x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Hari Kebangkitan Nasional, Mau Demo SARA?

Bentuk-bentuk solidaritas karena kesamaan identitas tunggal itu telah membatasi hidup manusia sendiri, melibatkan emosi begitu berlebihan, dan memengaruhi nasib orang yang tak terhitung jumlahnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tanggal 20 Mei 2015, Muntilan, Jawa Tengah, diberitakan tersaput senyap. Toko-toko tutup, pasar sepi, jalanan lengang. Kehadiran polisi seolah menegaskan kehadiran nuansa ketegangan di kota sejuk ini. Isu akan berlangsung demo berbau SARA yang menjalar via pesan singkat.

Isu demo berbau SARA itu seperti antitesis dari peringatan Hari Kebangkitan Nasional, ketika kita semestinya ingat pada apa yang sudah diperjuangkan para perintis dan pendiri negeri ini. Mereka mau menanggalkan jatidiri kesukuan, agama, bahasa, pendidikan, dan melebur sebagai bangsa yang satu.

Demo SARA, yang ‘untungnya’ tidak terwujud, jelas merupakan kemunduran dari apa yang sudah diperjuangkan oleh anak-anak muda di awal tahun 1900-an. Mereka yang membawa bendera Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong Celebes, dan seterusnya bertekad mengatasi sekat-sekat yang mungkin ada, eh.. kita yang hidup di erah kemerdekaan malah ingin mundur satu abad lebih.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jika kita ngotot hendak mundur kembali ke zaman baheul dan mengulik lagi latar belakang suku, keturunan, bolehlah kita bertanya: “Siapakah di antara kita yang tahu bakal lahir sebagai orang Jawa, Sunda, Dayak, Batak, Sasak, ataupun Papua? Kita lahir tanpa punya pilihan.

Ketika berdemo, situasi memanas, batupun beterbangan di udara, pernahkah kita terusik: “Jangan-jangan, polisi yang berjaga di sana itu sepupu saya.” Betapa sering, identitas ditegakkan dan seketika kitu benteng pemisah berdiri antara kita dan mereka. Padahal, mungkin saja yang ada di balik benteng itu masih kerabat kita. Jikapun bukan kerabat kita, bukankah mereka sama-sama manusia?

Lantaran identitas tunggal yang dianggap berbeda, orang kerap mengulik apa kelemahan orang lain agar ia bisa ‘dimusuhi’. Mungkin saja, orang Jawa yang tidak kita sukai itu ternyata suami atau isteri keponakan kita dari nenek yang berbeda. Atau polisi yang kita lempari batu di saat berdemo itu adalah ayah sahabat kita—sebagai prajurit, ia sedang bertugas.

 Sungguh mengherankan, fanatisme penggemar klub sepakbola bisa menjadikan penggemar klub lain sebagai ‘lawan’ yang harus dilempari batu jika lewat di depannya. Banyak yang lupa bahwa mereka sama-sama orang Indonesia. Fanatisme kepada klub ini bisa melampaui fanatisme kepada Indonesia, bahkan kepada suku—banyak keturunan Batak dan Jawa yang menjadi pendukung Persib, banyak pula keturunan Jawa yang jadi motor penyerangan PSMS Medan. Alhasil, sebuah klub yang memiliki pemain dan pelatih dari beraneka suku dan agama bisa bersatu dan mengusung bendera identitas baru yang oleh pendukungnya dibela mati-matian.

Sayangnya, ketaatan kepada identitas tunggal tertentu menyebabkan kita bersikap dan berpikir kurang rasional. Seolah-olah diri kita masing-masing hanya punya satu identitas yang tunggal, padahal seseorang punya banyak identitas yang di antaranya kita mungkin bersinggungan. Kita bisa saja seorang Muslim, dan di saat yang sama kita ini Batak, ekonom, anggota Viking pendukung Persib, sekaligus menikah dengan orang Sunda. Identitas mana yang hendak kita pakai? Bagaimana dengan anak kita yang berdarah Batak-Sunda?

Identitas tunggal itu menyesatkan, kata ekonom Nobelis Amartya Sen. Perkara identitas ini punya sejarah yang panjang. Kata Vasily Grossman dalam Life and Fate, pengelompokan manusia punya satu tujuan tama: menegaskan hak setiap orang untuk berbeda (gue beda ama loe), merasa spesial, hidup dengan cara sendiri. Orang-orang membangun identitas yang sama untuk memenangkan hak ini. Tapi, kata Grossman, disinilah kesalahan fatal terjadi: “keyakinan bahwa pengelompokan atas nama ras, Tuhan, partai, atau negara kemudian menjadi tujuan utama kehidupan dan bukan sekedar sarana untuk mencapai tujuan.”

Bentuk-bentuk solidaritas karena kesamaan identitas tunggal itu telah membatasi hidup manusia sendiri, melibatkan emosi begitu berlebihan, dan memengaruhi nasib orang yang tak terhitung jumlahnya. Pengungsi Rohingya yang terapung-apung di kapal-kapal itu terombang-ambing nasibnya karena identitas mereka. Padahal sangat jelas, mereka manusia. Kita pun sama-sama manusia. (foto: tempo.co) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler