x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pertarungan Strategi Para Empu Manajemen

Strategi perusahaan banyak menarik minat para empu manajemen. Mereka membedah berbagai kemungkinan dalam mengelola perusahaan dan memprediksi hasilnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Leaders establish the vision for the future and set the strategy for getting there.”

--John. P. Kotter

 

Dalam kurun kira-kira 20 tahun terakhir terdapat sejumlah nama yang memberi pengaruh besar terhadap para manajer. Di antara mereka terdapat Jim Collins, Robert S. Kaplan, W. Chan Kim dan Renee Mauborgne, serta, tentu saja, Coimbatore KrishnaraoPrahalad.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Good to Great ditulis oleh Jim Collins sebagai jawaban atas keingintahuan para pemimpin bisnis apakah mereka mampu mengubah perusahaan yang berjalan biasa-biasa saja menjadi perusahaan hebat. Untuk menjawab keingintahuan itu, Collins menelisik ratusan perusahaan dan kemudian menemukan 11 perusahaan yang tumbuh dari biasa menjadi hebat. Ukuran hebat ialah pengembalian pasarnya 300 persen di atas S&P 500 dan mampu mempertahankan hasil tersebut selama 15 tahun.

Kepemimpinan yang ambisius dalam mengejar sasaran tapi bersikap rendah hati akan berusaha sekuat tenaga menemukan tim yang tepat sebelum memutuskan perusahaan akan dibawa kemana—inilah yang kemudian dikenal sebagai prinsip ‘First Who then What’. Para pemimpin ini kemudian menciptakan lingkungan yang memungkinkan pegawai menyuarakan pendapat mereka dan menerima tanggung jawab yang layak.

Collins merujuk fabel kuno dari Yunani “Sang Landak dan Sang Rubah”. Sang Rubah mengetahui banyak hal, tapi Sang Landak mengetahui satu hal besar. Konsep Sang Landak merupakan inti dari tiga hal yang saling berhubungan, yakni 1) Apa hal terbaik di dunia yang bisa Anda lakukan?, 2) Apa yang menggerakkan mesin ekonomi Anda?, dan 3) Apa hasrat terbesar Anda? Konsep inilah yang kemudian menjadi panduan perusahaan untuk tumbuh menjadi hebat.

Dalam karyanya yang lain, How the Mighty Fall, Collins memaparkan situasi sebaliknya, mengapa perusahaan hebat bisa bangkrut? Dalam penglihatan Collins, kemerosotan perusahaan itu mirip dengan penyakit. Di tahap awal, penyakit sukar dideteksi, tapi bila ketemu mudah diobati. Sebaliknya, bila berada di tahap akhir, penyakit mudah dideteksi, tapi sudah sulit diobati. Namun, menurut Collins, kebangkrutan bukan tidak bisa dihindari, terutama bila para manajer berusaha keras mengubah kebiasaan buruk mereka.

Penyajian Collins yang diskriptif membuat karya-karyanya enak dibaca. Berbeda dengan Robert S. Kaplan dan David P. Norton yang terasa lebih teknis ketika menyajikan Balanced Scorecard. Metode ini berusaha menghubungkan tindakan-tindakan perusahaan di masa sekarang dengan sasaran jangka-panjangnya. Gagasan yang diperkenalkan oleh Kaplan di Harvard Business Review pada 1992 melalui artikel The Balanced Scorecard: Measures That Drive Performance menarik perhatian banyak manajer karena kemampuannya dalam menghubungkan strategi dengan tindakan. Walau begitu, balanced scorecard yang pertama sebenarnya diciptakan bukan oleh Kaplan, melainkan oleh Art Schneiderman, seorang konsultan independen dalam manajemen proses pada 1987, saat ia bekerja di perusahaan semikonduktor Analog Devices di bawah Kaplan. Sayang, namanya tenggelam oleh Kaplan dan Norton.

Proses pembuatan matriks Balanced Scorecard dimulai dari atas, yakni visi perusahaan dan strategi yang ditetapkan oleh manajemen senior. Ukuran-ukuran strategis disampaikan ke bawah melalui hierarki perusahaan, sehingga tujuan tim dan tujuan individu selaras (aligned) dengan tujuan strategis secara keseluruhan. Daya tarik metode ini terletak pada hubungan langsung antara strategi tingkat atas dan pengambilan keputusan di semua jenjang organisasi. Para eksekutif dapat melihat hubungan antara indikator perusahaan, baik sedang unggul atau tertinggal, dan hasil keuangan yang dicapai.

Berbicara perihal kompetisi dan strategi, orang tak bisa mengabaikan gagasan yang dilontarkan W. Chan Kim dan Renee Mauborgne dari Blue Ocean Strategy Institute di INSEAD, sekolah bisnis terkemuka di Eropa. Blue Ocean Strategy, menurut Kim dan Mauborgne, adalah cara untuk membuat kompetisi menjadi tidak relevan dengan menciptakan lompatan nilai bagi perusahaan maupun pelanggannya. Guru besar keturunan Korea dan Prancis ini menggunakan metafor ‘samudra merah’ sebagai keseluruhan industri yang ada saat ini.

Di samudra merah, batasan-batasan industri telah didefinisikan dan diterima, dan aturan persaingan dalam permainan ini sudah diketahui. Perusahaan berusaha melewati rival-rivalnya untuk meraih pangsa yang lebih besar dari permintaan yang sudah ada. Cara yang ditempuh misalnya membuat produk serupa yang lebih bagus dengan harga yang lebih bersaing. Karena ruang pasar semakin padat, prospek untuk memperoleh keuntungan dan pertumbuhan jadi berkurang. Persaingan bahkan bisa menjadi berdarah-darah karena perusahaan memperoleh marjin keuntungan yang tipis dengan membanting harga jual produk atau jasanya.

Samudra biru, sebaliknya, merupakan seluruh industri yang tidak eksis saat ini. Ruang pasarnya tidak diketahui. Masih bersih dari kompetisi. Di samudra biru, alih-alih pasar diperebutkan, permintaan justru diciptakan. Ada peluang yang luas untuk pertumbuhan yang menguntungkan dan berlangsung cepat. Di samudra biru, kompetisi tidak relevan sebab aturan permainan menanti untuk ditetapkan. Samudra biru adalah analogi bagi ruang pasar yang secara potensial lebih luas dan dalam tapi belum dieksplorasi. Ke sanalah mestinya perusahaan berlayar.

Ke ruang-ruang yang belum dirambah itu pula C.K. Prahalad mengajak masuk para manajer, antara lain melalui karyanya bersama Gary Hamel, Competing for the Future. Dari judul bukunya, Hamel dan Prahalad seolah ingin mengatakan bahwa jika ada pertarungan, maka itu adalah untuk memperebutkan masa depan. Para pemimpin bisnis akan kalah dalam pertempuran, atau malah peperangan, bila mereka menghabiskan seluruh waktunya untuk masalah-masalah masa kini. Prahalad dan Hamel meragukan bahwa perubahan kecil jangka pendek, seperti restrukturisasi dan pengurangan tenaga kerja, adalah jawaban bagi pertumbuhan perusahaan.

Menciptakan perbedaan strategis justru hal yang sangat penting, dan untuk itu dibutuhkan kemampuan dalam memperkirakan masa depan. Seperti halnya pemikir lain, Prahalad menilai sangat penting peran pemimpin. “Jika tim manajemen puncak tidak mampu menjelaskan dengan gamblang mengenai lima atau enam trend industri mendasar yang paling mengancam kelestarian kesuksesan perusahaannya, maka tim tersebut tidak mampu mengendalikan nasib perusahaannya,” tulis Prahalad.

Perusahaan yang mampu mengetahui masa depannya dengan lebih baik akan memperoleh banyak manfaat, seperti mendapatkan investasi lebih dahulu dibandingkan pesaing. Kemampuan untuk mengetahui arah trend membantu perusahaan dalam memperoleh gambaran tentang keahlian yang dibutuhkan untuk bersaing di masa depan. Istilah “core competency” diciptakan oleh Hamel dan Prahalad guna menjelaskan beraneka ragam keahlian yang dibutuhkan perusahaan dalam bersaing. Makalah mereka, The Core Competence of the Corporation, yang terbit di Harvard Business Review edisi Mei-Juni 1990, merupakan salah satu artikel yang paling sering dicetak ulang.

Nama Prahalad mungkin kurang dikenal di sini, tetapi ia berada pada posisi paling tinggi dalam survei yang dilakukan di kalangan pebisnis AS mengenai pemikir manajemen yang berpengaruh pada 2009. Ia pemikir provokatif yang secara teratur memunculkan gagasan cemerlang yang mengagetkan para eksekutif bisnis. Co-creation, yang sering ditafsirkan sebagai penciptaan nilai oleh produsen bersama-sama dengan konsumen, adalah istilah yang diciptakan Prahalad, walau ia memaknainya lebih dari itu.

Bukunya yang lain, Fortune at the Bottom of the Pyramid (2004), memicu kontroversi. Dalam ekonomi, bottom of the pyramid adalah kelompok sosio-ekonomi terbesar tetapi paling miskin. Frasa yang pertama kali digunakan Franklin D. Roosevelt ini dipakai oleh Prahalad dan Stuart L. Hart untuk merujuk pada jutaan orang yang hidup dengan penghasilan kurang dari dua dolar AS per hari. Dalam bukunya, Prahalad menyatakan bahwa bisnis, pemerintah, dan badan-badan donor mesti berhenti menganggap kaum miskin sebagai korban dan mulailah melihat mereka sebagai entrepreneur kreatif dan ulet serta value-demanding consumers.

Bila perusahaan multinasional memilih untuk melayani pasar ini, kata Prahalad, mereka bisa memetik manfaat yang luar biasa. Pengurangan kemiskinan juga bisa dilakukan bila perusahaan multinasional mau bekerjasama dengan organisasi civil society dan pemerintah setempat untuk menciptakan model-model bisnis baru yang bersifat lokal.

Pandangan Prahalad itu memicu perdebatan. Aneel Karnani, dari Ross School di University of Michigan, AS, menyatakan tidak ada keberuntungan di dasar piramida dan bagi kebanyakan perusahaan multinasional pasar itu sangat kecil. Berbeda dengan Prahalad, Karnani berpendapat bahwa satu-satunya cara untuk menghapus kemiskinan ialah fokus pada upaya membangkitkan kaum miskin sebagai produsen, dan bukan menjadikan mereka sebagai pasar.

Para empu manajemen telah menunjukkan beragam jalan menuju keberhasilan. Pada akhirnya berpulang kepada para manajer sendiri, jalan mana yang hendak ditempuh. Bagi para guru manajemen, praktek bisnis adalah medan pertarungan gagasan mereka dan ujian apakah pemikiran mereka hanya cemerlang di atas kertas. (sumber ilustrasi: mstoner.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler