x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Di Bawah Bayang-bayang Oligarki

Euforia demokrasi membuat gerak-gerik para oligark luput dari pengamatan. Kini demokrasi kita dikooptasi oleh segelintir oligark.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dua tahun menjelang akhir milenium kedua (1998), Suharto dipaksa turun. Orang-orang tenggelam dalam euforia demokrasi. Mereka yang sebelumnya tiarap mendadak muncul ikut mengusung bendera partai politik dan berteriak lantang. Mereka yang tak pernah bicara politik tiba-tiba berkampanye dan menjanjikan kemakmuran bagi rakyat.

Mereka mengincar kursi-kursi yang menawarkan kuasa. Begitu riuh. Orang-orang luar memuji-muji semua itu sebagai suasana demokratis yang belum pernah ada di negeri ini.

Sampai kini, perhatian kita tersita oleh upaya membangun demokrasi dan hukum meski terseok-seok. Hingga ada yang luput. Jeffrey Winters, melalui bukunya Oligarki, mengingatkan kita pada apa yang luput dari penglihatan itu: para oligark. Barangkali karena mereka bergerak bagai bayang-bayang, tak sepenuhnya kasat mata tapi pengaruhnya sangat terasa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mereka berbeda dari kaum elite yang memperoleh kuasa dari hak politik formal, jabatan resmi, kekuasaan untuk memaksa (koersif), ataupun kekuasaan mobilisasi. Sumber daya kekuasaan para oligark berasal dari penguasaan material yang luar biasa besar. Inilah yang menjadikan oligark mampu menyamai atau bahkan lebih kuat dari para elite lain. Oligark bisa menjadi elite, tapi elite tak bisa menjadi oligark kecuali ia menguasai sumber daya material yang sangat besar.

Sebagai orang yang sangat kaya raya, oligark sangat berkepentingan agar kekayaannya tidak berkurang dan pendapatannya tidak terganggu. Mereka membangun pertahanan lewat berbagai cara. Penguasaan dan pengendalian sumber daya material yang terkonsentrasi ini dilakukan untuk kepentingan individu. Winters berkali-kali menegaskan, oligark itu selalu individu, karena itu seorang oligark tidak berpikir perihal kepentingan lembaga.

Lewat penelusurannya yang jauh hingga ke pemikiran Aristoteles dan praktiknya di negara Athena maupun Romawi, Winters berkesimpulan bahwa definisi oligark itu senantiasa tetap di berbagai zaman dan kasus. Para mafioso mewakili individu-individu oligark itu, yang mampu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya: meningkatkan kekayaan dan menjaga kelangsungan pendapatan.

Dalam perjalanannya sejak masa Aristoteles, oligark selalu menghadapi tantangan dan ancaman yang terkait dengan kuasa material mereka. Jangkauan kekuasaan minoritas oligarkis begitu luas sehingga usaha melarikan diri darinya nyaris mustahil atau mahal sekali biayanya. Para oligark akan berusaha keras mematahkan tantangan untuk mempertahankan posisi sosial eksklusifnya yang dibangun di atas kekayaan material, yang juga bisa dikerahkan demi tujuan-tujuan politik.

Situasi serupa dialami Indonesia sejak Suharto—yang menjadi fokus perhatian Winters. Oligarki yang berkembang di sini bukan tipe panglima, seperti dalam dunia warlord, atau tipe penguasa kolektif, semisal mafioso di Amerika maupun Itali, melainkan oligarki sultanistik. Dan potretnya diwakili oleh Suharto.

Dalam oligarki sultanistisk, sarana pemaksaan dimonopoli oleh satu oligark, bukan negara terlembaga yang dibatasi hukum. Tentu saja ada oligark-oligark lain, namun mereka dengan Suharto memiliki hubungan patron-klien, dengan Suharto sebagai oligark utama. Oligark utama inilah yang memainkan peran sebagai pengatur kekuasaan dan hukum di antara para oligark lainnya.

Oligarki sultanistik diwarnai oleh tiga unsur pokok. Pertama, penguasa sultanistik memerintah secara pribadi dan mengatur segala hal yang penting dalam politik dan ekonomi. Kedua, penguasa sultanistik mempertahankan kendali strategis atas akses terhadap kekayaan dan menggunakan sumber daya material sebagai bagian penting dasar kekuasan mereka. Ketiga, pemerintahan sultanistik mencoba mengendalikan kekuasaan pemaksaan di dalam negara atau rezim.

Kejatuhan Suharto mendorong terjadinya distribusi kekuasaan politik, tapi hanya di lapisan atas. Distribusi ini tidak berlangsung vertikal yang memberdayakan rakyat miskin. Kontes demokrasi Indonesia, kata Winters, hanya permainan pindah-pindah kelompok oligark (dan elite yang ingin menjadi oligark) yang berusaha meraih kekuasaan demi mempertahankan kekayaan dan memperkaya diri sendiri atau kelompok.

Oligarki sultanistik di Indonesia muncul dan berkembang dalam tiga tahap yang memperlihatkan bagaimana penguasaan sumber-sumber kekayaan material berlangsung. Dimulai dari fase militer-Cina, disusul oleh fase pribumi, dan dilanjutkan dengan fase keluarga ketika anak-anak Suharto tumbuh dewasa dan mulai terlibat dalam aksi oligarkis. Di fase ketiga inilah gangguan terhadap kestabilan semakin sulit dikendalikan dan mencapai puncaknya pada 1998 ketika Suharto ditinggalkan sendirian oleh para oligark yang pernah memperoleh kemudahan darinya.

Kejatuhan Suharto melahirkan efek ganda dengan konsekuensi saling bertentangan. Ketika transisi menuju demokrasi tengah diupayakan, di saat itu pula berlangsung transisi menuju oligarki penguasa kolektif yang tidak jinak. Masyarakat madani terlalu lemah untuk menangkap peluang kembalinya demokrasi. Para oligark bergerak lebih cepat untuk mendominasi demokrasi. Demokrasi elektoral memberi cara baru bagi para oligark untuk mengupayakan kepentingan individu maupun kolektif. Lembaga-lembaga demokrasi yang ada malah menyediakan arena bagi maraknya kerja sama dan persaingan antar oligark.

Mengapa ini terjadi? Karena sumber daya kekuasaan paling vital di Indonesia sejak kejatuhan Suharto adalah uang. Agaknya, inilah yang mampu menjelaskan mengapa sebagian elite tersingkir dari arena, sementara para oligark yang bertumpu pada sumber daya material terlihat kebal terhadap tantangan demokrasi.

Transisi dari kekuasaan otoriter ke demokratis di Indonesia telah mendapat perhatian analitis cukup banyak. Namun Winterslah yang mengingatkan adanya transisi lain, yakni dari oligarki yang dijinakkan oleh penguasa sultanistik ke oligarki liar yang tidak terkendali oleh hukum. Dampak ekonomi-politiknya sangat berarti ketika lembaga formal hukum yang sengaja dilemahkan selama periode otoriter ternyata saat ini terlalu lemah untuk mengendalikan oligarki.

Lewat kajian teoritis maupun historis, yang diperkuat dengan studi empiris tentang Indonesia, khususnya, Winters telah memberi sumbangan berarti secara akademis. Dari sisi praktis, ia telah mengingatkan kita bahwa para oligark yang kini tak terkendali telah memonopoli arena demokrasi.

Oligark dan oligarki akan lenyap bukan melalui prosedur demokratis, melainkan bila distribusi sumber daya material yang sangat tidak seimbang mampu ditiadakan agar tidak lagi memberi kekuasaan politik terlalu besar kepada segelintir oligark. Argumen inilah yang membantu menjelaskan mengapa demokrasi tidak saling meniadakan dengan oligarki.

Euforia demokrasi telah membuat kita luput memperhatikan pergerakan para oligark, yang kini justru mendominasi arena demokrasi. Demokrasi menjadi tempat yang nyaman bagi para oligark dan menyebabkan demokrasi disfungsional. Bagai benalu, para oligark mengisap nutrisi yang berfungsi menyuburkan pertumbuhan pohon demokrasi.

Winters telah menunjukkan kepada kita bagaimana kekuasaan yang sesungguhnya dikonstruksi dan dipertahankan, serta siapa yang berkuasa. (sumber ilustrasi: sott.net) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler