x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Perpustakaan yang Menakutkan Penguasa

Dalam sejarah manusia, penghancuran perpustakaan berlangsung di mana-mana dan dilakukan oleh rezim penguasa yang takut kehilangan kekuasaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di Kamboja , semasa rezim Pol Pot berkuasa, kaum sekolahan menjadi sasaran untuk dilenyapkan. Untuk menciptakan ‘identitas murni’ Kamboja yang terbebas dari pengaruh luar serta memaksakan kehendaknya melalui loyalitas tanpa reserve, Pol Pot melarang pengajaran dan pemakaian bahasa-bahasa asing. Uang ditiadakan, harta pribadi disita, ritual keagamaan dilarang. Anak-anak diambil dari orang tua mereka dan diperintah dengan cara baru.

Simbol kaum sekolahan yang menjadi incaran untuk dihancurkan rezim Pol Pot adalah Perpustakaan Nasional Kamboja. Perpustakaan ini menempati gedung yang dibangun oleh Prancis pada 1913, bersebelahan dengan taman yang berlokasi dekat Arsip Nasional.

Sebagian besar buku dan seluruh catatan bibliografis yang mendokumentasikan koleksi di perpustakaan ini, yang jumlahnya ditaksir ‘puluhan ribu’, dilempar ke jalan-jalan dan langsung dibakar. Gedung perpustakaan ini kemudian disulap menjadi kandang babi selama masa kekuasaan Khmer Merah—sebuah penghinaan habis-habisan terhadap pikiran dan nalar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Rezim Khmer Mera juga memburu orang-orang berkacamata—manifestasi kaum intelektual (penulis, sarjana, seniman, budayawan). Dari sekitar 400 ribu orang yang tergolong kaum sekolahan ini, jumlahnya menyusut tajam ketika Khmer Merah diusir pada 1979, tinggal 300 orang yang masih hidup. Dari 60 pustakawan yang bekerja di Phnom Penh sebelum Khmer Merah berkuasa, tiga orang saja yang selamat.

Sekitar empat dekade sebelum Khmer Merah menghancurkan perpustakaan, di Jerman buku dan perpustakaan menjadi kekuatan diam yang mencemaskan kaum Nazi. Hanya tiga bulan setelah mengendalikan Jerman melalui pemilihan umum, Partai Sosialis Nasional mulai mengeluarkan buku dari perpustakaan dan membakar buku-buku di lapangan-lapangan umum di wilayah Reich Ketiga.

“Semua itu dilakukan dengan disertai parade, diiringi musik perang, dan diawali pidato-pidato patriotik,” tulis Frederick T. Birchall dalam laporannya dari Berlin yang disajikan di halaman depan suratkabar The New York Times edisi 11 Mei 1033. Bagaikan orkestra, universitas-universitas di seluruh Jerman, di Munich, Frankfurt, Breslau, dan Kiel, membakar koleksi buku pada malam yang sama. Karya Sigmund Freud dibakar, kata orator, karena ‘menyalahkan sejarah kita dan menghina figur-figur besarnya’.

Di masa yang lebih dekat, orang mungkin masih mengingat peristiwa penghancuran perpustakaan di kota Sarajevo, Bosnia. Penghancuran dimulai ketika hari beranjak gelap. Tentara nasionalis Serbia yang mengepung Sarajevo mulai menembakkan senjata artileri. Sasaran mereka adalah gedung yang menyimpan 1,5 juta buah bukku yang selama 40 tahun telah berfungsi sebagai Perpustakaan Nasional sekaligus Perpustakaan Universitas Bosnia.

Kalender mencatat tanggal bersejarah itu, 25 Agustus 1992. Api menyala-nyala, menerangi langit malam musim panas. Dengan mengabaikan desing peluru yang dilepaskan penembak gelap dari arah bukit, para relawan membentuk rantai manusia. Dalam beberapa hari mereka berhasil memindahkan hanya sekitar 100 ribu buku dari gedung yang terkepung ini. Selebihnya terbakar jadi abu, terbang ke angkasa sebagai asap.

Dalam upaya mempertahankan warisan kebudayaan ini, tercatat 14 jiwa terbunuh—bagi 1,4 juta buku yang lenyap—dan 126 orang terluka. Aida Buturovic, seorang penata katalog berusia 32 tahun, diketahui menjadi salah satu yang terbunuh dalam perjalanan pulang ke rumah setelah malam itu berusaha menyelamatkan buku-buku di perpustakaan.

Hancurnya perpustakaan Sarajevo adalah kerugian besar. Perpustakaan ini menyimpan warisan bersama orang-orang Muslim, Serbia, dan Kroasia sepanjang empat abad. Buku-buku dan arsip-arsip masyarakat Serbia Bosnia dikenal sebagai Prosvjeta, sedangkan masyarakat Muslim Bosnia dikenal sebagai Napredak, menjadi bagian dari koleksi bersama. Warisan ini dihimpun dalam satu atap sesudah Perang Dunia II. Di antara koleksi yang terbakar ialah 155 ribu buku dan manuskrip langka, material arsip, catatan musik, foto-foto bersejarah, cetakan, majalah, jurnal, dan suratkabar yang diterbitkan di Bosnia-Herzegovina sejak pertengahan abad ke-19.  

Di sepanjang sejarah manusia, buku dan perpustakaan telah menjadi simbol kemajuan peradaban dan prestise bagi sebagian penguasa. Tapi, buku dan perpustakaan  bisa pula menjadi sumber kecemasan bagi rezim despot yang takut kehilangan kekuasaan. (sumber foto: bosniangenocide.wordpress.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler