x

Iklan

Wulung Dian Pertiwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Dari Kakao Ke Kokoa (Bagian 4)

Catatan kecil tentang cokelat, dari perkebunan di Pantai Gading hingga kebun kakao di Sulawesi Selatan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berita perdagangan dan perbudakan anak di perkebunan-perkebunan cokelat Pantai Gading, Afrika, dikabarkan BBC tahun 2000 diikuti banyak laporan senada jurnalis berbagai media. 2001, Parlemen Amerika Serikat hampir meluluskan sebuah usulan pemberian label ‘bebas perbudakan anak’ bagi produk cokelat negara mereka, bahkan telah berupa draf Rencana Undang-Undang. Jika RUU disahkan, perusahaan cokelat terancam diboikot pasar sehingga mereka melobi parlemen dan meyakinkan bahwa mereka sanggup menyelesaikan ini tanpa sampai harus disusun sebuah perundangan.

Akhirnya parlemen mendorong perusahaan cokelat menandatangani kesepakatan penghapusan perbudakan anak bersama ILO (badan PBB yang menangani pekerja). Konvensi 182 ILO berisi banyak poin penting ditandatangani September 2001 oleh pemerintah, perusahaan cokelat global, produsen kakao, buruh kakao, dan ILO, sekaligus dikenal sebagai Protokol Kokoa juga Protokol Harkin-Engel. Harkin dan Engel adalah nama dua senator parlemen Amerika Serikat penggagas kesepakatan. Poin pentingnya, perlu kerja sama menghilangkan segala bentuk perbudakan anak dalam industri cokelat dunia.

Dana dunia dianggarkan membentuk badan penyelidik, badan peneliti, lembaga pendamping, kegiatan-kegiatan penguatan, pertemuan-pertemuan internasional menindaklanjuti, mengontrol, demi mewujudkan kesepakatan bersama. Utusan-utusan asing atas nama menjalankan misi dunia direkrut, dibayar, dan dikirim memasuki negara-negara pemilik perkebunan terutama di Afrika sekaligus negara-negara diduga pemasok tenaga kerja anak. 2001, 2005, 2008 badan-badan, yang dibentuk dan dimandati ILO menyelesaikan permasalahan ini, membuat pernyataan bersama menunjukkan perbaikan di lapangan. 2010 lagi-lagi pernyataan bersama, kali itu berisi perjanjian penyelesaian masalah perbudakan anak, di perkebunan cokelat, diperpanjang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saking lamanya penerapan, banyak badan peneliti independen berpendapat Protokol Harkin-Engel tak berjalan. Bahkan hingga sepuluh tahun pelaksanaan, tidak jelas sampai dimana capaian kesepakatan. Apakah perburuhan anak di perkebunan cokelat benar telah terhapuskan di dunia, dipertanyakan banyak pihak karena memang tak satupun laporan ILO menegaskan itu.

Setahun sebelumnya, 2010, sebuah film dokumenter The Dark Side Of Chocolate karya Miki Mistrati dan U. Roberto Romano ramai ditayangkan. Gamblang terpampang perbudakan anak dan perdagangan anak masih berjalan di perkebunan-perkebunan cokelat Pantai Gading, toh tak serta merta membawa jalan keluar. Miki sekedar mendapat ungkapan sedih Frank Hagemann, Direktur ILO Bidang Penghapusan Perburuhan Anak, dan malah gagal membuat ‘raksasa-raksasa’ cokelat sekedar menyaksikan hasil penyelidikannya.

Perusahaan-perusahaan cokelat menolak wawancara dan menyaksikan dokumentasi Miki. Mereka berkongsi kemudian membuat pernyataan tertulis disebarkan ke media, menyatakan sebagian besar perkebunan kakao bukan milik perusahaan pembuat cokelat atau pemasok kakao, sehingga  mereka tidak memiliki wewenang termasuk menentukan cara kerja di perkebunan. Betapa naïf, lalu apa kabar tanggung jawab mewujudkan isi Protokol? Mungkin pertanyaan kita sama.

Itulah nyatanya, sampai hari ini, perusahaan-perusahaan cokelat global semakin ‘gendut’ dengan pedapatan melimpah tanpa sanksi berarti, sementara kisah sedih terus-terusan terjadi di negeri-negeri subur pemasok bahan baku, yang miskin. Kalau menyandarkan tegak keadilan pada badan dunia, sekaliber ILO pun seperti mustahil, demi siapa sebenarnya kemaslahatan hidup diusahakan PBB?

Foto, yang saya lampirkan untuk judul ini, karya Yusuf Ahmad, fotografer Reuters, diambil dari perkebunan cokelat Sulawesi Selatan, 24 Agustus 2010. Berapa kira-kira umur gadis pembawa panen kakao tadi? Apa yang kita lakukan?

Saya pikir, saatnya kita bersikap. Jika memahami peta dunia siapa berkepentingan apa masih kabur dan  buram, mungkin kita berkonsentrasi saja pada cita-cita asli kemerdekaan. Kita bisa mulai mengembalikan arah perjalanan bangsa pada ide luhur pendirian Republik tercinta, mandiri, seperti pesan Bung Hatta, atau berdikari, bahasa Bung Karno. Artinya, semakin tidak tergantung kita pada campur tangan di luar merah putih, semakin baik.

Bukan gampang memang, apalagi nyatanya kita terlanjur dibuat kecanduan ketergantungan. Tapi kebenaran, keadilan, dan kebaikan wajib kita usahakan dan mengatur rumah tangga negeri sendiri adalah hak kita. Bukankah kita sepakat penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, dan penjajahan berarti segala yang tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan?

Jangan malah berhenti makan cokelat, mungkin mengutamakan cokelat-cokelat Indonesia berkualitas bisa kita prioritaskan. Kalau kita mengonsumsi cokelat asli Indonesia, lama-lama pabrik-pabrik cokelat kita mengalami peningkatan pasar sehingga mereka menjadi konsumen besar kakao Indonesia tanpa perlu mendatangkan dari luar. Kalau yang kita konsumsi cokelat berkualitas, pabrik-pabrik kita akan bisa banyak-banyak memproduksi real chocolate sesuai permintaan kita, pasar utama mereka.

Industri cokelat Indonesia berkembang artinya peningkatan serapan hasil panen kakao petani-petani Indonesia, artinya pak tani-pak tani kita tidak perlu memilih mengekspor karena pasar dalam negeripun sanggup membeli dengan harga bagus. Kita besarkan cokelat Indonesia sambil terus mengusahakan pendidikan baik bagi seluruh generasi bangsa. Perlu waktu memang, perlu sabar, perlu kompak, perlu kerja sama, semangat sama, tekad sama, demi tujuan sama menghapus penindasan, menjunjung kedaulatan, membesarkan tanah air tercinta.

Bergerak, Indonesia, sebelum tamat riwayat cokelat kita.

Tamat

Ikuti tulisan menarik Wulung Dian Pertiwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler