x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Raksasa yang Terpuruk

Dalam sejarah, banyak perusahaan besar ambruk dalam waktu singkat, jauh lebih pendek dibandingkan waktu untuk membangun kebesarannya. Mengapa terjadi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ambisi Ken Olsen untuk membangun perusahaan komputer yang hebat terwujud. Duapuluh tahun sesudah Olsen mendirikan perusahaan dengan dana bantuan sebesar 70 ribu dolar AS, pada 1977 penjualan Digital Equipment Corporation (DEC) menembus angka 1 miliar dolar. DEC memicu booming industri yang berawal dari Boston dan menciptakan banyak sekali pekerjaan bergaji tinggi sehingga dijuluki “Keajaiban Massachusetts.” Olsen menetapkan kebijakan tanpa pemutusan hubungan kerja. DEC dikenal sebagai tempat kerja yang sangat menyenangkan.

Tom Peters dan Robert Waterman memuji DEC sebagai perusahaan cemerlang dalam bukunya, In Search of Excellence. Majalah Fortune (1986) menyebut Olsen sebagai “salah satu wiraswastawan paling sukses dalam sejarah bisnis Amerika.” Anehnya, DEC mulai memasuki masa-masa suramnya, terutama karena Olsen memandang personal computer yang tengah menapaki pendakian trend industri ketika itu sebagai “tidak layak pakai untuk bisnis”. Ia betul-betul memercayai mikrokomputer buatannya.

Lima tahun sesudah pujian Fortune itu, DEC berencana merumahkan sekitar 10 ribu karyawannya. Tahun berikutnya (1992), DEC mengumumkan kerugian pada kwartal pertama sebesar 294 juta dolar. Harga sahamnya terus merosot. Upaya Olsen untuk menyelamatkan DEC dengan merombak manajemen puncak tidak membuahkan hasil. Banyak pihak menilai, visi Olsen yang salah mengenai industri komputer membuat DEC tak mampu bertahan. Olsen lalu mengundurkan diri dari posisi CEO maupun dewan komisaris. Ia digantikan oleh Robert Palmer yang ditugasi menyelamatkan perusahaan dari kerugian 2,79 miliar dolar pada tahun buku 1992.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikhtiar Palmer membuahkan hasil positif, tapi kurang cukup untuk mampu mengatasi kerugian Digital. Akhirnya raksasa lumpuh itu dibeli pada 1998 dengan harga 9,15 miliar dolar oleh Compaq, yang ketika itu pembuat personal computer nomor wahid di dunia. Kemerosotan DEC berlangsung lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan oleh Olsen untuk membangun kejayaan perusahaan ini. Penyebabnya adalah kesalahan visi dan, dalam istilah Jagdish Sheth dalam The Self-Destructive Habits of Good Companies, “pengingkaran”. Olsen mengingkari kenyataan bahwa industri tengah berubah dan tidak ingin DEC berubah.

Lain halnya dengan IBM yang juga pernah mengalami masa-masa surut. IBM, menurut Jagdish Sheth, menyadari kebutuhan untuk berubah, tetapi tidak mampu melakukannya. Pada masa yang bersamaan dengan kemerosotan DEC, IBM pada 1992 mencatat prestasi terburuk sepanjang sejarahnya ketika melaporkan kerugian hamper 5 miliar dolar. Harga sahamnya turun 70 persen dari rekor tertingginya. John Akers, CEO raksasa biru waktu itu, mengeluhkan sulitnya mengubah IBM.

IBM terperangkap oleh kompetensinya sendiri dan menjadi korban apa yang disebut oleh Jagdish sebagai “paradoks kompetensi.” Gagasan mengenai home computer pada awal 1980an sebenarnya adalah hasil pemikiran orang-orang IBM. Tapi, karena mainframe (komputer seukuran lemari besar) waktu itu masih dominan, IBM kurang bersungguh-sungguh menggarap pasar personal computer yang kemudian dibanjiri dengan produk serupa. Untung, Lou Gertsner yang direkrut menjadi CEO untuk menggantikan Akers sanggup membawa perubahan sebelum segalanya terlambat.

Produsen chip termashur, Intel, juga nyaris tinggal nama. Posisi dominan dalam produksi chip, seperti IBM dalam mainframe dan DEC dalam mikrokomputer, membuat Intel kurang waspada terhadap apa yang sedang terjadi di arena industrinya. Advanced Micro Devices (AMD) memproduksi chip 64 bit dan meninggalkan Intel dalam pacuan teknologi prosesor yang masih mengandalkan chip 32 bit. Mata Intel baru betul-betul melek setelah IBM, Sun Microsystem, dan Hewlett-Packard menjadi pelanggan AMD.

Perusahaan ini rupanya berhasil memaksa Intel untuk bekerja keras. “Bila tidak ada AMD,” tutur seorang eksekutif perusahaan pelanggan AMD, “Intel akan berleha-leha memaksimalkan keuntungannya.” Intel berinovasi karena mereka memang harus melakukannya, bila tidak ingin musnah. Perubahan dalam industri telah memaksa eksekutif perusahaan untuk memikirkan ulang strategi mereka secara keseluruhan. Ini tak ubahnya “inovasi di bawah todongan senjata.” Pengalaman Intel ini kelak menjadi inspirasi bagi karya Andy Grove, pendiri dan mantan CEO Intel, Only the Paranoid Survive (1996).

Dalam buku Innovator’s Dilemma, Clay Christensen menggambarkan mengapa banyak perusahaan yang dijalankan dengan baik akhirnya berguguran—tema serupa yang didekati dengan cara berbeda oleh Jim Collins (How the Mighty Fall) dan Jagdish N. Sheth (The Self-Destructive Habits). Riset yang dilakukan oleh Christensen memperkuat dugaan bahwa keberhasilan perusahaan seringkali menjadi dorongan untuk melakukan langkah yang salah. “Mereka gagal,” tulis Christensen, “karena praktik manajemen yang membuat mereka menjadi pemimpin industri justru menjadikan mereka sulit untuk mengembangkan teknologi disruptif yang akhirnya mencuri pasar mereka.”

Perusahaan yang mampu berinovasilah akhirnya yang sanggup bertahan. IBM dan Intel belum sangat terlambat untuk berubah dibandingkan dengan Digital Equipment Corporation, yang akhirnya harus rela dibeli oleh Compaq. Namun tak sedikit perusahaan raksasa yang bernasib lebih buruk daripada DEC. Enron, contohnya.

Dalam waktu kurang dari 20 tahun, Enron tumbuh dari perusahaan kecil yang menangani penyaluran gas menjadi pedagang energi terbesar di dunia. Enron dibentuk pada 1985 sebagai hasil merger antara perusahaan gas alam yang berbasis di Houston dengan penyedia gas di Nebraska. Enron mengoperasikan saluran pipa gas sepanjang 37 ribu mil.

Menyusul deregulasi pasar energi oleh Federal Energy Regulatory Commission pada 1996, Enron pun melejit bak meteor. Perusahaan ini terus mengembangkan sayapnya, antara lain menjual jasa Internet pita-lebar pada 1999. Azurix, anak perusahaan Enron, memulai operasi komersial dengan mengelola saluran pipa gas sepanjang 1.860 mil dari Bolivia hingga Brasil. Investasi asing dan asset Enron saat itu bernilai lebih dari 20 miliar dolar dan anak perusahaannya beroperasi di lebih dari 50 negara.

Pada November tahun itu, Enron meluncurkan EnronOnline, sebuah situs perdagangan energy dan komoditas. Dan menjelang tutup milenium, tahun 2000, Enron menyampaikan laporan tahunan dengan klaim pendapatan sudah mencapai tiga kali lipat pendapatan tahun 1998. Januari 2000, majalah Fortune memeringkat Enron pada posisi 24 di antara “100 Best Companies to Work for in America.” Tahun berikutnya, Kenneth Lay menyerahkan posisi CEO kepada Jeff Skilling yang sebelumnya menjabat presiden Enron dan chief operating officer sejak 1997.

Tahun berikutnya, harga gas alam melambung di California. Para politikus California menuduh Enron Corp., pemilik Transwestern Pipeline di California sepanjang 2.500 mil, telah memanipulasi harga pasar untuk gas alam. Pada Juli 2001, krisis tenaga listrik di California menyebabkan beberapa perusahaan menemui kesulitan, hingga Pacific Gas and Electric Company mengajukan bangkrut dikarenakan melambungnya biaya-biaya.

Skilling mengundurkan diri dengan “alasan pribadi” pada bulan Agustus. Dua bulan kemudian Enron mengungkapkan telah merugi sebesar $638 juta dalam kuartal pertama tahun fiscal 2001. Tentu saja, ini sangat mengejutkan. Pihak Securities and Exchange Commission (SEC) melakukan investigasi resmi terhadap transaksi bisnis Enron maupun catatan akuntansinya. Persoalan kian membelit perusahaan ini dan mengumumkan harus membayar utang senilai $690 juta tahun itu, dan $6 miliar pada tahun berikutnya.

Dynegy menawarkan buy-out untuk menyelamatkan Enron dengan pembelian saham senilai $10 miliar. Dynergy juga setuju untuk melakukan pay-back lebih dari $13 miliar utang Enron, dan pemegang utama Dynergy Chevron Texaco menyediakan talangan segera sebesar $ 1,5 miliar untuk Enron. Namun, setelah Standard and Poor mengumumkan bahwa surat utang Enron turun ke “junk status”, Dynergy membatalkan perjanjian pembelian. Pada awal Desember 2001, Enron memasukkan file perlindungan kebangkrutan menurut Chapter 11, dengan angka yang terbesar dalam sejarah AS. Dua investor utamanya, Citibank dan J.P. Morgan, menyediakan $ 1.5 miliar pendanaan darurat. Enron merumahkan hampir 4.000 karyawan di markas Houston, banyak di antaranya yang kehilangan nyaris 90 persen tabungan pensiun mereka.

Celakanya, di tengah gonjang-ganjing itu, Enron mengungkapkan bahwa perusahaan harus membayarkan $50 miliar kepada 75 pedagangnya yang paling berhasil dalam upaya mencegah mereka meninggalkan perusahaan karena hendak dimerger dengan Dynergy.

Banyak jalan menuju keterpurukan, dan Enron ambruk karena digerogoti dari dalam oleh pengelola yang rakkus. Bukan kesalahan visi, ketidakwaspadaan pada perubahan industri, melainkan karena praktik bisnis yang melanggar etika. Menjelang kematian Enron, para eksekutif masih sempat berpesta bonus senilai hampir $55 juta. (foto: Ken Olsen di depan kantor pusat DEC, sumber: boston.com) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler