x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Darwish, Palestina, dan ‘Tanah Airku Sekotak Kopor’

Darwish menghabiskan sebagian besar hidupnya di pengasingan, tapi Palestina tak pernah meninggalkannya. Di sepanjang hidupnya, kepenyairan dan aktivitas politik saling berjalinan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

"Exile is more than a geographical concept. You can be an exile in your homeland, in your own house, in a room.
--Mahmoud Darwish (Penyair, 1941-2008)
 

Di usia 6 tahun, Mahmoud Darwish menyaksikan peristiwa yang kelak amat mewarnai puisi-puisinya. Tentara Israel, pada 1947, merangsek ke desa-desa Palestina dan menghancurkan al-Birwa, sebuah desa di Galilee Barat, tanah kelahiran Darwish. Seperti kebanyakan keluarga Palestina, keluarga Salim dan Houreyyah Darwish membawa Mahmoud dan saudara-saudaranya mengungsi ke Lebanon. Inilah pengasingan pertama Mahmoud.

Setahun di Libanon, keluarga Salim kembali ke desa mereka dan mendapatinya telah berubah: dua permukiman Yahudi sudah tegak berdiri. Tak banyak pilihan bagi mereka, kecuali menetap di Deir al-Asad, Galilee. Sejak itulah, Mahmoud kecil merasakan hidup sebagai orang asing di tanah kelahirannya sendiri. Kelak, ingatan masa kecil ini ia tuangkan dalam puisinya:

Mereka membungkam mulutnya dengan rantai,

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan mengikatkan tangannya pada batu maut

Mereka berkata: Engkau pembunuh

Mereka merampas makanan, pakaian, dan benderanya

Dan melemparnya ke dalam sumur maut

Mereka berkata: Engkau pencuri

Mereka melemparnya keluar dari setiap pelabuhan

Dan menjauhkan yang dicintainya

Dan kemudian mereka berkata: Engkau pengungsi.

 

Kendati menyadari bahwa keluarganya hidup sebagai warga kelas dunia, Mahmoud masih berangan untuk turut merayakan negara Israel. Namun suara nuraninya tak bisa dibendung. Mahmoud kecil menulis puisi. “Saya tidak ingat puisi itu,” ujarnya puluhan tahun kemudian. “Tapi saya ingat gagasannya; ‘engkau bisa bermain di bawah matahari sesukamu, dan engkau punya mainan, tapi aku tidak. Engkau punya rumah, dan aku tidak. Engkau merayakan, tapi aku tidak. Mengapa kita tidak bisa bermain bersama?’” Ia ingat bagaimana ia diancam ketika itu: “Jika kamu menulis puisi semacam itu, aku akan memecat ayahmu dari pertambangan.”

Pendudukan, kolonialisme, penindasan, selalu melahirkan perlawanan. Sangat alamiah. Di usia 19 tahun, ketika ia sudah menerbitkan buku puisi pertamanya, Asafir bila ajniha (Burung-burung tak bersayap), ia bergabung dengan Partai Komunis Israel, Rakah. Menulis puisi dan melibatkan diri dalam aktivisme politik menjadi pilihan Darwish di usia muda. Hingga usia 30 ia berkali-kali masuk penjara dan dikenai tahanan rumah. Penguasa Israel, seperti penguasa di manapun di muka bumi ini, memakai ”subversi” sebagai senjata untuk memojokkan mereka yang berkata ”tidak.”

Darwish menjalani pengasingan. Moskow menjadi pilihan Darwish untuk belajar, 1971. Inilah perjalanan yang membawanya berkelana dari Kairo ke Beirut, dari Tunis ke Paris, dari Amman ke Houston, dari Damaskus ke Ramallah. ”Tanah airku sekotak kopor,” ujarnya suatu ketika. Dengan getir ia menulis:

Kita bepergian seperti orang lain, namun kita tak punya tempat untuk kembali

(Tapi) Kita memiliki negeri kata-kata.

Bagi Darwish, pengasingan tak berhenti hanya dalam pengertian geografis—keluar dari tanah kelahirannya yang kini dikuasai Israel. ”Anda bisa terasing di tanah air sendiri, di rumah Anda sendiri, di suatu ruangan,” ujarnya. Pengasingan, akhirnya, bukan sesuatu yang asing bagi Darwish. Malah, ia menduga-duga, ”Dapatkah aku mengatakan bahwa aku kecanduan untuk diasingkan?”

Rasa asing non-geografis itu ia rasakan tatkala Mahmoud diizinkan pulang ke Tepi Barat. ”Saya tak pernah tinggal di sini sebelumnya,” kata Darwish. ”Ini bukan tanah air pribadiku. Tanpa memori, Anda tak memiliki hubungan nyata dengan suatu tempat.” Betapapun, ucapnya lagi, ”Saya telah membangun tanah air saya, saya bahkan telah mendirikan negara saya—dalam bahasa saya.”

Bagi Darwish, pengasingan merupakan salah satu sumber kreasi sastra—sesuatu yang jamak ditemui di sepanjang sejarah manusia. Di Paris, tempat ia hidup selama sepuluh tahun, ia melahirkan Memory for Forgetfulness—sebuah memoir tentang Beirut dibawah pemboman Israel, 1982. Ia percaya, manusia yang berharmoni dengan masyarakatnya, budayanya, dirinya sendiri, tak bisa menjadi seorang kreator. ”Dan itu benar,” ujarnya, ”sekalipun jika negeri kami Surga itu sendiri.”

Dengan berjarak secara geografis dari tanah kelahirannya, Darwish mengekspresikan kerinduannya akan Palestina. Palestina bukan sekedar sepetak tanah, laiknya orang Yahudi menganggapnya demikian. Palestina adalah metafor bagi hilangnya Surga, kelahiran dan kebangkitan, serta kesedihan mendalam karena ketercerabutan dan pengasingan.

Suaranya yang menuntut keadilan terdengar nyaring: ”Mengapa kami selalu diberitahu bahwa kami tidak bisa memecahkan masalah kami tanpa memecahkan kegelisahan eksistensial orang-orang Israel dan pendukung mereka yang justru telah mengabaikan eksistensi terdalam kami selama puluhan tahun di tanah air kami sendiri?”

Catat! Aku seorang Arab/ Dan kartu identitasku adalah nomor limapuluh ribu/ Aku mempunyai delapan anak/ Dan yang kesembilan akan lahir sesudah musim panas/ Marahkah engkau?/ Catat!/ Aku seorang Arab/ Aku mempunyai nama tanpa hak/ Pasien di sebuah negeri / Di mana orang dibikin marah... Aku tidak membenci orang/ Aku tidak melanggar hak orang lain/ Tapi jika aku menjadi lapar/ Aku akan menyantap daging perampas kuasaku/ Sadarilah… / Sadarilah…/ Kelaparanku/ Dan kemarahanku!

(Kartu Identitas, 1964)

Walau Darwish dipersepsikan secara luas sebagai simbol perlawanan Palestina dan juru bicara bagi oposisi Arab terhadap Israel, ia menolak tuduhan antisemitis: “Tuduhan itu bermakna saya membenci orang Yahudi. Sungguh tidak enak, mereka menunjukkan saya sebagai setan dan musuh Israel. Meskipun, tentu saja, saya bukan kekasih Israel. Saya tak punya alasan untuk begitu. Namun saya tidak membenci Yahudi..”

Di suatu kesempatan Darwish mengatakan ia akan terus memanusiakan orang lain, musuh sekalipun. Sukar baginya untuk menghindari sikap itu. Guru pertama yang mengajarkan padanya bahasa Ibrani adalah seorang Yahudi. Cinta pertama dalam kehidupannya adalah gadis Yahudi. Hakim pertama yang mengirimnya ke penjara adalah perempuan Yahudi. ”Sejak awal mula, aku tidak melihat Yahudi sebagai setan atau malaikat, tapi sebagai manusia,” tuturnya. Beberapa puisinya ditujukan kepada kekasih Yahudi. “Puisi-puisi ini mengambil sisi cinta, bukan perang,” ujarnya. Di Knesset, parlemen Israel, Darwish mempunyai sejumlah kawan.

Di Knesset pula, 1988, salah satu puisinya, Passers Between the Passing Words, dikutip oleh Yitzhak. Ia dituduh menuntut agar Yahudi meninggalkan Israel, meski ia mengaku bahwa yang ia maksudkan adalah Tepi Barat dan Gaza.

 

Maka, tinggalkanlah tanah kami

Pantai kami, laut kami

Gandum kami, garam kami, luka kami.

 

Penyair Ammiel Alcalay menyebut reaksi histeris orang-orang Yahudi terhadap puisi itu menjadi tes litmus yang akurat terhadap psyche orang Israel mengenai isu yang sensitif ini.

Namanya kembali menjadi kontroversi ketika Yossi Sarid, menteri pendidikan Israel, pada Maret 2000, mengusulkan agar dua puisi Darwish dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah menengah. Perdana Menteri Ehud Barak menolak usul itu dengan alasan Israel “tidak siap.” ”Orang Israel tidak ingin mengajar muridnya bahwa ada kisah cinta antara penyair Arab dan tanah ini,” kata Darwish. “Saya hanya ingin mereka membaca saya untuk menikmati puisi saya, bukan sebagai representasi musuh.” Empat jilid puisinya diterjemahkan ke dalam bahasa Ibrani oleh Muhammad Hamza Ghaneim: Sareer El-Ghariba (Bed of a Stranger, 2000), Limaza tarakt al-hissan wahida (Why Did You Leave the Horse Alone?, 2000), Halat Hissar (State of Siege, 2003), dan Halat Hissar (Mural, 2006).

Bagi Darwish, tanah yang kini diduduki Israel melahirkan ketegangan tersendiri. Sebuah paradoks bersitegang dalam dirinya: seorang nasionalis yang menulis deklarasi perjuangan Palestina yang diadopsi PLO, 1988, berusaha pula memperoleh kartu identitas Israel agar ia dapat hidup di tanah kelahirannya sepulang dari pengasingan. ”Bagi orang Arab di Israel selalu saja ada ketegangan di antara nasionalitas dan identitas,” kata Darwish. ”Saya menerima dokumen apapun yang melindungi hak saya untuk berada di sana.”

Persepsi dirinya sebagai simbol perlawanan Palestina membuat ia jengah. Darwish terkadang merasa seolah-olah dirinya sudah terbaca sebelum menulis. ”Ketika saya menulis puisi tentang ibu saya, orang Palestina mengira ibu saya adalah simbol Palestina,” ujarnya. ”Padahal saya menulis sebagai penyair, dan ibu saya adalah ibu saya. Ia bukan sebuah simbol.” Penyair Naomi Shihab Nye menulis bahwa Darwish “adalah napas esensial rakyat Palestina, saksi yang fasih atas pengasingan dan hak milik…”

Ia ikut memperjuangkan bangsanya, Palestina, tapi bukan tanpa kritik, khususnya kepada faksi-faksi politiknya. Darwish sering berselisih paham dengan banyak pemimpin Palestina, sebab ia menjaga jarak dari faksionalisme. ”Saya penyair dengan perspektif partikular terhadap realitas,” ujarnya.

Ia mengritik keterlibatan PLO dalam perang saudara di Libanon. Ia mundur dari komite eksekutif PLO, 1993, sebagai protes atas perjanjian Oslo, bukan karena ia menolak perdamaian dengan Israel, tapi karena “tidak ada hubungan yang jelas antara periode sementara dan status final, dan tidak ada komitmen yang jelas untuk menarik dari wilayah pendudukan. Saya merasa Oslo membentangkan jalan bagi eskalasi. Saya berharap saya keliru. Saya sangat sedih bahwa saya benar.”

Eskalasi itu mewujudkan diri dalam aksi bom bunuh diri, yang merenggut jiwa pemuda Palestina, yang membuat Darwish mempercayai bahwa ini bukan dilatari ideologi, melainkan wujud keputusasaan. “Kita harus memahami—bukan membenarkan—apa yang membangkitkan tragedi ini. Ini bukan karena mereka mencari perawan cantik di surga, sebagaimana para Orientalis menggambarkannya. Orang-orang Palestina mencintai kehidupan,” kata penyair ini. ”Bila kita memberi harapan pada mereka—suatu solusi politik—mereka akan berhenti membunuh diri sendiri.”

Di saat pulang, ketika ia merasa akan dilupakan oleh bangsanya, ia disambut di mana-mana. ”Saya pikir saya dilupakan, namun saya mendapati bahwa mereka masih menyayangi saya dan mengenal puisi-puisi saya,” ujarnya. ”Negeri ini begitu indah. Saya berusia 27 tahun ketika saya pergi, dan sekarang saya melihatnya dengan mata baru, hati baru.” Pembacaan puisinya dihadiri ribuan orang, tak ubahnya ketika ia membaca di Kairo atau Damaskus. Ia tak bisa mengunjungi sebuah kafe di negeri-negeri Arab tanpa menjadi perhatian orang lain. Sebab itulah, ia kerap menghindari tempat-tempat umum. ”Saya suka dalam bayang-bayang, bukan di dalam cahaya,” ungkapnya.

Bakat bersyairnya, yang ia pupuk sejak kecil dan disemangati oleh kakaknya, membuahkan lebih dari 30 jilid kumpulan puisi. Teman sekolahnya ingat betapa sangat bagus bahasa Ibrani Darwish—ia bercakap pula dalam bahasa Inggris dan Prancis. Penyair Irak Abd al-Wahhab al-Bayati dan Badr Shakir al-Sayyab mengesankannya. Begitu pula Nizar Kabbani. Darwish mengenal Frederico Garcia Lorca dan Pablo Neruda melalui bahasa Ibrani. Ia memuji Yehuda Amichai, dan menggambarkan puisi penyair Yahudi itu sebagai “tantangan bagiku, karena kami menulis tentang tempat yang sama. Ia ingin menggunakan lanskap dan sejarah demi keuntungannya sendiri, berdasarkan identitas saya yang hancur. Jadi kami bersaing: siapa pemilik bahasa tanah ini? Siapa yang lebih mencintai? Siapa yang menulisnya lebih baik?”

Puisi, bahasa, menjadi alat perjuangan Darwish. Dalam pidatonya, saat menerima penghargaan Prince Clause di Amsterdam, 2004, ia berkata: ”Seseorang hanya bisa dilahirkan di satu tempat. Tapi, ia mungkin mati beberapa kali di tempat lain: di pengasingan dan penjara, di tanah air yang diubah oleh pendudukan dan penindasan jadi mimpi buruk. Puisi, barangkali, mengajarkan kita untuk menyuburkan ilusi yang mempesona: bagaimana lahir kembali berkali-kali, dan menggunakan kata untuk membangun dunia yang lebih baik, dunia khayalan yang memungkinkan kita meneken pakta perdamaian yang permanen dan utuh... dengan kehidupan.”

Tema kematian, mistis, kian intens menjelang maut menjemput Darwish. Mungkin karena sakit jantung yang kian menguras sehatnya. Barangkali pula karena peristiwa menjelang pertemuannya dengan Emile Habiby, penulis Yahudi, urung berlangsung lantaran maut lebih dulu menemui Habiby pada malam sebelumnya. Ia toh menghadapi kematian dengan lapang dada. Sebelum operasi jantung dilangsungkan, di Houston, ia meneken dokumen yang berisi permintaan: bila ia dinyatakan mengalami mati-otak, tak usah disadarkan.

Ia menghadapi kematian seperti ia menyikapi sarkasme. ”Sarkasme menolong saya mengatasi kekerasan realitas hidup kita, meringakan penderitaan karena birat, dan membuat orang tersenyum,” ujarnya. Sarkasme bukan hanya terkait dengan realitas saat ini, kata Darwish, tapi juga dengan sejarah. ”Sejarah menertawakan korban dan agresor.”

Di Memorial Hermann Hospital, di Houston, Texas, AS, 9 Agustus 2008, kematian mengalahkan Darwish. Penyair ini dimakamkan di Istana Budaya di Ramallah, di puncak bukit yang menghadap Jerusalem. “Mahmoud bukan hanya milik keluarga, tapi semua orang Palestina, dan harus dikubur di suatu tempat di mana orang Palestina dapat datang dan menziarahinya,” ujar Ahmed Darwish, saudara Mahmoud. Pada 2012, di makamnya dibangun museum yang di temboknya bertulisan: “From Palestine to Mahmoud Darwish”.

Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengumumkan tiga hari masa berkabung untuk menghormati Darwish dan pemakamannya dilakukan setara dengan pemakaman kenegaraan. Sejumlah anggota Knesset sayap-kiri menghadiri upacara resmi dan ribuan orang mengantarkan jasadnya dengan berjalan kaki dari Mukataa ke Istana Budaya. Koran Israel, Ha’aretz, edisi 14 Agustus 2008 menurunkan laporan Mahmoud Darwish—The death of a Palestinian cultural symbol.

Simbol kultural itu pada akhirnya sampai pada tapal pemahaman: “Kupikir puisi dapat mengubah setiap hal, dapat mengubah sejarah dan dapat memanusiakan orang, dan kupikir ilusi sangat diperlukan untuk mendesak penyair agar terlibat dan mempercayai, namun kini aku berpikir bahwa puisi hanya mengubah sang penyair.” (sbr foto: travelvideopostcard.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler