x

Iklan

Mang Ujang

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Renungan Muram Setelah Timnas U-23 Gagal di SEA Games

Hasrat agar Timnas U-23 meraih prestasi di awal masa hukuman FIFA tak kesampaian. Masa depan sepak bola kita terlihat suram.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepak bola kita gagal lagi. Di SEA Games 2015, yang berlagsung di Singapura, tim nasional usia di bawah 23 tahun (U-23) gagal dalam perebutan medali perunggu. Evan Dimas dan kawan-kawan, seperti di semifinal saat melawan Thailand, kembali digulung lawan 5-0.

Kegagalan ini sebenarnya tak mengejutkan. Bahkan sudah terlalu biasa. Nyatanya, kita memang tak pernah lagi berhasil merebut emas sejak 1991 lalu.

Namun, semula, memang banyak yang berharap Timnas U-23 akan memberi angin harapan. Karena kita sudah diberi sanksi oleh badan sepak bola dunia (FIFA), maka tampilan di SEA Games menjadi yang terakhir bagi timnas selama sanksi itu belum dicabut. Nyatanya, harapan untuk berprestasi sebelum memasuki masa vakum--yang entah akan berlangsung berapa lama--akhirnya kembali tak kesampain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kegagalan kali ini harusnya jadi cambuk. Kementerian Pemuda dan Olahraga harus lebih sungguh-sungguh membenahi PSSI. Pengrobanan sudah terlalu banyak diberikan seiring dibekukannya PSSI dan turunnya sanksi FIFA: Kompetisi yang terhenti, pemain yang kehilangan periuk nasi, rakyat yang kehilangan hiburan. Akan sangat celaka bila kemudian pembenahan yang dijanjikan Menteri Imam Nahrawi tak benar-benar terbukti.

Apa sebenarnya yang kurang sehingga sepak bola kita tak pernah beranjak? Sudah banyak analisa tentang ini. Di berbagai diskusi. Di tiap evaluasi setelah timnas gagal di seuatu kejuaraan. Semua tahu rumus kita untuk maju: kompetisi berjenjang yang berkualitas.

Untuk urusan minat dan bakat kita jelas tak kurang. Tengok saja sekolah sepak bola yang tersebar di seluruh nusantara. Anak-anak muda begitu antusias belajar. Tengok pula timnas U-19 sebelum tercemari oleh banyak tangan di PSSI. Mereka mampu menjadi juara Asia Tenggara. Mereka juga bisa lolos ke putaran final Piala Asia dengan mengalahkan Korea Selatan.

Lalu apa yang kurang? Mungkin kesungguhan kita. Orang-orang di PSSI, barangkali, bukanlah orang yang benar-benar peduli dengan kemajuan sepak bola. Mereka hanyalah orang yang ingin meraih keuntungan--baik nama atau materi--dengan mendompleng menjulangnya PSSI.

Pemerintah, bisa jadi, juga setali tiga uang. Kepedulian mereka pada sepak bola tak pernah benar-benar nyata. Penyediaan fasilitas yang mestinya jadi tanggung jawab mereka, nyatanya, tak benar-benar berjalan. Lapangan sepak bola justru makin menciut dari tahun ke tahun. Dukungan untuk memajukan sepak bola lewat jenjang pendidikan formal juga tak benar-benar tampak.

Jadi, sebenarnya, sedikit agak mengagetkan tindakan Menpora yang tampak sangat bernapsu membenahi PSSI. Semuanya terkesan ujug-ujug. Semuanya terkesan tanpa disertai konsep yang matang. Langkah itu juga seperti menepuk air di dulang. Mereka menyalahkan hasil akhir, tapi peran mereka yang mestinya sangat besar dalam proses menuju hasil akhir itu, justru tak tampak.

Tapi, sudahlah. Mari kita tunggu akhir dari aksi Menpora. Semoga semuanya memang dilandasi niat baik dan kesungguhan untuk membuat sepak bola kita menjadi lebih baik.

Sudah pasti, prosesnya tak akan gampang. Para pengurus PSSI--yang ingin dienyahkan karena dianggap jadi bagian dari masalah--sudah sangat mengakar. Tak mungkin menyingkirkan mereka tanpa mengamputasi atau mengganti kekuatan sepak bola di berbagai daerah, yang hampir pasti sama bermasalahnya.

Tantangan terbesar nantinya adalah menemukan orang yang bersih dan kapabel untuk menjalankan roda PSSI. Mereka yang sudah berkecimpung di sepak bola selama ini, lebih baik dilupakan saja. Mereka sedikit banyak sudah tercemar oleh bobroknya sistem yang ada. Pernyatannya: adakah orang seperti itu di Indonesia?

Keluhan justru sudah terdengar dari intern menpora. Tim Transisi PSSI yang dibentuk untuk menjalankan roda organisasi badan sepak bola nasional itu selama dibekukan terkesan jauh dari harapan. Mereka terkesan tak terkoordinir, bahkan muncul kekhawatiran bahwa ada anggota yang memanfaatkan statusnya untuk melambnungkan nama sendiri.

Tantangan lain akan datang saat merangkul klub-klub untuk berkompetisi. Klub itulah yang selama ini ikut melanggengkan sistem yang ada, termasuk memilih para pengurus PSSI saat ini yang dianggap tak ideal. Jadi, bukankah berlebihan mengharapkan mereka mendadak berubah jadi para idealis di ranah sepak bola nasional.

Tegasnya, langkah pembenahan PSSI oleh Menpora pasti akan sangat sulit dilakukan. Pak Menteri dan timnya harus berkutat mencari akar masalah yang tak jelas mana ujung dan mana pangkal. Dibutuhkan kejelian, kecerdikan, langkah berani, dan mental baja. Bila modal itu tak dimiliki, bukan tak mungkin kita hanya akan menghamburkan pikiran dan tenaga untuk waktu yang lama, sementara masalahnya sendiri tak pernah terselesaikan.

Kita berharap, semoga saja bukan seperti itu yang nantinya terjadi.(*)

Ikuti tulisan menarik Mang Ujang lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB