x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyusuri Alam Bersama Rumi

Ketika fisika baru membukakan mata kita tentang kesalingterhubungan apa-apa yang ada di semesta, sufi pun berbagi pengalaman serupa. Bukan kumpulan obyek-obyek, melainkan jejaring relasi yang kompleks: benda, waktu, tempat, ruang, dan kesadaran.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suatu ketika William Blake menulis:

May God us keep
From single vision and Newton’s sleep!

Penyair Inggris dari abad ke-18 itu mengungkapkan kegelisahannya atas dominasi pandangan-dunia yang dibangun oleh Rene Descartes-Isaac Newton: begitu mekanistik dan deterministik. Itulah dunia yang mati, atau—dalam kata-kata R.D. Laing—dunia tanpa pemandangan, suara, rasa, sentuhan, dan penciuman, dan bersama itu mati pula kepekaan etis dan estetis, nilai, kualitas, jiwa, kesadaran, dan ruhani.

Descartes telah sampai pada sebuah kesimpulan yang deterministik: “Semua ilmu merupakan pengetahuan yang pasti dan jelas. Kita menolak semua pengetahuan yang hanya berupa kemungkinan…” Selama beberapa abad, pandangannya dianut manusia sebagai satu-satunya cara memandang realitas. Pandangan mekanistik, deterministik, dan reduksionistik ini pula yang melahirkan kerusakan di muka bumi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun fisika baru yang diusung ilmuwan generasi Einstein, Bohr, Schrodinger, dan Heisenberg melihat apa yang tidak tertangkap oleh kacamata Cartesian: dunia yang tidak sesederhana yang dibayangkan Descartes. Mereka menemukan hakikat ganda pada cahaya, sebagai partikel dan gelombang, suatu perpaduan yang aneh. Bagaimana mungkin?

Ketika para ilmuwan itu memasuki alam mikro, maka alam itu ternyata tak seperti yang dibayangkan Descartes-Newton, yang dapat dibelah-belah ke dalam bagiannya. Bagi fisikawan modern, dunia bukanlah sekumpulan obyek, melainkan keseluruhan yang dinamis yang saling berhubungan. Dalam kata-kata Fritjof Capra, penulis The Tao of Physics, alam semesta meurut fisika baru bisa dipahami hanya sebagai pola-pola proses kosmik.

Fisikawan Werner Heisenberg sungguh luar biasa ketika ia menggambarkan keterbatasan manusia dalam memahami alam mikro. Ketika kita memakai istilah klasik seperti partikel, gelombang, posisi, dan kecepatan, untuk menggambarkan fenomena atom, kita menemukan bahwa ada pasangan konsep, atau aspek, yang saling berhubungan tetapi tidak bisa didefinisikan secara serentak dengan tepat. Dalam bahasa yang biasa, kita gagap memahami realitas atom dan subatomik yang mengandung kontradiksi-kontradiksi.

Prinsip ketidakpastian Heisenberg itu adalah cerminan keterbatasan manusia, tetapi sekaligus menggambarkan apa yang disebut oleh Niels Bohr sebagai komplementaritas. Ada partikel, ada gelombang, namun ini adalah manifestasi dari realitas yang sama. Ketidakpastian, tentu saja, berimplikasi pada indeterminasi—sebuah perlawanan atas padangan Cartesian. Menggambarkan situasi ini, Einstein menggunakan aforisme, “Sejauh hukum matematikan merujuk pada realitas, hukum itu tidak pasti; sejauh hukum itu pasti, hukum itu tidak merujuk kepada realitas.”

Fisika kuantum menyediakan pandangan sekilas mengenai esensi sifat benda-beda. Seperti sufi, sebagian fisikawan kini berurusan dengan pengalaman non-indrawi dari realitas. Dan, seperti sufi pula, mereka harus menghadapi aspek-aspek paradoksal pengalaman ini: atau partikel atau gelombang.

Para fisikawan baru juga menampik bahwa kita sanggup mengamati alam tanpa terlibat di dalamnya, murni, steril. Fisika baru menunjukkan betapa subyek sangat memengaruhi realitas obyek, bahkan manjadi bagian integral dari realitas dan bagi pemahaman terhadap realitas. Batas subyek-obyek menjadi kabur. Fisikawan Michel Talbot menuliskan dalam bukunya, Mysticism and the New Physics, “Dalam istilah yang sangat sederhana, Heisenberg menyatakan pengamat mengubah apa yang ia amati karena tindakan pengamatannya itu.”

Betapapun, dunia atom dan subatomik terletak melampaui persepsi inderawi kita. Pengetahuan tetang materi pada tingkat ini tak lagi bisa diturunkan dari pengalaman inderawi langsung, dan karena itu bahasa yang biasa (ordinary language) tak lagi mencukupi untuk menggambarkan fenomena yang diamati. Semakin dalam dan semakin dalam kita memasuki alam itu, kata Ibrahim Syed, semakin harus kita tanggalkan konsep-konsep dalam bahasa biasa itu.

Persoalan bahasa yang dihadapi para fisikawan baru itu menyerupai persoalan bahasa yang dihadapi sufi. Pengetahuan baru yang mereka peroleh mentransendenkan logika klasik dan tak bisa digambarkan dalam bahasa biasa. Ketika fisikawan dan para sufi ingin mengomunikasikan pengetahuan mereka dengan kata-kata biasa, mereka dihadapkan pada paradoks yang membikin mereka tercengang.

Sufisme telah mengembangkan cara-cara yang beragam dalam mengatasi aspek-aspek paradoksal realitas. Karya-karya Jalaluddin Rumi memperlihatkan kekuatan bahasanya yang sangat puitik, yang mengusik pikiran dan menarik kita dari penalaran logis yang sudah kita akrabi. Fisikawan Brain Hines banyak menyerap kearifan yang diperoleh para sufi; Rumi, khususnya, memberikan banyak penjelasan yang mencerahkan bagi fenomena alam yang ia teliti. Mistisisme mendatangkan kesadaran bahwa alam semesta menyimpan banyak misteri yang tak bisa dipahami dengan rasionalitas belaka. Tak bisa hanya menggunakan, dalam istilah Rumi, “kaki yang terbuat dari kayu.”

Kesejajaran antara fisika baru dan mistisisme Timur semakin disadari oleh fisikawan dari generasi yang lebih baru—bahkan merambah wilayah lain, seperti psikologi yang diwakili oleh Danah Zohar (The Quantum Self). Selain Hines, Gary Zukav (The Dancig Wu Lie Mater), Fritjof Capra adalah salah satu doktor fisika partikel yang sangat serius mendalami kesejajaran itu, terutama dalam Buddhisme Zen dan Taoisme. Capra meneruskan pemikirannya ini untuk memahami kehidupan sebagai sistem, yang melahirkan buku The Web of Life. Segala sesuatu di dalam kehidupan ini saling berjalin bagaikan jejaring (web).

Sebagian ilmuwan percaya, fisika kuantum dan tasawuf adalah dua manifestasi yang saling melengkapi pikiran manusia—masing-masing di belahan rasional dan belahan intuitif. Fisikawan modern mengalami dunia melalui spesialisasi ekstrem dari pikiran rasional; Sufi melalui spesialisasi ekstrem dari pikiran intuitif. Keduanya diperlukan untuk memperoleh pemahaman yang menyeluruh terhadap alam. Pengalaman tasawuf diperlukan untuk memahami watak terdalam segala sesuatu dan sains untuk memahami kehidupan modern. Kita memerlukan ayunan dinamis antara intuisi tasawuf dan analisis ilmiah.

Ketika fisika baru membukakan mata kita tentang kesalingterhubungan apa-apa yang ada di semesta, sufi pun membagikan pengalaman yang serupa. Bukan kumpulan obyek-obyek, melainkan jejaring relasi yang kompleks: benda, waktu, tempat, ruang, kesadaran tidaklah terpisah-pisah. Seperti dijelaskan Einstein bahwa ruang dan waktu dipengaruhi oleh kehadiran materi dan energi. Seperti dipahami oleh para sufi, ‘pencerahan’ adalah pengalaman kesadaran akan kesatuan dan interelasi di antara semua, mentransendenkan pengertian ihwal diri yang terisolasi, dan mengidentifikasi diri dengan realitas tertinggi. Juga seperti kata Jalaluddin Rumi:

“Apabila engkau mampu mencampakkan dirimu sekali saja,

Rahasia dari rahasia akan tersingkap untukmu

Wajah dari yang tak dikenal, yang tersembunyi di balik alam akan muncul pada cermin persepsimu!” (Rumi revisited). ***

(sumber ilustrasi: newscientist.com)

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu