x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Orang Indonesia Tak Bahagia Karena Korupsi

Korupsi yang menyebar secara masif, baik di pemerintahan maupun lingkungan bisnis, telah mereduksi kebahagiaan penduduk Indonesia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

World Happiness Report 2015 yang diluncurkan di New York, Amerika Serikat, pada 23 April lalu menyebutkan bahwa peringkat kebahagiaan Indonesia berada pada posisi ke-74 dari 158 negara dengan skor sebesar 5,399. Dibandingkan dengan laporan yang sama pada 2013 lalu posisi Indonesia naik dua peringkat. Pada World Happiness Report 2013 Indonesia berada di urutan ke-76 dari 156 negara dengan skor sebesar 5,348.

Di kawasan ASEAN, peringkat kebahagiaan Indonesia masih kalah dibandingkan dengan Singapura (24), Thailand (34), dan Malaysia (61). Namun demikian, peringkat Indonesia masih lebih baik dibandingkan dengan Vietnam (75) dan Filipina (90).

World Happiness Report  merupakan laporan tahunan ketiga yang mengukur kebahagiaan negara-negara di dunia. Variabel penilaian yang digunakan untuk pengukuran kebahagiaan meliputi PDB per kapita, harapan hidup sehat, kebebasan dalam membuat pilihan, kebebasan dari korupsi, dan dukungan sosial.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di antara variabel-varibel tersebut, kontribusi dominan terhadap skor kebahagiaan Indonesia disumbang oleh PDB per kapita dan dukungan sosial. Soal kontribusi dominan PDB per kapita hal ini tidak terlepas dari kondisi perekonomian Indonesia yang saat ini menempati posisi ke-9 terbesar di dunia dengan PDB dalam dolar paritas daya beli (PPP) sebesar US$2.399 miliar.

Sementara kontribusi dominan variabel dukungan sosial memberi konfirmasi bahwa orang Indonesia umumnya merasa aman ketika dihadapkan pada kesulitan karena memiliki keluarga atau teman yang siap membantu kapanpun mereka membutuhkan pertolongan. Tidak berlebihan jika hal tersebut, boleh dibilang, juga menunjukkan bahwa orang Indonesia memiliki jiwa tolong-menolong yang cukup baik.

Yang menarik untuk dicermati adalah nihilnya kontribusi variabel kebebasan dari korupsi terhadap skor total kebahagiaan penduduk Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi yang menyebar secara masif, baik di pemerintahan maupun lingkungan bisnis, telah mereduksi kebahagiaan penduduk Indonesia. Karena itu, hal ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi harus dibuktikan.

World Happiness Report pada dasarnya merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap indikator-indikator ekonomi, utamanya PDB per kapita dan pertumbuhan ekonomi, dalam mengukur dimensi kesejahteraan (well-being). Pasalnya, indikator-indikator tersebut kerap bias dan tidak sejalan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pengalaman Indonesia adalah contoh terbaik untuk menunjukkan bahwa angka-angka Produk Domestik Bruro (PDB) dan pertumbuhannya acap kali memiliki korelasi yang lemah dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Selama dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi—yang pada saat yang sama juga menunjukkan peningkatan nilai PDB—cukup mengesankan dengan rata-rata berada pada kisaran 5-6 persen per tahun. Namun sayangnya, pertumbuhan tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat bahkan cenderung lebih dinikmati oleh kelompok kelas menengah dan kaya.

Hal itu tercermin dari peningkatan nilai indeks gini—indikator yang mengukur ketimpangan distribusi pendapatan di antara kelompok masyarakat—secara konsisten dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2013, indeks gini Indonesia sudah mencapai 0,41. Itu artinya, ketimpangan distribusi pendapatan telah memasuki skala medium.

Ketimpangan ekonomi yang kian melebar pada dasarnya adalah bom waktu, yang sewaktu-waktu bisa meledak dalam rupa konflik sosial yang dipicu oleh rasa ketidakadilan ekonomi dan kohesi sosial-politik yang semakin melemah. Karena itu, tantangan pemerintah bukan hanya menggenjot pertumbuhan ekonomi, tapi juga mewujudkan pemerataan (growth with equity). Pendek kata, pemerintah harus hadir untuk mensejahterakan semua rakyatnya.

Itulah sebab, pengukuran kebahagiaan dalam World Happiness Report tidak hanya memperhitungkan variabel ekonomi, yang dalam hal ini diwakili oleh PDB per kapita, tapi juga variabel-variabel lain (non-moneter) yang juga memengaruhi kualitas hidup masyarakat.

Konsekuensinya, meskipun secara ekonomi China dan India menempati posisi ke-2 dan ke-3 terbesar dunia dengan PDB dalam dolar PPP masing-masing sebesar US$16.158 miliar dan US$6.774 miliar, peringkat kebahagian kedua negara raksasa ekonomi dunia tersebut jauh di bawah Indonesia. Dalam soal kebahagiaan, China berada pada peringkat ke-84 dengan skor sebesar 5,140, sementara India berada pada peringkat ke-117 dengan skor 4,565.

Swiss adalah contoh terbaik bagi Indonesia. Negara tersebut mampu menyeimbangkan pembangunan ekonomi dan non-ekonomi. Sehingga dinobatkan sebagai negara terbahagia dalam World Happiness Report 2015 dengan skor kebahagian sebesar 7,587. (*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler