Macartney, yang memimpin misi diplomasi Inggris ke China pada tahun 1793, untuk melakukan kowtow kepada Kaisar Qianlong, salah seorang penguasa dari Dinasti Qing. Kowtow adalah tiga kali sembah dengan kepala menyentuh tanah. Macartney menolak melakukan kowtow jika tidak ada pejabat China yang berkedudukan sama dengannya mau berlutut di hadapan lukisan Raja George III.

Kunjungan Macartney itu menandai episode penting dalam sejarah modern, baik tentang China maupun perihal Tembok Besar. Pengalaman dan reaksi Macartney membantu menetapkan pandangan yang masih dianut hingga kini. Pertama, tembok fisik berupa batu bata dan adukan semen. Kedua, tembok mental yang dibangun oleh Negara China untuk mencegah masuknya pengaruh asing dan untuk mengendalikan serta mengurung penduduk China yang berada di dalamnya.

Bagi sebagian besar orang China, kehebatan tembok ini bukanlah hipotesis sejarah yang harus diuji dan diinvestigasi, melainkan kebenaran yang harus diterima dan dihormati begitu saja. Ensiklopedia China tahun 1994, misalnya, mengungkapkan dalam pengantar singkatnya: “Tembok Besar begitu luar biasa dan teguh, baik jiwa maupun raga, yang menyimbolkan kekuatan hebat bangsa China. Adanya penyerang dari luar akan dikalahkan sampai hancur luluh saat menghadapi kekuatan besar ini.”

Lewat penelusurannya yang tekun, Lovell membentangkan gambaran tentang mitos-mitos serta perang dan bencana yang melingkupi Tembok Besar. Lovel mengatakan, anggapan bahwa Tembok Besar merupakan struktur kuno yang tersusun sejak Sebelum Masehi adalah mitos belaka. Berlawanan dengan kemasyhuran yang dinikmati oleh tembok itu di masa modern, Tembok Besar belum tegak pada masa pramodern. Yang ada hanya sejumlah tembok yang lebih kecil. Sejumlah tempat yang dipertontonkan sebagai obyek turisme itu, menurut Lovell, baru direstorasi dan dirapikan pada paruh kedua abad ke-20 oleh tenaga kerja Komunis.

Kepastian akan adanya China yang tunggal dan telah bersatu selama 5.000 tahun, kata Lovell, hanyalah fiksi abad ke-20. Tembok besar dalam bentuk batu bata dan batu, sebagaimana bentuk tembok yang kini dikenal, baru muncul pada sekitar pertengahan hingga akhir abad ke-16. Di masa-masa yang lebih lampau, yang disebut sebagai tembok tidak lebih dari tanah yang dikeraskan. Dan ini terserak di berbagai tempat dan di berbagai masa.

Pembangunan tembok China, dalam penilaian Lovell, bukanlah simbol kekuatan nasional dan prestise. Tembok-tembok ini kerap dipakai sebagai pertahanan perbatasan, selain berbagai opsi lain saat berurusan dengan orang-orang barbar. Tembok-tembok dibangun apabila diplomasi, perdagangan, dan ekspedisi militer tak berlaku lagi. Tapi, sering kali tembok dibangun karena kelemahan militer dan kegagalan diplomasi. Bagi dinasti Qin yang brutal (221-206 SM), pembangunan tembok adalah pilihan yang tidak menyenangkan sebagai akibat kehancuran politik dinasti ini.

Di balik pandangan tentang kemegahan Tembok Besar, Lovell menyingkapkan kerumitan yang menyelimuti masa lampau China. Tembok ini merupakan sebuah metafora monumental untuk membaca China dan sejarahnya. Namun membacanya dengan cara biasa akan mengaburkan kepelikan yang mewarnai sejarah panjang negeri ini. Lovell berikhtiar mengungkapkan sejarah 3.000 tahun secara lebih terfragmentasi dan tidak terlalu menggambarkan Tembok Besar secara langsung seperti yang biasa dibayangkan oleh wisatawan masa kini. (sbr foto: wikipedia.org) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu