x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ki Hadjar dan Pendidikan yang Membebaskan

Spirit pembebasan manusia yang dikumandangkan Ki Hadjar sekitar satu abad yang silam masih tetap relevan hingga kini—di era Internet. Menjadi manusia merdeka lahir dan batin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani.
(Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.)”

--Ki Hadjar Dewantara

 

Lebih dari seabad silam, Soewardi Soerjaningrat menulis kolom di surat kabar De Express pimpin Douwes Dekker. Dari koran edisi 13 Juli 1913 itu dikutip sindiran Soewardi seperti ini:

“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberi sumbangan untuk dana perayaan itu. Gagasan untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Seandainya aku seorang Belanda, yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikitpun baginya.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tulisan berjudul Als ik een Nederlander was atau Seandainya Aku Orang Belanda itu rupanya menyengat gengsi pembesar-pembesar kolonial Belanda. Anak muda 24 tahun ini dianggap memanas-manasi situasi sehingga Gubernur Jenderal Idenburg memerintahkan tentara kompeni untuk menangkap Soewardi. Ketika ia hendak dibuang ke Pulau Bangka, Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo memprotes tindakan Belanda. Mereka bertiga akhirnya diasingkan ke Belanda.

Di pengasingan, Soewardi memikirkan pendidikan bangsanya. Meski sempat mengenyam sekolah dasar Belanda serta sekolah kedokteran STOVIA tapi tak selesai karena sakit, Soewardi menginginkan pendidikan bagi bangsanya harus berbeda dari pendidikan ala kolonial.

Sekembalinya ke Tanah Air, Soewardi mendirikan Taman Siswa. Ia menginginkan pendidikan yang memerdekakan manusia Indonesia—lahir, batin. Lahir: tidak dijajah secara fisik, ekonomi, politik, dsb. Batin: mampu mengendalikan keadaan, bukan manusia pembebek. Beberapa puluh tahun kemudian, pedagog Paulo Freire juga mendengungkan gagasan serupa: pendidikan yang membebaskan.

Pendidikan yang diangankan Soewardi—yang kemudian tak mau menggunakan gelar Raden Mas-nya dan memilih nama baru Ki Hadjar Dewantara—mengarah kepada proses penyadaran, pembangunan watak, baru kemudian penguasaan pengetahuan. Pendekatan ini mengagetkan pembesar kolonial yang segera bertindak untuk membatasi gerak Taman Siswa lantaran cemas ‘gerakan pendidikan’ ini bakal segera meluas. Seperti penguasa di manapun, mereka bermain-main dengan aturan atau ordonansi dan penguasa kolonial Belanda menganggap Taman Siswa sekolah liar.

Tapi Ki Hadjar berhasil menggalang dukungan dari segenap organisasi pribumi yang ada saat itu: PSII, Muhammadiyah, Paguyuban Pasundan, Budi Utomo, dll. Mereka menentang aturan yang baru dibuat itu. Menghadapi perlawanan masyarakat ini, penguasa kolonial dipaksa menyurutkan langkah, sementara kemajuan Taman Siswa tak terbendung.

Spirit pembebasan manusia yang dikumandangkan Ki Hadjar sekitar satu abad yang silam masih tetap relevan hingga kini—di era Internet. Menjadi manusia merdeka lahir dan batin—tidak dikendalikan oleh kekuasaan, tidak terombang-ambing oleh derasnya arus informasi, tidak tergerus oleh kemudahan peranti teknologi. Menjadi manusia merdeka sejak dalam pikiran, inilah barangkali yang terabaikan dari pendidikan sekarang yang mendahulukan penguasaan pengetahuan.

Bila pendidikan karakter berhasil, tingkat korupsi dan gratifikasi semestinya rendah. Bila tingkat korupsi dan gratifikasi tinggi, dapatkah dikatakan bahwa pendidikan karakter berhasil? Bila korupsi dan suap dianggap lumrah, apa yang keliru dengan pendidikan kita? Sudahkah kita menjadi manusia merdeka seperti yang diperjuangkan Ki Hadjar lewat pendidikan—setidaknya merdeka dari penjajahan oleh kekuasaan materi? ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu