x

Iklan

Kadir Ruslan

Civil Servant. Area of expertise: statistics and econometrics. Interested in socio-economic issues. kadirsst@gmail.com.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

“Dosa” Para Peramal Produksi Padi

Jika angka produksi padi/beras yang dihasilkan selama ini memang betul overestimate, semoga hal tersebut bukan karena kesalahan atau “dosa” para peramal produksi padi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah telah mencanangkan kedaulatan pangan sebagai salah satu agenda prioritas pembangunan nasional. Untuk merealisasikan agenda tersebut, Kabinet Kerja telah menetapkan Swasembada Berkelanjutan Padi dan Jagung, serta Swasembada Kedelai harus dicapai dalam 3 tahun.

Sejalan dengan upaya mewujudkan target swasembada, pemerintah juga telah menetapkan target pencapaian produksi, yang boleh dibilang, sangat fantastis. Pada tahun 2015, misalnya, produksi padi dalam kualitas gabah kering giling (GKG) ditargetkan bakal mencapai 73,5 juta ton atau mengalami peningkatan sebesar 2,7 juta ton (3,7 persen) dibanding produksi padi pada tahun lalu yang mencapai 70,8 juta ton.

Meski pada tataran teknis pemerintah telah mencanangkan Upaya Khusus (UPSUS) untuk mencapai target swasembada tersebut melalui sejumlah program yang difokuskan pada peningkatan luas tanam, luas panen, dan produktivitas—seperti Gerakan Pengelolaan Penerapan Tanaman Terpadu (GPPTT), optimalisasi lahan, Rehabilitasi Jaringan Irigasi Tersier (RIJT), dan System of Rice Intensification (SRI)—target ambisius  tersebut mengundang pesimisme dari sejumlah kalangan. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pasalnya, sederet tantangan yang dihadapi sektor pertanian tanaman pangan dewasa ini tidaklah ringan. Laju konversi lahan pertanian (khususnya lahan sawah) yang kian pesat, ketidakpastian pasokan air, anomali iklim, tanah yang tak lagi subur, keengganan generasi muda untuk menjadi petani, dan sederet tantangan berat lainnya menjadikan upaya menggenjot produksi padi nasional bukanlah pekerjaan yang remeh.

Implementasi program-program tersebut juga bakal dihadapkan pada kendala buruknya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 

Soal konversi lahan sawah, misalnya, menurut sejumlah kalangan mencapai 100.000 hektar per tahun. Sementara itu, data lain menyebutkan bahwa, laju konversi lahan sawah mencapai 25.000 hektar per tahun. Entah angka mana yang betul di antara kedua data tersebut, kenyataannya laju konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian kian mengkhawatirkan serta terjadi secara masif dan kasat mata. Celakanya, hal tersebut tidak mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan lahan sawah baru.

Overestimate 

Selain mengundang pesimisme dari sejumlah kalangan, target ambisius di atas juga dihadapkan pada persoalan lain, yakni data statistik produksi padi yang kalau boleh dibilang "masih goyang" untuk dijadikan dasar pijakan dan alat evaluasi keberhasilan pencapaian program/target swasembada.

Selama ini, data produksi padi ditengarai menderita overestimate alias terlalu ketinggian dan tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya oleh banyak kalangan. Hal tersebut terlihat jelas dari inkonsistensi antara data produksi padi dengan perkembangan harga beras di pasar dan kebijakan impor beras yang kerap terjadi.

Ambil contoh, pada November 2010, BPS melaporkan bahwa produksi padi nasional (Angka Ramalan II) mencapai 66 juta ton gabah kering giling (GKG). Jika menggunakan angka konversi sebesar 0,57, itu artinya produksi beras nasional mencapai 37,6 juta ton. Angka tersebut jauh melampaui kebutuhan beras nasional yang ditaksir mencapai 32 juta ton. Dengan lain perkataan, terjadi surplus beras sebesar 5-6 juta ton. Namun anehnya pada saat yang sama terjadi disasosiasi antara angka produksi beras di atas kertas dengan harga beras di pasaran dan stok beras yang ada.

Beras tidak dijumpai dalam jumlah yang memadai di pasaran. Hingga Oktober 2010, Bulog mengalami kesulitan mengamankan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dengan alasan harga pasar sangat jauh di atas harga pembelian pemerintah (HPP) meskipun pada saat panen raya. CBP idealnya sebesar 2 juta ton atau setidaknya pada level aman sebesar 1,5 juta ton. Sementara beras yang dikuasai Bulog kala itu hanya 1,2 juta ton, yang katanya jauh dari level aman.

Hal yang sama kembali berulang pada Juli 2011. Kala itu, BPS merilis angka produksi padi sebesar 68,06 juta ton GKG (Angka Ramalan I) atau setara dengan 38,8 juta ton beras untuk pangan penduduk. Berdasarkan angka ini surplus produksi beras nasional mencapai 5-6 juta ton. Tapi, mengapa pada saat yang sama harga beras terus merangkak naik—indikasi kuat akan kelangkaan suplai beras di pasaran? Kenapa pula pemerintah harus menganggarkan sekitar 7 triliuan rupiah kala itu untuk mengimpor sekitar 1,8 juta ton beras karena Bulog mengalami kesulitan untuk menggenjot CBP dengan hanya mengandalkan produksi beras dalam negeri. Tentu ada banyak sebab yang bisa kita kemukakan sebagai alasan untuk menjelaskan disasosiasi tersebut. Dan salah satunya adalah data produksi padi yang ketinggian atau mengalami overestimate.

Pandangan mata

Selama ini, angka produksi padi dihitung dengan mengalikan luas panen dan produktivitas. Angka produksi tersebut kemudian dikonversi ke beras dengan menggunakan angka konversi tertentu yang diperoleh dari hasil survei.

Dalam prakteknya, perhitungan produktivitas (produksi per hektar) menjadi tanggung jawab BPS yang dilakukan melalui metode sampling/survei ubinan. Akurasinya sebetulnya cukup baik. Setiap tahun jumlah sampel ubinan terus ditambah sehingga kesalahan akibat penarikan sampel (sampling error)  dapat terus ditekan. Hingga tahun 2014, satu sampel ubinan (plot seluas 6,25 m2) mewakili luasan 221 hektar untuk padi sawah dan 215 hektar untuk padi ladang.

Satu-satunya sumber ketidakuratan dalam pengukuran produktivitas adalah moral hazard petugas, yakni hasil ubinan tidak ditentukan berdasarkan prosedur statistik/penarikan sampel dan pengukuran di lapangan tetapi “di atas meja.” Peluang moral hazard bisa terjadi pada sampel yang diukur oleh petugas BPS (sampel ganjil) dan petugas Dinas Pertanian (sampel genap).

Sementara itu, penghitungan luas panen menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian (Kementan). Secara teknis, penghitungan luas penen didasarkan pada laporan petugas Dinas Pertanian yang disetor ke BPS.

Kalau mau jujur, jika diasumsikan angka produksi padi yang ada selama ini menderita overestimate, kontributor utamanya adalah angka luas panen yang jauh dari akurat. Betapa tidak, perkiraan luas panen masih mengandalkan metode pandangan mata (eye estimate).

Dalam prakteknya, petugas Dinas Pertanian datang ke sawah untuk memperkirakan luasan hamparan padi yang akan dipanen. Masih untung jika petugas datang ke sawah, bagaimana jika luas panen diperkirakan di atas meja?

Kejanggalan yang selalu muncul terkait luas panen adalah angkanya yang terus persisten pada posisi sekitar 13 juta hektar. Padahal, laju konversi lahan sawah sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya terus terjadi secara masif di depan mata. Konon, luas panen sebesar 13 juta hektar itu merupakan hasil optimalisasi indeks pertanaman (IP) pada sekitar 8 juta hektar  luas baku lahan sawah, yang selama ini juga banyak dipertanyakan oleh sejumlah pihak perihal ketepatannya.Karena itu, perbaikan metodologi penghitungan luas panen dan luas baku lahan sawah harus didorong.

Ramalan

Angka produksi padi tahun tertentu disajikan dalam empat status angka yang berbeda: Angka Ramalan I (ARAM I), ARAM II, Angka Sementara (ASEM), dan Angka Tetap (ATAP). Sebetulnya, ketika berbicara kebijakan perberasan, dua angka pertama lebih memegang peranan penting karena masing-masing dirilis pada bulan Juli dan November tahun berjalan (t). Dari sisi timelines dan pengambilan kebijakan, ASEM dan ATAP sudah terlalu basi bagi pemerintah. Pasalnya, kedua angka tersebut dirilis setelah tahun berjalan ( t+1). Keduanya hanya berguna untuk keperluan evaluasi dan post analysis.

Itulah sebab, terkait angka produksi padi, selama ini angka ramalan (ARAM) lebih popular ketimbang ASEM atau ATAP. Patut diperhatikan, penghitungan ARAM tidak sepenuhnya didasarkan pada hasil realisasi Survei Ubinan dan laporan luas panen—yang dipertanyakan akurasinya. Unsur forecasting (peramalan) dengan menggunakan berbagai model statistik dan matematik masih cukup dominan: 66,66 persen pada ARAM I dan 33,33 persen pada ARAM I.

Kalau mau jujur, selama ini, validitas dan keterandalan model-model yang digunakan untuk forecasting juga masih menjadi tanda tanya. Namun, setali tiga uang dengan yang terjadi pada penaksiran luas panen, masih untung peramalan dilakukan dengan menggunakan model-model statistik atau matematik, apa jadinya kalau peramalan dilakukan secara subyektif dengan menggunakan metode sekenanya yang tidak jelas asal-usulnya?

Karena itu, jika angka produksi padi/beras yang dihasilkan selama ini memang betul overestimate, semoga hal tersebut bukan karena kesalahan atau “dosa” para peramal produksi padi, tapi keniscayaan bahwa statistik tak pernah lepas dari error.(*)

Ikuti tulisan menarik Kadir Ruslan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB