x

Turun ke Desa

Iklan

machmud nasrudin arsyad

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Memetakan Potensi Desa

Desa saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat, karena minimnya lahan pertanian, desa harus mencari solusi untuk menambah hasil pendapatan desanya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Data BPS 2013 menjelaskan setiap tahun 80 ribu hektare lahan pertanian berubah fungsi menjadi lahan nonpertanian . Ini berarti, per hari kita kehilangan lahan pertanian seluas kira-kira 220 lapangan sepak bola.  Salah satu penyebab utamanya adalah regulasi alih fungsi lahan tidak dijalankan secara ketat dan terkontrol, mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah,  sehingga mengakibatkan perkembangan sektor industri dan pemukiman tak terkendali, terutama di pulau Jawa. Kondisi ini mengancam ketahanan pangan nasional. Program pemerintah yang ingin mempertahankan produksi pangan nasional di masa datang pun ibarat “jauh panggang dari api”.

Akibat makin minimnya lahan pertanian, desa sebagai ujung tombak ketahanan pangan harus berpikir keras agar tetap bisa menghasilkan produk-produk pertanian dengan lahan yang terbatas. Salah satu desa yang bisa menjadi inspirasi bagi desa yang lain di bidang ketahanan pangan adalah desa Mpatakapidu, di Sumba Timur,  Nusa Tenggara Timur (NTT).

Mbatakapidu berupaya mengintegrasikan program ketahanan pangan dalam sistem perencanaan desa. Melalui proses musyawarah desa, pemerintahan desa merumuskan program komoditas untuk menanam tanaman jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Program ini ditempuh melalui diversifikasi jenis tanaman, misalnya jenis tanaman jangka pendek yang semula hanya monoton dengan bertanam jagung, diubah dengan kebiasaan baru untuk menanam aneka ragam jenis tanaman yang berumur pendek.

Tanaman jangka menengah dikembangkan dengan menamam pohon kelapa, pisang, sukun, sirsak, pepaya, kemiri, jambu mete, nangka, mangga dan lainnya. Sedangkan tanaman jangka panjang ditempuh dengan cara setiap rumah tangga diharuskan menanam minimal sebanyak 1.000 pohon tanaman umur panjang, seperti: pohon mahoni, jati lokal, dan gamalina

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seperti terungkap dalam lapor Krisdyatmiko dan kawan-kawan dari Institute for Research Empowerment (IRE), upaya pemerintah desa Mpatakapidul melakukan kolaborasi dengan warga telah menghasilkan ketahanan pangan desa.  Sebelum adanya program ketahanan pangan, warga selalu datang membeli beras di lumbung pangan karena murah, tapi setelah program ketahanan pangan ini berjalan, sangat jarang sekali masyarakat datang ke lumbung pangan untuk membeli beras murah. Ini membuktikan bahwa tingkat kecukupan pangan di masyarakat berada dalam posisi aman, bahkan desa Mbatakapidu mampu menjadi suplayer sayur-sayuran di pasar kota Waingapu, tidak hanya itu sayur-sayuran desa Mpatakapidul sudah masuk ke hotel-hotel di kota Waingapu. Desa Mbatakapidu bisa menjadi contoh desa yang berhasil menciptakan ketahanan pangan untuk desanya sendiri. (Policy Breif, “Belajar dari Desa untuk Ketahanan Pangan”, IRE, September 2012)

Tapi tak banyak desa bisa seberuntung Mbatakapidu. Bagaimana pun sulit membuat desa yang sudah minim lahan harus menjalankan program ketahanan pangan. Yang bisa dilakukan oleh desa-desa ini adalah harus pandai-pandai mengembangkan potensi desanya.

Salah satu desa yang berhasil mengembangkan potensi desa untuk komoditas non pangan yaitu Desa Bleberan, di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta. Desa tandus yang selalu kekeringan ketika musim kemarau tiba itu berhasil menemukan potensi yang tersimpan yaitu air terjun Sri Genthuk dan Gua Rancang Kencono. Dua wisata alam tersebut memberikan berkah yang luar biasa bagi masyarakat Bleberan.

Setelah menjadi desa wisata alam, semangat warga untuk mempromosikan desanya tiada kunjung padam. Segala upaya dilakukan, termasuk menggunakan jaringan media sosial sebagai media promosi  hasilnya sangat signifikan. “Cuma dalam setahun sudah hampir satu juta pengunjung datang ke desa Bleberan,” ungkap Tri Harjono, mantan Kepala Desa.

Perekonomian masyarakat tumbuh, warga masyarakat berbondong membuat rumah makan di dekat daerah wisata, bahkan mereka menyewakan rumah sebagai home stay bagi pengunjung yang ingin menginap. Pemuda desa ikut terlibat aktif dalam mengelola desa wisata, tidak ada lagi ditemui pemuda desa yang hanya nongkrong-nongkrong di warung, mereka sudah disibukkan menjadi pemandu wisata untuk para pengunjung desa wisata. Pendapat Asli Desa (PADes)  yang tadinya hanya satu juta pertahun sekarang naik signifikan hampir 70 juta setahun.

Keberhasilan Desa Bleberan melahirkan desa wisata karena berhasil memetakan potensi desanya yang terpendam. Di era sistem informasi seperti sekarang ini bukan hal sulit untuk mengetahui potensi desa. Dengan mengunakan teknologi pemetaan konvensional yang banyak tersedia di Internet hingga drone (pesawat tanpa awak), desa terbantu untuk mengetahui potensi yang dimiliki secara visual  bahkan real time, apalagi bagi desa-desa yang mempunyai wilayah yang sangat luas dan di kelilingi perbukitan. Dengan data dasar tersebut desa dapat melakukan perencanaan desa yang terukur dan jelas capaian-capaiannya.

Selain itu keterlibatan masyarakat dalam perencanaan sangat penting, agar program untuk menggali dan mempromosikan potensi desa mendapat dukungan masyarakat. Bila masyarakat sudah merasa memiliki, dengan sendirinya masyarakat akan membantu merealisasikan program tersebut.

Machmud N.A

Staff Komunikasi IRE Yogyakarta

Ikuti tulisan menarik machmud nasrudin arsyad lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB